Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Agatha Christie dan Saya

Bertahun-tahun lamanya saya mengoleksi buku Agatha Christie. Semua bermula dari kesukaan saya pada Hercule Poirot yang berhasil mengelabui empat penjahat kaliber dunia dalam Empat Besar, buku pertama yang saya baca saat berusia 14 tahun. Saya terpukau pada kecerdasan Agatha Christie menciptakan "sel kelabu"yang katanya ada pada setiap otak manusia, asal mau mengasahnya. Karena uang saku yang sangat minim, saya tak dapat memanjakan diri dengan membeli buku-buku Agatha Christie di dua toko buku besar yang waktu itu ada di kota saya. Untungnya, salah satu toko, "Banten Membangun", mengizinkan pengunjungnya untuk membaca buku yang mereka pajang. Alhasil, sepulang sekolah, saat matahari sedang terik-teriknya saya akan diam-diam membuka-buka buku Agatha Christie di suatu pojok. Saya akan melahapnya dalam keheningan mencekam dan panas menyengat yang tak jadi beban lagi (waktu itu belum ada pendingin ruangan di toko itu), meskipun dengan risiko dimarahi ibu karena pulang terlambat. Dua judul yang saya ingat adalah Dan Cermin pun Retak dan Buku Harian Josephine. Untunglah tak lama, seorang teman baru di SMP, Andri, memiliki banyak koleksi Agatha Christie yang memenuhi lemari buku di kamarnya. Saya sempat meminjam (tanpa sempat mengembalikan) dua buku Agatha Christie; Pembunuhan atas Roger Ackroyd dan Buku Harian Josephine yang saya baca ulang karena belum mengerti isinya. Seorang teman saya, Sofie Dewayani, ikut andil dalam menerbitkan kembali minat saya terhadap buku-buku Agatha Christie, setelah saya dewasa.

Dari sekitar 60 buku yang sudah saya baca, Mawar Tak Berduri —yang belum saya miliki— adalah karya Agatha Christie yang paling membuat saya tergetar setelah Mereka Datang ke Bagdad, Pena Beracun, Hotel Bertram, Pria Berstelan Coklat dan Misteri Kereta Api Biru. Selain Mereka Datang ke Bagdad yang diterjemahkan oleh A. Rahartati Bambang Haryo, lima buku lainnya diterjemahkan Ny. Suwarni A.S. Bagi saya, Ny. Suwarni A.S. adalah penerjemah terbaik buku-buku Agatha Christie. Beberapa penerjemah karya Agatha Christie lainnya yang saya ketahui, yaitu Mareta, Lily Wibisono, Lanny Wasono, Indri K. Hidayat, Tanti Lesmana, dan Dra. Gyani Buditjahja. Sejauh ini, hasil terjemahan Ny. Suwarni yang saya anggap sangat mengalir dan lancar. Ia paling banyak menerjemahkan buku-buku Agatha Christie.

Mawar Tak Berduri adalah kisah tragis berlatar belakang roman yang disuguhkan dengan sederhana dan menarik dalam bukunya. Agatha Christie berperan cukup besar dalam proses kepenulisan saya, meskipun saya tidak menulis cerita-cerita misteri. Satu hal paling kuat dalam karya Agatha Christie adalah sisi psikologis tokoh-tokohnya yang digarap dengan baik. Agatha Christie mampu menggambarkan sifat manusia yang secara umum sama di belahan bumi mana pun, dengan sangat menarik dan cukup logis. Karena berpengalaman dengan buku-buku Agatha Christie, saya sudah pintar menebak bahwa nama Charles atau Derek identik dengan sifat tidak bisa dipercaya dan flamboyan; Alfred dan Bantry biasanya menjadi tokoh patuh yang lamban dan membosankan. Untuk perempuan, Agatha Christie biasanya menulis Joanna atau Arlena untuk tokoh manja, kaya dan sering gonta-ganti pasangan; Lydia biasanya mewakili tokoh perempuan utama yang cerdas dan efisien; Hilda untuk perempuan yang sering kali menjadi "ibu" bagi suaminya.

Apa yang saya dapatkan dari membaca buku-buku Agatha Christie? Salah satunya adalah penilaian diam-diam yang sering saya lakukan atas diri teman-teman berdasar intuisi dan pengalaman membaca Agatha Christie. Mungkin agak naif tapi percaya atau tidak, sering kali penilaian saya tak terlalu meleset. Suami saya sering heran dengan kenyataan itu, tapi mungkin juga tidak sepenuhnya demikian. Seorang sufi dan irfan yang hidup berabad-abad lalu pernah berwasiat, "Jadikanlah yang telah terjadi sebagai contoh bagi yang akan terjadi, sebab segala sesuatu banyak mengandung persamaan". Bagi saya, hal itu benar adanya. Mungkin Agatha Christie pun mengetahui hal itu dan memahaminya dengan baik, Siapa tahu?

Sel kelabu adalah hal misterius bagi saya. Setelah puluhan buku Agatha Christie saya baca, saya tak terlalu yakin bisa menerangkan sel kelabu dengan tepat sesuai maksud penulisnya. Sel kelabu bisa jadi bagian dalam sel-sel otak yang jumlahnya miliaran, berupa titik terang jika kita sering berpikir teratur dan sistematik mengenai sesuatu. Mungkin sel kelabu memang ada pada semua orang, namun hanya sedikit yang menyadari keberadaannya. Pada buku Mawar Tak Berduri, sel-sel kelabu Poirot menuntunnya ke tengah-tengah rumpun mawar tak berduri yang menjadi kunci segala pertanyaan membingungkan. Tapi bisa jadi itu hanya rekaan, karena hanya pada Poirot-lah sel kelabu itu dinisbahkan. Rasanya saya berani bertaruh bahwa Agatha Christie sendiri tak tahu persis apa makna sel kelabu yang tidak ada pada Ms. Marple atau Tuppence dan Tommy, pasangan detektif yang beberapa kali muncul sebagai tokoh utama buku Agatha Christie. Mungkin karena Poirot sering digambarkan demikian perfect dan agak sok; sehingga julukan-julukannya pun harus agak melangit alias tidak biasa.

Lama-kelamaan saya makin mudah menebak tersangka dalam buku Agatha Christie, mungkin karena sudah makin berpengalaman membaca buku-bukunya. Kelemahannya, kalau boleh saya bilang begitu, adalah plot yang hampir-hampir mirip meskipun tak sama benar antara buku satu dengan buku lainnya. Walaupun demikian, saya selalu bisa merasakan kelancaran kata atau menemukan ketinggian budaya suatu bangsa yang ia beberkan dalam karya-karyanya, seperti pada Nemesis, Pembunuhan di Mesopotamia, Ledakan Dendam, dan lain-lain. Dalam karya Agatha Christie juga saya temukan penghargaan tinggi terhadap kehidupan, kemanusiaan, dan kesederhanaan. Kebetulan saya rasa, jika kemudian ia meramunya dalam kisah misteri. Dengan membaca dan mendalami karya-karyanya, timbul keyakinan dalam diri saya bahwa hidup adalah realita tidak mudah dan sering menciutkan nyali, tetapi kita tetap harus melanjutkan hidup yang penuh dengan pilihan dan kemungkinan ini, mungkin untuk bersaksi atas segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita, atau untuk belajar merasakan luka agar tak mudah melukai, kemudian menuangkannya dalam bentuk karya.

Baru-baru ini terpikir oleh saya, jangan-jangan Agatha Christie seorang penyokong feminisme pada zamannya. Kesimpulan ini saya ambil karena dia kerap menampilkan tokoh-tokoh perempuan mandiri, cerdas, bervisi, berkarakter. Bukankah sosok feminis zaman sekarang selalu ditampilkan dalam ciri demikian? Tetapi bisa jadi ia hanya mencitrakan sosok-sosok yang diinginkannya. Kalaupun demikian, terima kasih Christie!

Septina Femiati, penulis cerpen dan penerjemah
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 3/November 2003