Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe

gambar
Rp.150.000,- Rp.50.000,- Diskon
Judul: Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe
Penulis: Olivier Johannes Raap
Penerbit: KPG, 2013
Tebal: 202 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Segel)

Pulau Jawa di masa Indonesia masih bernama Hindia Belanda dulu memang menyimpan banyak cerita, banyak kisah dan sejarah yang dapat dipelajari dan diambil manfaatnya. Demikianlah benang merah dari buku kedua hasil karya tulisan Olivier Johanes alias Oli, berjudul Soeka Doeka Di Djawa Tempo Doeloe, melanjutkan karya sebelumnya Pekerdja Di Djawa Tempo Doeloe.

Buku kedua ini memang dari penerbit yang berbeda, maka tampilan buku dan tata letak gambar-gambar kartu pos dengan narasi yang menjelaskannya pun berbeda. Tulisan judul serta gambar-gambar pada sampul muka buku memang sengaja ditata miring supaya memberikan kesan tidak membosankan. Adapun tujuannya adalah dengan tampilan yang lebih menarik, diharapkan juga akan semakin menarik minat dari para generasi masa kini untuk mau melihat, kemudian membeli dan membaca buku ini sebagai satu dari sekian banyaknya referensi sejarah tentang Indonesia, khususnya Pulau Jawa di masa lalu. Harga buku ini lebih terjangkau sehingga diharapkan akan lebih banyak lagi orang dari berbagai kalangan untuk membelinya dan mempelajarinya serta mendapatkan manfaatnya.

Buku ini memang khusus dicetak lebih ringkas dan padat, dengan format gambar-gambar yang diberi narasi sebagai penjelasan. Pada buku ini, Oli secara khusus memilih tema yang berkaitan dengan sosial budaya, berkaitan dengan emosi, maka kita bisa melihat pilihan gambar-gambar kartu posnya melintasi berbagai jenis profesi dan situasi. Dibagi ke dalam 10 kategori, dengan 9 diantaranya berkaitan dengan emosi sukacita, kegiatan bersuka ria, dan 1 kategori khusus dukacita karena menceritakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemakaman. Lebih lagi, Oli memang mencari banyak sumber referensi untuk mendukung keterangan dalam setiap narasi yang diberikan di setiap gambar kartu pos.

Banyak hal indah dan menarik bisa kita ihat dari gambar—gambar kartu pos masa lalu dalam buku ini. Bahwa di zaman tertekan karena penjajahan, urusan bersukacita sampai bersukaria tidak perlu hilang oleh tekanan penjajah dan bahkan unsur budaya tampak jelas ketika sedang berdukacita pun, masih terasa kemegahannya seperti terlihat pada Kereta Jenazah Tionghoa di halaman 173. Kemegahan yang di zaman kini mungkin sudah banyak dikurangi karena masalah pembiayaan yang tinggi. Sukacita bahkan dukacita sekalipun tidak terlepas dari budaya dan produk budaya lintas suku bangsa, seperti pawai budaya di hari-hari raya, contohnya perayaan Pehcun (halaman 137) dan Hari Raya Cioko (halaman 138) yang oleh beberapa orang suka disebut sebagai Hari Sembahyang Rebutan.

Di hampir seluruh kategori, anak-anak sejak zaman dulu selalu lebih bisa menikmati hidup, apapun keadaannya, walaupun ada juga beberapa anak yang dipaksa dan terpaksa dinikahkah di usia sangat muda, seperti pada gambar Pengantin Garut, halaman 53. Anak-anak dengan kepolosannya yang alami banyak menghiasi koleksi kartu pos di buku ini. Bahkan dalam kondisi miskin sekalipun, pada gambar Penduduk Desa (halaman 95), anak-anak tidak ragu untuk tersenyum. Di sisi yang lain, ada juga orang yang sudah dalam kondisi miskin, lebih memilih untuk terus menjadi budak candu daripada bekerja untuk mencari makan, halaman 97.

Tak lupa, wanita sebagai makluk ciptaan Tuhan yang indah, juga menghiasi banyak kategori. Mulai dari rakyat jelata, sampai putri keraton, dari kanak-kanak sampai yang sudah menjadi ibu dengan anak-anak dalam gendongannya, kecantikan klasik alami para perempuan di Pulau Jawa dari berbagai suku bangsa, para wanita yang asli Jawa atau Sunda, para wanita keturunan Kaukasian di sebuah sekolah Injil sampai wanita Tionghoa yang menjadi wayang orang, termasuk ada juga dua wanita yang diperkirakan berdarah campuran.

Kesenian juga mendapat tempat khusus di buku ini. Beberapa gambar kartu pos menceritakan mengenai kesenian yang ada di Pulau jawa, yang mungkin saja generasi zaman kini sudah tidak kenal lagi, seperti Komedi Stambul (halaman 116), atau Komedi Benggala (halaman 118), bahkan Barongan (halaman 120). Mungkin juga banyak pembaca baru tahu bahwa pernah ada satu masa di Pulau Jawa, tarian Serimpi ditarikan oleh laki-laki walau kostumnya tetap kostum tari perempuan.

Buku ini juga dilengkapi dengan Pengantar dari penulisnya mengenai sedikit tentang sejarah kartu pos, kisah yang berkaitan dengan gambar-gambarnya, para fotografernya, studio atau perusahaan penerbitnya dan hal-hal lain yang akan menuntun pembaca untuk lebih dapat menikmati setiap gambar dan narasi di setiap kategori. Sebuah epilog dari Cahyadi Dewanto, Dosen Pengajar Fotografi di STSI Bandung, turut memberi warna dalam buku ini.

Banyak hal di masa lalu dapat kita pelajari dari buku ini. Kiranya kita yang hidup di zaman yang sudah merdeka dari penjajahan fisik, sudah lebih maju peradabannya, agar tidak lantas melupakan sejarah begitu saja, karena sebuah bangsa akan mudah untuk ditaklukan bila ingatan akan sejarah bangsa dihapus dari benak generasi penerusnya. Ambil, simpan dan teruskan hal-hal yang baik dan bermanfaat, namun sekedar tahu tapi jangan teruskan hal-hal yang tidak baik dari masa lalu.

Kita patut berterima kasih kepada Oli untuk usahanya melakukan pendokumentasian sedikit kepingan sejarah Bangsa Indonesia ini dengan cara yang lebih menyenangkan dan tidak dengan memaksakan opini tertentu.
Pesan Sekarang