Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Beat The Giant: Strategi Merek Indonesia Menandingi Merek Global dan Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

gambar
Rp.50.000,- Rp.30.000,- Diskon
Judul: Beat The Giant: Strategi Merek Indonesia Menandingi Merek Global dan Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Penulis: Yuswohadi
Penerbit: Gramedia, 2013
Tebal: 560 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Bekas)

Keresahan terbesar saya adalah adanya kenyataan bahwa, yang piawai memanfaatkan potensi pasar besar tersebut justru bukanlah anak negeri, tapi pemain-pemain global asing yang memiliki kemampuan sumber daya nyaris tak terbatas. Yang paling saya takutkan adalah jika kita hanya menjadi “bangsa konsumen” dan “bangsa penikmat”, bukan “bangsa value creator” dan “bangsa brand-builder”. Kita hanya menjadi pasar belaka, yang menjadi “ajang bancaan” (tempat kenduri) bagi pemain-pemain global asing. Pemain-pemain lokal tergilas karena loyo dan tidak punya daya saing melawan pemain raksasa.

Singkatnya, saya resah pemain lokal tak bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

Keresahan itu bukannya tanpa alasan. Coba saja lihat gambaran gamblang di depan mata berikut ini. Di industri telekomunikasi, kini semua merek adalah milik asing kecuali Telkom. Telkom seperti dikepung dari segala penjuru oleh raksasa telekomunikasi global/regional dengan kekuatan modal, SDM, manajemen dan teknologi yang begitu perkasa.

Menyusul ontran-ontran industri perbankan karena krismon 1998, kita melihat gelombang pembelian bank-bank lokal oleh bank-bank asing berlangsung begitu massif. Kini, praktis bank-bank papan atas swasta dimiliki oleh asing. Untung saja bank-bank BUMN papan atas seperti BNI, BRI, dan Bank Mandiri tidak ikutan dilego.

Coba saja Anda ke kamar mandi atau ke dapur. Anda akan temui mulai dari sabun mandi, pasta gigi, shampo, sabun cuci, margarin, keju, susu, kecap, hingga sambel, semuanya dikuasai oleh merek-merek asing.

Kalau mau, deretan fakta itu bisa dibentang lebih panjang lagi. Coba kita telusur lebih jauh lagi: di industri otomotif, farmasi, toiletris, kosmetik, ritel, elektronik rumah tangga, gadget, makanan/minuman, pertambangan, alat berat, periklanan, riset pasar, bahkan dotcom, dominasi pemain global asing sudah sampai ke tulang sumsum.

Kalau demikian keadaannya, apakah perusahaan global itu salah? Absolutely not! Saya bukanlah nasionalis puritan yang membabi-buta. Saya bukanlah anti modal asing atau perusahaan asing. Mereka justru kita butuhkan sebagai sparing partner yang terus memompa andrenalin kita untuk menjadi pemain tangguh. Global competitions are the best vitamines for us to be a real global players.

Menandingi Global
Dengan background seperti itu, melalui buku ini saya menawarkan sebuah model strategi yang bisa dipakai oleh para pemain lokal dalam menandingi raksasa-raksasa global di pasar Indonesia. Saya membagi merek lokal tersebut ke dalam empat posisi, berikut empat implikasi strategisnya sebagai berikut.

Smart Flanker adalah merek lokal yang tidak memiliki local advantage maupun kemampuan mencapai global best practices yang kokoh. Merek lokal di posisi ini umumnya berskala kecil dan produknya tidak memiliki keunikan lokal. Karena itu mereka dihadapkan pada pilihan pelik untuk menyingkir (flank) dalam menghadapi merek global dan mencari niche market di mana ia masih bisa menguasainya.

Pemain seperti D’Cost, Ranch Market, Bank Pembangunan Daerah (BPD), perusahaan dotcom seperti Bhinneka.com atau Bukalapak.com, juga kebanyakan perusahaan kecil/menengah ada di posisi ini. Jadi, merek lokal di posisi ini harus membangun keunggulan di pasar-pasar yang diabaikan oleh merek-merek global. Strategi generik pemain di posisi ini adalah: FLANK and Create Your Own Pond.

Local Challenger adalah merek lokal yang memiliki keunikan lokal tapi masih belum mampu menyamai kemampuan merek global dalam hal kemampuan modal, manajemen, SDM, teknologi, dan lain-lain. Pemain lokal seperti Sido Muncul, Martha Tilaar Group, Hotel Santika, Mustika Ratu, Batik Keris, Viva, Pegadaian, Khong Guan, Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat, dan lain-lain ada di posisi ini.

Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah membangun keunggulan bersaing melalui keunggulan lokal yang dimilikinya. Hotel Santika misalnya, membangun keunggulan lokal melawan hotel-chain asing dengan mengembangkan konsep layanan Indonesia hospitality yang berbasis pada kearifan lokal (local wisdom) Indonesia. Strategi generik pemain di posisi ini adalah: FOCUS on Your Local Uniqueness.

National Champion adalah pemain yang memiliki keunikan lokal, sekaligus memiliki kapasitas setara dengan global best practices. Pemain-pemain lokal seperti Garuda Indonesia, BRI, Sosro, JNE, Prodia, Indomaret, Alfamart, Kompas, dan Femina ada di posisi ini. Merek-merek lokal di posisi ini paling siap dalam menghadapi merek global secara head-to-head dengan cara membangun local differentiation.

Garuda Indonesia misalnya, membangun local differentiation dengan menggunakan identitas Indonesia dalam strategi branding-nya. Garuda Indonesia juga mengembangkan konsep layanan “Garuda Indonesia experience” dalam inflight services-nya melalui sight, sound, scent, taste, touch yang bernuansa kekayaan budaya Indonesia. Strategi generik pemain di posisi ini adalah: DOMINATE Domestic Market through Local Differentiation.

Global Chaser adalah pemain lokal yang by-default tidak memiliki keunikan lokal, tapi memiliki kapasitas modal, SDM, manajemen, dan teknologi yang sejajar dengan merek-merek global. Pemain-pemain lokal seperti Polygon, Polytron, Telkom, Pertamina Pelumas, Biofarma, Mayora, GarudaFood, Indofood, Semen Gresik, Bank Mandiri ada di posisi ini.

Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah terus mengejar kapasitas global best practices dan kalau perlu membangun daya saing dengan masuk ke pasar-pasar regional/global. Global chaser seperti Biofarma, Polygon, atau Pertamina Pelumas misalnya, mulai agresif membangun daya saing dengan memasuki pasar Asia, Eropa, dan Amerika. Strategi generik pemain di posisi ini adalah: EXPAND to Global Market.
Oleh: Yuswohadi
Pesan Sekarang