Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menggali Kearifan Dongeng Tradisional

Hampir semua orang akrab atau setidaknya mengenal dongeng atau cerita rakyat. Dongeng ini hidup dari zaman ke zaman dan diturunkan melalui tradisi oral. Lebih sering cerita rakyat tersebut dituturkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sebagai dongeng pengantar tidur. Melalui tradisi seperti itulah cerita rakyat terus hidup hingga di zaman modern seperti sekarang.

Takdisangkal lagi dongeng-dongeng klasik pengantar tidur ini meninggalkan kesan yang mendalam di hati anak-anak. Bahkan Putu Wijaya dengan yakin mengatakan bahwa dongeng-dongeng pengantar tidur tradisional seperti itulah yang memberikan banyak peran cukup berarti dalam kiprah kepengarangannya. Dongeng-dongeng tradisonal yang dia dengar dari neneknya saat menjelang tidur menggoreskan jejak imajinasi dalam benaknya.

Di masa sekarang, ketika orang tua tidak lagi sempat mendongeng untuk anak-anaknya, dongeng-dongeng tradisional dituturkan dalam bentuk teks cetak. Dongeng-dongeng itu dikemas dalam bentuk buku yang bisa dengan mudah ditemukan di toko-toko buku. Fenomena seperti ini tentu sangat menggembirakan karena modernisasi memberikan sumbangan yang besar kepada kelestarian dongeng-dongeng tradisional. Ketika tradisi oral turun-temurun tidak lagi efektif, dunia modern menawarkan solusi yang tepat.

Banyak orang yang berpendapat aktivitas mendongeng orang tua kepada anak-anaknya lebih baik ketimbang sekadar membelikan anak-anak mereka buku-buku cerita. Mereka menganggap aktivitas tersebut memberikan sentuhan emosional yang lebih intens antara pendongeng (orang tua) dan yang didongengi (anak-anak). Di sisi lain, membiarkan anak-anak membaca sendiri dongeng-dongeng dari buku tidak melibatkan emosi antara orang tua dengan anak.

Terlepas dari kelemahan yang dimiliki oleh dunia modern, penerbitan dongeng-dongeng tradisonal tetap merupakan usaha yang layak untuk disyukuri.

Bila tradisi oral hanya melingkupi wilayah sosial yang sempit —keluarga atau komunitas masyarakat tertentu— maka tradisi tulis bisa memberikan ruang lebih luas. Keterbatasan ruang dan waktu teratasi berkat kemajuan teknologi manusia. Dengan begitu, dongeng-dongeng yang pada awalnya hanya menjadi konsumsi lokal bisa dibaca oleh masyarakat lebih luas. Selain itu, kendala bahasa lokal yang semula menjadi media dongeng-dongeng tersebut bisa teratasi karena dongeng-dongeng tradisional itu diceritakan kembali dalam bahasa yang lebih luas jangkauannya, dalam hal ini bahasa Indonesia. Dengan bahasa Indonesia, otomatis dongeng-dongeng tersebut bisa dinikmati oleh banyak kalangan dari berbagai bahasa ibu di Nusantara.

Kenapa Cerita Tradisional?
Seiring dengan berkembangnya otonomi dalam bidang pemerintahan pusat-daerah, wacana kearifan lokal menjadi pembicaraan yang hangat. Bila selama ini pemerintah pusat memiliki kemampuan kooptasi yang kuat baik dalam bidang pemerintahan maupun kebudayaan, maka sekarang saatnya wacana-wacana lokal mendapatkan angin segar. Dalam situasi seperti ini, mestinya dongeng tradisional memperoleh porsi yang selayaknya. Kearifan lokal dalam dongeng tradisional yang selama ini tersingkirkan atau terpendam sudah saatnya untuk digali kembali.

Pun seiring kondisi dunia yang semakin mengglobal oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi, sudah semestinya cerita rakyat mendapatkan perhatian yang lebih baik. Selama ini kita bisa merasakan betapa cengkeraman globalisasi telah menciptakan dampak yang besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Globalisasi telah menciptakan kanal besar bagi masuknya kultur dari luar (Barat).

Contoh sederhana dari pengaruh globalisasi ini adalah banyaknya buku anak-anak terjemahan pengarang luar negeri. Jika dibandingkan, jelas sekali buku anak-anak karya pengarang lokal kalah laris dibanding buku-buku terjemahan tersebut. Apalagi bila dibandingkan dengan buku-buku yang berbentuk cerita rakyat, mereka serupa bumi dengan langit. Dari hasil penyusunan jenjang buku-buku laris oleh sebuah media massa, buku-buku cerita rakyat tersebut tidak pernah menjadi buku laris (best seller). Urutan teratas buku-buku laris ditempati oleh buku atau komik, antara lain fiksi dan dongeng, terjemahan.

Lalu pertanyaannya, kenapa demikian? Penyebab paling utama karena dahsyatnya arus globalisasi. Gelombang yang besar ini memberikan pengaruh besar pula —meski tidak tersadari oleh masyarakat— sehingga menciptakan pola pikir west minded. Masyarakat sekarang telah terpola untuk mengonsumsi segala sesuatu yang berbau impor.

Desakan kultur impor ini kemudian menghasilkan generasi yang gagap budaya. Mereka terlahir dalam kultur yang canggung. Tubuh wadak mereka impor, tapi jiwa mereka lokal, bahkan tradisional. Hal ini sangat kentara ketika mereka mencoba berpakaian dan bertingkah selayaknya bangsa yang modern, tapi logika berpikir mereka masih tradisional. Mereka sangat doyan dengan teknologi karena itu merupakan bagian yang tidak bisa terlepaskan dari gaya hidup modern, tapi kepala mereka masih dipenuhi dengan takhayul dan klenik, sebagaimana terlihat pada tingginya peringkat acara-acara "hantu" televisi.

Pun demikian halnya dengan bacaan. Mereka Iebih menyukai bacaan impor ketimbang karya lokal karena Iebih bergengsi dan modern. Kondisi seperti ini mengingatkan kita kepada kondisi bangsa Indonesia pada zaman kolonial. Pada masa itu, masyarakat dari kalangan elite pribumi juga mengidap sindrom inferior dengan posisinya. Konstruksi sosial yang dibangun oleh pemerintahan kolonial menciptakan pola pikir bahwa tradisional Iebih buruk ketimbang modern. Mereka berusaha keras menyamai para majikan bule mereka dalam segala cara meski pada akhirnya mereka kelihatan kedodoran dan ngoyo woro.

Tulisan ini sama sekali tidak hendak mengatakan bahwa modern lebih buruk ketimbang tradisional. Lagi pula persoalan modern-tradisional sudah menjadi perdebatan usang. Namun, satu hal yang perlu kita cermati kembali adalah bahwa sesuatu yang berbau tradisional pun sebenarnya memiliki nilai yang tidak kalah baiknya dengan yang modern. Dalam kasus ini, cerita rakyat yang tradisional pun memiliki banyak hal bermanfaat bagi pembentukan mental bangsa.

Dengan segenap keterbatasannya, cerita rakyat masih punya peran yang harus diperhitungkan karena cerita rakyat memiliki fungsi sangat penting. Pertama, cerita-cerita tradisional merupakan hasil kreasi budaya bangsa. Penulisan kembali cerita rakyat tidak hanya sekadar (seperti jargon yang sering didengungkan oleh pemerintah) demi melestarikan kebudayaan adiluhung bangsa, melainkan lebih demi pemahaman yang lebih intens terhadap kultur bangsa.

Selama ini, masyarakat pada umumnya dan pemerintah pada khususnya cenderung mengabaikan pemahaman terhadap kultur bangsa. Pelestarian budaya bangsa lebih sebagai tindakan mengelap-ngelap hasil kebudayaan yang dianggap adiluhung, bukan pada pemahaman dan pergulatan yang intens. Singkatnya, masyarakat menganggap kebudayaan sebagai sebuah benda mati yang harus dipuja-puja dan dijaga agar tidak lekang oleh musim.

Cara berpikir seperti ini nyata sekali bila kita melihat laju pembangunan selama ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah sering kali tidak tepat dan terkesan semena-mena karena memang tidak mempertimbangkan situasi kultural dan sosial masyarakat setempat. Padahal jika mau belajar dari masa lalu bangsa, kita bisa menemukan bahwa pemahaman atas budaya bangsa sangatlah penting.

Pada masa kolonial, Belanda belajar banyak hal tentang negeri yang dijajahnya. Melalui para ahli mereka, pemerintah kolonial Belanda berusaha memahami karakter dan kelemahan kaum elite feodal dan rakyatnya. Sebagai contoh, Belanda mengirim Snouck Hurgronje ke pedalaman Aceh untuk mempelajari budaya dan tradisi masyarakat di sana. Dengan ketekunan semacam itulah pemerintah kolonial bisa menancapkan kukunya selama tiga setengah abad di Hindia Belanda.

Kedua, cerita-cerita tradisional bisa memberikan wacana alternatif bagi masyarakat. Bila selama ini masyarakat Iebih banyak dijejali oleh konstruksi sosial dan kultural Barat, sudah saatnya masyarakat memiliki alternatif lain. Dengan begitu, masyarakat menjadi Iebih bijak dalam menghadapi hiruk pikuk arus sosiokultural global.

Beberapa Persoalan
Meski demikian, dari berbagai ragam buku cerita rakyat yang telah diterbitkan, ada beberapa persoalan yang dimiliki penerbitan cerita rakyat. Persoalan-persoalan tersebut menghambat perkembangan penerbitan cerita rakyat. Salah satunya kita bisa menemukan belum adanya kategori yang konsisten dalam penerbitan cerita rakyat. Pada umumnya, cerita rakyat merupakan mitos-mitos yang diceritakan turun-temurun. Pencerita awal dari mitos tersebut tidak lagi bisa diketahui karena mereka anonim. Karena dongeng tersebut berupa mitos, kebenarannya tidak harus ditempatkan secara kaku. Realitas dan imajinasi bercampur baur dengan kepentingan-kepentingan masyarakat atau penguasa tempat mitos itu hidup. Dari jenis ini, kita bisa mengambil contoh dongeng asal usul tempat atau cerita fabel.

Jenis kedua adalah cerita sejarah. Dalam kasus ini, realitas historis lebih kuat dibandingkan jenis yang pertama. Infiltrasi unsur imajinasi ke dalam jenis kedua ini sejauh mungkin dihindari, terutama yang berkaitan dengan fakta-fakta sejarah. Bahkan orang berusaha untuk mereka ulang kenyataan lampau sedekat mungkin dengan yang sesungguhnya. Mereka menyampingkan unsur-unsur yang menodai realitas cerita ini. Dari jenis ini kita bisa mengambii contoh kisah-kisah sejarah atau cerita tentang seorang pahlawan.

Akan tetapi, pemisahan seperti ini kurang mendapat perhatian dari penerbit. Misalnya, cerita kepahlawanan (cerita tentang pahlawan-pahlawan kemerdekaan) dikategorikan ke dalam serial cerita rakyat. Kecerobohan seperti ini tentu saja sangat mengganggu. Kekacauan pengkategorian seperti ini berdampak pada penghilangan sekat antara dongeng (yang lebih dekat pada) imajinasi dengan cerita sejarah yang realitas historisnya lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Persoalan lainnya, penulisan kembali cerita rakyat tersebut lebih banyak didasarkan pada teks-teks yang sudah populer. Kecenderungan ini tentu saja bisa dimaklumi karena cerita-cerita yang sudah populer lebih menarik perhatian pembaca karena mereka sudah akrab dengan cerita tersebut. Namun, hal ini akan berakhir pada kebosanan pembaca. Semakin lama mereka akan jenuh dengan teks-teks yang melulu berupa cerita-cerita yang sudah mereka dengar atau hafal.

Kondisi seperti ini sebenarnya bisa diatasi dengan mencari teks-teks baru. Cerita rakyat bisa dicari dalam naskah-naskah kesusastraan daerah atau menggali lagi cerita-cerita rakyat yang selama ini belum dikenal oleh banyak orang. Mengingat begitu banyaknya naskah kesusastraan daerah yang telah ditranskrip atau ditransliterasi oleh para filolog Indonesia, rasanya banyak sekali naskah mentah yang siap diolah menjadi buku dongeng. Pun dengan cerita rakyat yang berkembang melalui tradisi lisan hingga sekarang dan belum pernah diceritakan kembali dalam bentuk tulis.

Persoalan berikutnya adalah gaya penulisan cerita rakyat. Selama ini gaya penulisan dongeng untuk konsumsi anak-anak sangat monoton. Bahkan kebanyakan dari buku dongeng kita masih sangat buruk. Kecenderungan penulisan cerita rakyat bersifat sederhana dan kurang memperhatikan aspek estetis tulisan tersebut. Jika dibandingkan dengan penulisan kembali cerita tradisional yang dikonsumsikan bagi orang dewasa, akan nyata sekali perbedaannya.

Para penulis ulang dongeng tradisional kelihatannya sangat khawatir dengan persoalan keterbatasan kosakata dan kemampuan berbahasa pembaca mereka, anak-anak. Karena merasa anak-anak masih memiliki perbendaharaan kata yang minim, para penulis pun merasa kurang leluasa. Akibatnya, gaya bahasa mereka menjadi monoton. Padahal, logika seperti ini mestinya dibalik. Karena kosakata anak masih minim, maka menjadi tugas penulis untuk sedikit demi sedikit memperkenalkan kosakata baru kepada mereka.

Lebih jauh lagi, penulis dongeng tradisional sudah saatnya melakukan adaptasi atau dekonstruksi atas dongeng-dongeng yang selama ini berkembang. Jika selama ini orang mengenal tokoh kancil sebagai personifikasi makhluk yang cerdik, bisa saja misalnya tokoh kancil digambarkan sebagai binatang yang licik karena menipu binatang-binatang lain demi kepentingan pribadinya. Dengan begitu, teks-teks dongeng anak-anak bisa menjadi lebih dinamis.

Persoalan yang lain adalah kurangnya promosi, atau bahasa gagahnya kampanye. Yang terakhir ini berkaitan dengan laku tidaknya buku dongeng, Selama ini buku-buku anak terjemahan selalu disertai dengan promosi besar-besaran. Terkadang pula promosi itu semakin gencar karena berbarengan dengan promosi di negara asal pengarang buku tersebut. Dunia global sekarang ini dipenuhi oleh kemajuan teknologi, yang membuat dentang promosi menjadi sangat keras gaungnya. Terlebih lagi bila promosi itu dilakukan di beberapa negara sekaligus, akan semakin kuat pengaruhnya pada khalayak.

Dengan melakukan pembenahan di beberapa persoalan tersebut, semoga saja penerbitan cerita-cerita rakyat menjadi lebih berkembang. Dengan begitu, wacana-wacana kearifan lokal yang selama ini terpendam bisa tergali dan "terbaca" oleh khalayak luas, khususnya anak-anak. Bukankah segumpal batu mulia pun tidak akan bisa memancarkan keindahannya bila terpendam jauh di dasar bumi?

Imam Risdiyanto, penulis cerita anak, anggota Komunitas Dolanan Yogyakarta
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 3/November 2003