Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ChickLit, Buku Laris Penulis Manis

Dalam industri perbukuan dewasa ini, mencuat istilah ChickLit. ChickLit adalah singkatan dari Chick Literature, nama lain dari genre novel populer di Amerika dan Inggris, terutama bacaan bagi kaum wanita kosmopolit. Bacaan ChickLit selain pengarangnya memang rata-rata wanita muda dan modern, permasalahan esensial yang diangkat adalah "khas wanita", seperti hubungan dengan pria, hobi belanja, dan lain-lain yang bernuansa "rumpian" atau gosip.

Istilah ChickLit sendiri merujuk pada term chick yang berarti sosok wanita muda protagonis yang mandiri, umumnya masih lajang, gaya hidup kosmopolit, mengalami pelbagai problematik percintaan, sedang mendambakan "The One" atau "Mr. Right" alias kekasih pujaan. Sementara Lit sendiri kependekan dari "literature"; Lit di sini merujuk pada arti "bacaan", bukan sebutan "sastra" pada umumnya. Ada juga yang menyatakan (merujuk pada istilah yang dikemukakan Nancy Pate) ChickLit adalah bacaan bagi wanita usia 20 tahun ke atas. Sebutan lain menyatakan ChickLit adalah genre terkini dalam Female Literary Tradition.

Istilah ini pertama kali mencuat pada pertengahan 1990-an di Inggris, terutama ketika novel White Teeth karya Zadie Smith muncul sebagai pemenang penghargaan Guardian First Book Prize di Inggris dan Bridget Jones's Diary (beredar tahun 1996) yang ditulis Helen Fielding menjadi best seller. Kendati sudah diawali oleh Zadie Smith, Helen Fielding, novelis kelahiran Yorkshire lebih dianggap sebagai pionir sekaligus pelopor bacaan ChickLit. Selain berhasil menjadi best seller novel Bridget Jones's Diary pun kemudian diangkat ke layar lebar. Selanjutnya, setelah Bridget mulai banyak muncul bacaan serupa seperti Jemina J (Jane Green), Diary of A Mad Bride (Buku Marian Sang Calon Pengantin, Laura Wolf) sampai The Nanny Diaries (Buku Marian Nanny, Emma Mc Laughlin dan Nicola Kraus). Di Indonesia sendiri, seri ChickLit —yang diterjemahkan Gramedia Pustaka Utama— sudah mengalami beberapa kali cetak ulang. Seiring dengan popularitasya, "aroma" ChickLit pun kemudian merambah dalam serial televisi, Sex in the City adalah salah satu contoh serial televisi yang kemudian dianggap pelbagai kalangan sebagai pengembangan dari genre ChickLit dalam industri hiburan. Serial yang dibintangi Sarah Jessica Parker ini juga tak kalah sukses, dibuat ratusan episode dengan mengangkat problematika pergaulan dan seksual wanita kosmopolit.

Pada dasarnya, ChickLit tak ubahnya dengan bacaan novel populer. Namun, genre ini mempunyai ciri khas tersendiri; tokohnya (begitu juga pengarangnya) wanita muda, usia antara 25-35 tahun, tinggal di perkotaan, dan bergaya hidup kosmopolit. Desain sampul mukanya pun sengaja dirancang warna-warni khas wanita, yaitu berwarna meriah seperti warna pastel pink atau ungu. Uniknya, rata-rata kisah yang ditulis seperti perwujudan karakter penulisnya sendiri. Problem yang diangkat kebanyakan masalah keseharian penulis yang kemudian diolah dalam bentuk fiksi.

Tengoklah Sophie Kinseffa, penulis Confession of A Shopaholic (Pengakuan Si Gila Belanja). Di novel ini ia menulis karakter Rebecca Bloomwood, seorang jurnalis yang menulis artikel dan tips-tips tentang cara mengatur keuangan di sebuah majalah wanita. Di biografi singkat penulisnya sendiri, Kinsella juga seorang jurnalis keuangan. Begitu juga The Nanny Diaries (Buku Marian Nanny) yang ditulis Emma McLaughlin dan Nicola Kraus. Mereka berdua adalah mantan "nanny" alias pengasuh.

Cerita-cerita ChickLit walau tak beda jauh dengan novel populer, pada umumnya tak lantas mendayu-dayu menjadi kisah roman yang sentimentil. Dalam cerita ini juga diangkat kesedihan karakternya yang sebagian besar mendambakan datangnya cinta sejati. Walaupun demikian, secara naratif dan tematik lebih riang bahkan optimis, seperti dalam Bridget Jones's Diary atau Confessions of a Sophaholic.

Di Indonesia sendiri, walau tak begitu mencuat istilah ChickLit kepada pengarang wanita (di sini malah lebih mencuat sebutan "sastrawangi", yaitu sebutan bagi penulis cantik yang menulis sastra, seperti Dewi "Dee" Lestari, Djenar Maesa Ayu, Violetta Simatupang, dan Rieke Dyah Pitaloka), itu bukan berarti tak ada penulis ChickLit.

Fira Basuki adalah salah satu contoh penulis wanita yang layak disebut sebagai salah satu penganut genre ini, meskipun ia sendiri tak pernah menyatakan dengan tegas jenis novel apa yang ditulisnya. Kendati setting-nya di negeri orang —Singapura— lewat trilogi novel Jendela, Atap dan Pintu, novel Fira Basuki jelas memperlihatkan ciri ChickLit tersebut. Karakter June Larasati Subagyo sebagai wanita muda mandiri tak jauh beda dengan Fira Basuki sendiri yang memang berlatar belakang penulis sebuah majalah gaya hidup. Adapun Fira sendiri mengenyam kehidupannyadi Singapura, persis June yang tinggal di Singapura sehingga dengan mudah pembaca "menyimak rumpiannya" tentang Singapura sebagai setting trilogi novelnya yang juga mampu menjadi bestseller.

Karya Amatir
Kendati mampu menjadi best seller di Inggris dan Amerika, genre ChickLit tak urung dilecehkan bahkan dikecam sebagai bacaan "bagi wanita tolol yang sedang coba-coba menulis novel, lalu membacanya". Anehnya, kecaman ini muncul bukan dari pria, melainkan dari kaum wanita sendiri, yaitu dari Dr. Stacy Gills, ahli perspektif gender dan pengamat bacaan-bacaan populer dari Exeteer University.

"Buku-buku ini memang dari dan untuk wanita yang hanya mencari Mr. Right belaka, bukan untuk wanita feminis yang mempunyai cita-cita dan idealisme tinggi. Jadi, apa bagusnya? Buat apa? Apa menariknya? Mana renungannya?" papar Dr. Stacy Gills dalam sebuah artikel yang ditulis Scarlett Thomas di surat kabar The Independent.

ChickLit sendiri tak urung memancing perdebatan. Hal ini berawal dari bombastisnya puja-puji dalam artikel yang ditulis Beryl Baindbridge, jurnalis yang juga penggemar ChickLit di berbagai majalah dan surat kabar terkemuka. Perdebatan paling keras datang dari Lola Young, kritikus sastra dari Middlesex University, memberikan kritik tajam atas fenomena ini. Ia mengomentari dengan sinis kemenangan Zadie Smith atas novelnya White Teeth yang meraih penghargaan dari Guardian First Book Prize dan The Whitbread First Novel of the Year Award pada Januari 2001.

"Kemenangan White Teeth sangat tidak layak. Tak ada plot dan ide-ide yang cemerlang di situ!" komentar Young yang juga ketua juri penghargaan UK Orange Prize, saiah satu penghargaan khusus untuk novelis wanita terbaik di Inggris. Sesungguhnya komentar Young tersebut cukup beralasan karena novel tersebut memang rata-rata hanya mengisahkan kehidupan apa adanya yang kemudian ditulis wanita muda dan cantik tanpa bermaksud mengangkat hal-hal tertentu yang digarap eksperimental atau memang berupaya mengangkat sesuatu yang belum tergarap para penulis wanita sebelumnya.

Novel White Teeth sendiri sebelumnya sudah terlebih dulu direkomendasikan novelis kondang Inggris Salman Rushdie sebagai "sesuatu yang menjanjikan" dari seorang penulis wanita muda berbakat. Ketika beredar bulan Januari 2000, banyak pula yang menganggapnya sebagai bukan novel jelek kendati mampu menjadi best seller dan mendapat penghargaan. Smith sebagai penulisnya (dan tentu saja sebelumnya ia bukan siapa-siapa) tiba-tiba mencuat dan terkenal. Keberhasilan White Teeth kemudian diikuti Helen Fielding lewat karyanya Bridget Jones's Diary yang selain best seller juga difilmkan.

Kendati White Teeth dikecam kritikus Lola Young yang sangat dihormati itu, Smith juga mendapat dukungan. Dukungan itu datang dari jurnalis senior Mick Brown lewat tulisannya yang termuat di UK Daily Telegraph. "Smith adalah penulis muda berbakat, berkulit hitam, masih usia 25 tahunan, dan memang sedap dipandang. Namun, di luar itu, karya-karyanya memang sangat lancar bertutur dan cerdas, Memang tak ada ide-ide cemerlang di situ. Lantas apa salahnya jika ia hanya memindahkan kehidupan pribadinya ke dalam fiksi?" Tulisan Brown tersebut selain mendukung keberhasilan Smith sebagai novelis juga melawan kritik Lola Young. Brown malah menyebut Young sebagai misoginis (pembenci wanita) walau ia sendiri seorang wanita yang mengomentari novel Zadie Smith. Young sendiri lantas menganggap pujian Brown terlampau berlebihan dan tidak bermutu.

Keberhasilan dan puja-puji berlebihan seperti yang ditulis Mick Brown terhadap White Teeth tak urung bak membungkam pelbagai diskusi serius perihal buku ini yang selalu memojokkannya sebagai karya yang tak layak dibaca atau hanya karya debutan seorang penulis amatir.

Genre ChickLit, tulis Jeannie Bristow dalam artikel ChickLit to Smith Lit dalam artikel di majalah Spiked, dianggap terlampau biasa karena pada hakikatnya melulu berkisah tentang gadis bertemu kekasihnya di dunia modern, sesudah itu tamat. Bacaan ChickLit sendiri di negerinya tak banyak diulas oleh para reviewer. Para jurnalis enggan menuliskannya hingga ChickLit hanya muncu! di majalah-majalah hiburan biasa. Penulisnya tak dianggap sebagai novelis. Misalnya, Sophie Kinsella yang tak dianggap sebagai novelis wanita layaknya Madeleine Wickham atau Jhumpa Lahiri sekalipun, sehingga ia hanya diulas di majalah-majalah hiburan.

Pendapat Bristow ini bukannya tak beralasan. Menurut pengamatannya, rata-rata kelemahan ChickLit (yang menjadi sasaran empuk kaum kritikus) tak hanya dari aspek naratifnya yang terlampau ringan, tetapi kebanyakan novel tersebut selaiu dihasilkan "hanya" dari karya debut penulis baru. Kondisi ini agak mirip boyband atau grup Las Ketchup di dunia musik yang hanya gemilang pada lagu hitnya yang pertama alias one hit wonder. Memang pada awalnya novel-novel seperti itu laris lalu dibicarakan. Sesudah itu, menurut Bristow, kebanyakan para penulisnya tidak menulis lagi, atau jika ia memang menulis lagi hasilnya konon tak sebagus buku pertamanya. Jadi, wajarlah tudingan-tudingan tak sedap terhadap ChickLit sebagai roman picisan atau kepada para penulisnya yang memang cantik-cantik dianggap "cuma numpang beken dan jual tampang saja mencuat".

Dalam sebuah wawancara, Zadie Smith mengaku kesuksesan novel debutnya, White Teeth, tak urung sekaligus bumerang baginya. "Apabila saya terus-terusan memikirkan White Teeth adalah buku terbaik yang pernah saya tulis, saya depresi," tutur Smith kepada Bristow.

Bristow mencontohkan karya perdana penulis ChickLit Lisa Jewell, Ralph's Party, sangat menghibur. Namun, di buku keduanya Thirty-nothing, gagal. Bahkan beberapa karakter dan alur ceritanya mirip cerita film When Harry Met Sally, walau bukan berarti Bristow lantas menuduh novel Thirty-nothing adalah plagiat dari When Harry Met Sally.

Dituding Kapitalis
Tudingan tak sedap tak hanya sampai pada kritikus atau kaum feminis yang menilainya sebagai "sampah". Kepada para penerbitnya, penerbitan ChickLit dituding hanya akal-akalan marketing atau perwujudan ide kaum kapitalis.

Maklum, penerbit tak lagi hanya menjual naskah, tapi juga penulisnya yang wanita muda dan cantik. Para editor dari penerbit genre ini punya alasan. "Anggaplah tulisan-tulisan yang hebat itu berasal dari restoran kelas bintang lima. Apa salahnya restoran kelas fast food untuk para penulis seperti McDonald's?" kata seorang editor (sayang, ia menolak disebut namanya ketika diwawancara Scarlett Thomas untuk The Independent) dari Picador, penerbit Bridget Jones's Diary.

Apakah dengan demikian karya-karya para penulis ChickLit ini bisa disamakan begitu saja dengan restoran siap saji McDonald's, alias "sekali baca terus buang"? "Maksud kami, biarkanlah kaum wanita merepresentasikan hidup dengan caranya sendiri, yaitu lewat pengalaman nyata yang tersaji dalam cerita. Nah, ChickLit adalah tempat untuk mengekspresikannya," kata editor itu. Jelasnya, ChickLit diperuntukkan sebagai bacaan kontemporer bagi wanita di masa kini sesuai zamannya. Atau secara sederhana dapat disimpulkan, ChickLit adalah bacaan biasa yang memang diperuntukkan bagi orang biasa.

Para penerbit dan pedagang buku tak memungkiri betapa menjual dan menerbitkan ChickLit memang menguntungkan. Bukan berarti buku jenis lain lantas dibilang kalah pamor dengan ChickLit. "Pasar terus meluas," jelas Kirsty Fowkes, publishing director dari Penerbit William Heinemann. Dia memberi contoh, Toko Buku The Mango Book Club yang untung menjual buku ChickLit dan sejenisnya tetap saja mampu meraih laba dari penjualan buku jenis suspense thriller, science fiction ataupun karya sastra klasik.

"Ini adalah berita bagus. Sesungguhnya banyak orang tidak membeli banyak buku. Tapi banyak wanita muda atau berpasangan membeli buku seminggu sekali, terutama membeli ChickLit. Tak dapat dipungkiri mereka adalah kunci pemasaran bagi pedagang dan pemilik toko buku. Selain permintaan pasar buku-buku ChickLit memang besar," tambahnya.

Pendapat Kirsty Fowkes tersebut dibantah Nicholas Clee, manajer Toko Buku The Bookseller. "Sepertinya pendapat tadi seolah-olah menyatakan 'beri kami sebanyak-banyaknya ChickLit karena kami menjualnya' Bukankah Anda tak dapat memaksa orang untuk membeli yang tidak mereka sukai meski sudah mati-matian melakukan promosi? Apabila promosi ChickLit sudah mati-matian dan nggak laku-laku juga, ya tentu saja pedagang akan menjual buku-buku lain!" bantah Clee.

Apa pun yang terjadi, terlepas dari tudingan tak sedap para kritikus dan penerbit yang memikirkan keuntungan dan kemudahan saja, para penulis wanita yang entah disengaja atau tidak tergabung dalam genre ChickLit tetap tak dapat ditolak keberadaannya. Bukankah sesungguhnya tak banyak penulis wanita yang kemudian berhasil dan cemerlang seperti Zadie Smith, Helen Fieldings, Sophie Kinsella atau seperti di Indonesia, Fira Basuki?

DonnyAnggoro, redaktur situs sastra Cybersastra.net dan editor sebuah penerbitan di Jakarta
Majalah MataBaca Vol. 2 / No, 1 / September 2003