Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gramedia Penerbitan 30 Tahun: Buku sebagai "Cultural Products"

Manufaktur Minuman Berkhasiat
Pada 30 April 2004, dalam rangka merayakan HUT Gramedia Penerbitan ke-30, berlangsung Gramedia Bookfair di Medan, Sumatra Utara. Pada waktu acara jumpa pers di sebuah Rumah Makan Padang, wartawan dari media massa mengajukan pertanyaan kepada saya, mengapa Gramedia memilih Medan sebagai lokasi pertama untuk Gramedia Bookfair 2004? Medan sudah memiliki tradisi "reading habit" sejak Pemerintahan Hindia Belanda. Dari Medan mengalir dan tersebar luas ke seluruh Nusantara, bukan saja economic products melainkan cultural products, yakni karya kreatif para pengarang yang dibesarkan di Medan. Dunia penerbitan buku dengan support-cultural dari Medan, kini sudah mencapai tingkat kemampuan berbisnis dan berniaga sampai taraf industri buku. Bookfair yang diselenggarakan menjadi atau menjalankan fungsi seperti seismograf menunjang kerja ilmu fisika bumi (geofisika), mengukur kehidupan energi bumi dengan getaran gempa buminya. Pameran buku berfungsi sebagai seismograf energi kebudayaan, yang mengukur gempa kebudayaan.

Gempa selalu mendatangkan "kehebohan, keseruan, kepanikan, dan kreativitas mencari keselamatan kehidupan dari ancaman kehidupan", Seismograf yang memperlihatkan apakah kehidupan masyarakat kita masih pada tahap chaos atau sudah dikelola model law and order. Faktor atau sumber energi sosial mana yang menjadi pegangan utama dalam memberdayakan dinamika kehidupan masyarakat agar iebih berkualitas? Singkatnya, buku seperti apa yang memberi kontribusi nyata untuk proses transformasi kehidupan masyarakat, biarpun kontribusi itu sangat terbatas, tetapi sudah menjadi partisipasi dunia penerbitan di dalam mewujudkan sebuah strategi kebudayaan untuk mendorong transformasi masyarakat menuju Indonesia Baru?

Ada dua kasus yang terjadi dalam tahun 2004: penerbitan buku (termasuk Gramedia Penerbitan dengan sekian banyak penerbitan bukunya) memperlihatkan peranan buku dengan transformasi masyarakat menuju Indonesia Baru. Kasus pertama, kata sambutan Presiden Direktur KKG, Jakob Oetomo, yang diwakili oleh Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab harian Kompas, Suryopratomo, membuka Gramedia Bookfair di Medan. Pameran buku dihubungkan dengan gejala kontemporer tentang cultural matter untuk transformasi sosial sebuah masyarakat. Ada beberapa negara di muka bumi ini yang disebut oleh Suryopratomo yang mengisahkan succes story dan failed story menjadi negara yang sukses atau negara yang gagal. Negara yang memiliki succes story, antara lain Jepang, Korea, Taiwan. Sementara negara yang failed story antara lain Kenya di Afrika dan Indonesia di Asia. Tahun 1945 sesudah Perang Dunia II, semua negara yang disebut di atas sama-sama berada di garis belakang dalam proses maraton internasional, proses konkurensi internasional hadapi negara-negara pemenang perang, seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat dan Australia. Pertanyaan yang diajukan Pemimpin Redaksi Kompas kepada hadirin, kepada Wakil Gubemur Sumatra Utara Pardade adalah mengapa dalam proses konkurensi dan maraton internasional itu, Korea, Jepang, Taiwan sudah bergerak meninggalkan posisi Kenya dan Indonesia? Faktor apakah yang menjadi dinamika kebudayaannya sehingga terjadi perbedaan kemajuan yang mencolok antara negara-negara yang sama-sama start, tetapi berbeda di dalam akselerasi kebudayaan dan peradabannya? Jawaban yang disampaikan dalam kata sambutan Gramedia Bookfair Medan itu adalah strategi kebudayaan yang berorientasi kepada pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan reading habit. Negara yang secara terencana dan tersistematis membangun negara dan bangsanya melalui gerakan pendidikan massal dengan sikap ilmiah, rasional, kritis, dan rajin membaca apa saja dan di mana saja ternyata maju dengan pesat. Sebaliknya, negara seperti Indonesia dengan kelemahan mencolok di dalam gerakan pendidikan nasional yang setengah hati, atau tidak berminat kuat terhadap pengembangan sikap ilmiah dengan ukuran pada reading habit ternyata tetap terbelakang.

Kasus kedua, yang terjadi secara "diam-diam", tidak segera memamerkan diri untuk memberi warna dan karakter lain di dalam gerakan pendidikan massal adalah prakarsa dari asosiasi di dalam masyarakat perbukuan untuk merintis Sekretariat Dewan Buku Nasional (National Book Council) atas inspirasi dan mediasi dari rekomendasi UNESCO untuk gerakan kebudayaan internasional membebaskan manusia dari hambatan perdamaian dan keadilan di muka bumi. Transformasi masyarakat diukur dari nilai-nilai sosial, yakni perdamaian dan keadilan, justice and peace. Nilai-nilai sosial itu mendapat instrumen yang efektif dan efisien dalam penguasaan ilmu pengetahuan, kesenian atau kebudayaan dalam arti sederhana dan tidak serumit pikiran para ahli kebudayaan di lingkungan akademis. Salah satu misi dari Dewan Buku Nasional adalah merintis sebuah clearing house dalam jaringan clearing house dunia perniagaan dan industri nasional, yang sama-sama memperjuangkan eksistensi komoditas minuman dan kebutuhan pokok (basic needs) untuk kemajuan industri nasional. Melalui ratifikasi Undang-Undang Industri Nasional, masyarakat perbukuan yang mengidentikkan dirinya sama seperti Kadin (Kamar Dagang Indonesia) melihat dirinya dengan orientasi profit, memperjuangkan agar buku diperlakukan oleh masyarakat industri dan niaga sebagai bagian dari paket minuman sehat, jenis khas, berkhasiat yang paling berharga. Prinsip persaingan sehat yang berlaku di dalam dunia niaga dan industri juga berlaku dalam industri buku. Departemen Perdagangan dan Industri sama pentingnya di dalam pengembangan industri buku seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, atau Departemen Dalam Negeri di dalam memajukan dunia buku sebagai minuman bagi masyarakat dengan gerakan rekonsiliasi. reformasi dan transformasi nasional.

Dua kasus di atas, yakni Gramedia Bookfair di Medan dan perintisan Sekretariat DBN, yang untuk sementara berkantor di Pusat Kurikulum dan Pusat Perbukuan Depdiknas adalah gugatan kebudayaan terhadap gerakan pendidikan massal di Tanah Air, yang cenderung lebih memperhatikan gerakan ketakwaan, religiositas daripada gerakan kultural berciri ilmiah, rasional dan kritis. Akar dari kemunduran, dekadensi moral bangsa sehingga dalam konkurensi internasional Indonesia berada di kloter tengah belakang, biarpun semua sama-sama dari titik nol tahun 1945.

Dari Manufaktur Minuman Menuju Transformasi
Dua kasus di atas, yang melihat buku dengan prioritas pada gerakan budaya bersikap ilmiah, rasional dan bekerja keras untuk berada di garis depan seperti semangat bangsa Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Gramedia Penerbitan menggugat dirinya ke depan untuk berpolitik kebudayaan. Karena tindakan penerbitan dengan segala tali-temali dan multiplying effect-nya merupakan tindakan kultural dengan cultural products-nya, yakni buku. Refleksi tentang transformasi menuju kebudayaan rasional, ilmiah dan berjiwa kemandirian, juga terhadap ketergantungan yang tidak sehat kepada birokrasi negara, saya sampaikan di sini dengan serantai cerita kecil, yang menjadi pengalaman saya pada bulan-bulan terakhir terlibat di dalam perayaan Gramedia 30 Tahun.

Cerita kecil yang saya sampaikan ini merupakan kesaksian pribadi (testimonium personal) atas beberapa peristiwa perbukuan, yang saya alami ketika diwawancarai pada acara Pustaka-Pustaka Radio Jakarta News FM; ketika saya diundang oleh manajemen GPU (Gramedia Pustaka Utama) menyaksikan upacara peringatan GPU 30 Tahun; ketika saya berada di tengah kesibukan Gramedia Fair di Medan. Saya ingin kaitkan kesaksian ini dengan sebuah proses transformasi kultural, yang berkaitan dengan kesibukan bekerja dengan sebuah misi transformasi, Menuju Indonesia Baru. Biarpun pekerjaan itu dilakukan—meminjam budaya perang total dari kebudayaan Cina, dari sebuah puncak bukit rendah, tetapi di sana "ada dewa"—ada kepemimpinan berpartisipasi di dalam perang total hadapi musuh-musuh kehidupan yang berkualitas. Transformasi kebudayaan sudah terjadi ketika saya menyaksikan bagaimana kerja diam-diam (tidak vokal, tetapi terbuka mendengar semuanya) yang dilakukan oleh Gramedia Penerbitan selama 30 tahun, ada panennya. Kalau ada panen selalu muncul perasaan religius (syukur kepada Tuhan), perasaan bermanfaat (usefull), perasaan menaruh harapan kepada generasi muda (generasi dengan taburan pelbagai talenta), perasaan tumbuhnya kemandirian ketika birokrasi membatasi intervensinya (kasus DBN) untuk membuka ruang lebih luas untuk dinamika perusahaan swasta.

Ketika berada di studio siaran Radio Jakarta News FM di bilangan Pondok Indah dengan lokasi yang memancarkan kebudayaan global dari civil society global, saya berdampingan dengan Priyo Utomo, Direktur Eksekutuf GPU sekarang. Saya seperti seorang petani tua yang sudah menanam pohon berusia panjang untuk mencari nafkah dan mengumpulkan kekayaan untuk solusi kehidupan miskin para petani. Sawah yang saya garap puluhan tahun, kini saya tuai dengan penuh syukur. Sudah ada petani muda yang harus meneruskan penggarapan sawah agar kualitas hidup tetap mengalami proses transendensi dan bukan dekandensi moral. Petani muda malahan sudah berani "menggurui petani tua" dengan perkembangan terbaru yang sudah terialu sulit diikuti petani tua karena berbeda zaman.

Saya lebih terharu dan bersyukur ketika telepon dari pendengar siaran di seantero kota metropolitan Jakarta dari generasi tua sampai generasi muda; yang mengakui dan menunjukkan kepercayaan (trust) kepada Gramedia Penerbitan, bahwa mereka yang kini dijuluki generasi high-tech, generasi infotech, pernah disentuh dan diinspirasi oleh berbagai cultural products yang didistribusikan oleh manufaktur cultural products Gramedia. Fajrul Rachman, host siaran Jakarta News FM mengakui bahwa perkembangan intelektualitasnya sehingga menjadi kritis dan rasional sekarang tidak lepas dari seri filsafat kontemporer dari Gramedia Penerbitan tahun 1980-an. Saya dengan tim senior Gramedia Penerbitan, yang semakin jarang hadir di Palmerah dan akan menghilang ditelan usia tidak lama lagi merasa sudah mengisi kemerdekaan pembawa buku Gramedia, sebagai bagian dari kehidupan warga negara bangsa Indonesia.

Lain lagi perasaan syukur saya ketika menghadiri acara HUT GPU di lantai V Kantor Pusat KKG di Palmerah Jakarta. Terlihat terjadi transformasi sosial. Ketika tampil di panggung, editor-editor GPU yang mayoritas wanita, generasi Kartini abad ke-21, berwajah cantik memesona, cerdas akal-budinya telah meningkat kapasitasnya sebagai editor-editor kreatif. Mereka mengedit begitu banyak naskah untuk terbit setiap bulan (sekitar 30 persen dari kapasitas produksi judul baru nasional dikerjakan oleh generasi muda editor Gramedia Penerbitan). Terbukti juga giat di dalam mengembangkan gerakan kesusastraan Indonesia kontemporer, dengan berani menerbitkan cerpen-cerpen terpilih di dalam sebuah bunga rampai. Ada kaderisasi yang berhasil demi pengembangan tradisi buku berciri narasif, deskriptif, ilmiah, rasional, dan kritis. Wajah cantik, estetis, cerdas berbahasa dan bernyanyi, tidak malu tampil di muka umum, membawa produk hasil karya akal-budinya sendiri menimbulkan sugesti baru perasaan lega ketika saya meninggalkan ruang upacara, seperti isyarat memasuki dunia pensiun dengan perasaan bebas dari post power syndrom, karena yang ditinggalkan dalam kondisi under cultural control.

Kaderisasi tidak saja di bagian redaksi dan produksi. Kaderisasi lebih menarik saya ketika bergaul lebih dekat dengan kolega departemen bisnis trade kelompok pengukur jalan, manusia Gramedia produk luar meja, bukan di belakang meja kantor. Perasaan saya lega ketika pada persiapan menjelang Gramedia Bookfair di Medan, dengan uji coba manajemen partisipasi di tingkat madya, ciri khas kepemimpinan Jakob Oetama yang berasal dari kebudayaan Jawa, mengombinasi kepemimpinan otokratis, raja-raja Jawa dan kepemimpinan demokratis pemuka-pemuka Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan visi open society, kami sama-sama bergandengan tangan pada acara briefing menjelang pameran dengan aklamasi kolektifnya: Gramedia-Yes.

Frars H. Parera, Pemimpin Umum Majalah Mata Baca
Majalah Mata Baca Vol. 2/No.11/Juli 2004