Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tubagus Arie Rukmantara: Di antara Haji Agus Salim dan Alvin Toffler

Menulis buku adalah salah satu dari beberapa hal yang ingin dicapai mahasiswa tingkat akhir Jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini. Lain dari itu, Tubagus Arie Rukmantara juga ingin menjadi pekerja kemanusiaan di lembaga internasional seperti Persatuan Bangsa Bangsa, lalu menjadi wirausahawan. Tampaknya Arie atau Tebe —begitu sering ia disapa— cukup serius dengan cita-citanya, Buktinya, ia berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan berlingkup internasional, seperti menjadi anggota Youth Coordination Centre International yang bermarkas di Bangkok, lalu menjadi utusan mahasiswa Indonesia di dalam beberapa kegiatan internasional, seperti South East Asia University Student Conference di Kuala Lumpur (2000) dan Asian Resource Foundation Council Meeting di Bangkok (2003).

Tak salah kalau ia memilih skripsi sarjananya dengan tema "Peran Indonesia dalam Menyelesaikan Konfiikdi Kamboja Tahun 1979-1993". Di samping itu, Tebe yang sekarang ini sebagai staf Laboratorium llmu Politik FISIP Ul dan Redaktur Pelaksana Tabloid Warga Depok, juga mengikuti pelatihan "Innovation Programme" Centre for Enterpreneur and Development Studies (CEDS) UI. Kemudian mulai merintis berwirausaha di bidang pengembangan SDM di bawah pembinaan CEDS UI dan Yayasan Dharma Bakti Astra (YDBA). Semua itu dilakukan sebagai persiapan kelak ingin menjadi wirausaha. Sementara untuk menjadi seorang penulis sudah dibuktikannya dengan menjadi editor sekaligus penerjemah Perempuan dalam Pandangan Soekarno karya Collin Brown. Ia pun sedang menanti penerbitan dua cerpennya.

Anak ketiga dari empat bersaudara ini sangat mandiri dalam aktivitasnya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh sang ibu yang single parent dalam mendidiknya. Sebagai mahasiswa, Arie sangat prestatif, contohnya menjadi Finalis Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Sastra UI (2000). Namun, justru ia sangat bangga dengan penghargaan dari majaiah Hai dalam Program Reporter Magang (1999-2000) dengan predikat "sangat istimewa". Penghargaan tersebut ia peroleh karena kemampuannya sebagai reporter magang yang mampu merambah sebagian besar wilayah kepulauan Nusantara, kecuali Indonesia bagian timur.

Kini Tebe, yang punya hobi jalan-jalan dan membaca, sibuk dengan berjubel kegiatan. Selain menulis artikel dan mengikuti berbagai kegiatan dan aktif membuka jaringan internasional untuk ANGGI Foundation, juga ikut dalam kampanye penyadaran bahaya HIV-AIDS.

Berikut ini hasil bincang-bincang MATABACA dengan tokoh muda kita seputar pandangannya mengenai segala hal yang berkaitan dengan dirinya atau sikapnya serta pandangannya soal topik "buku sebagai ekspresi kebudayaan".

Apakah Anda senang membaca buku?
Ya. Saya cinta buku.

Berapa banyak buku yang Anda baca setiap bulannya?
Mininal dua buku.

Adakah waktu khusus dalam membaca?
Bangun tidur, sore hari, dan sebelum tidur.

Di manakah tempat yang sering Anda gunakan untuk membaca buku?
Di kamar (sebagai perpustakaan pribadi), perpustakaan di kampus, di bus dan di kereta (untuk mengisi waktu selama perjalanan, teruiama bila macet), di sekretariat yayasan. Saya membaca di hampir setiap tempat dan hampir setiap waktu.

Seberapa banyak dalam sebulan Anda menulis?
Minimal satu feafure dan dua makalah.

Buku-buku apa saya yang Anda baca?
Komik, buku pelajaran, buku fiksi, buku agama. Yang lain buku sejarah, filsafat, ekonomi, budaya, biografi, buku tentang globalisasi.

Adakah buku yang Anda sangat suka atau favorit bahkan dibaca berkali-kali?
Buku Future Shock karya Alvin Toffler, Malay Dilemma karya Mahathir Mohammad, Asian Renaissance karya Anwar Ibrahim, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga karya Anthony Reid, Rich Dad Poor Dad karya Robert T. Kiyosaki, Seven Habbit for Highly Effective People karya Steven R. Covey.

Adakah buku yang Anda tidak suka ketika selesai membacanya? 
Belum ada.

Apakah Anda memiliki perpustakaan prlbadi?
Ya.

Apakah Anda sering mengunjungi perpustakaan selain perpustakaan sekolah?
Ya.

Di manakah Anda sering membeli buku?
Di bazar buku bekas atau di Kwitang dan TIM (Taman Ismail Marzuki—red.).

Adakah tulisan Anda yang sudah dibukukan atau mungkin bahkan mendapatkan penghargaan?
Belum ada. Dua cerpen saya "katanya" akan diterbitkan oleh Pak Ismail Marahimin, tapi belum jelas. Saya juga pernah menjadi editor dan penerjemah Perempuan dalam Pandangan Soekarno karya Collin Brown, namun sampai sekarang saya belum dapat kabar dari penerbitnya.

Menurut Anda, buku lebih berguna sekadar pengisi waktu tuang atau waktu senggang yang tidak berguna atau berguna untuk semua waktu?
Berguna untuk semua waktu.

Bagaimana Anda memperlakukan buku? Misalnya, dirawat dengan baik setelah dibaca atau disimpan dirak atau dibiarkan menumpuk begitu saja?
Saya membuat rak yang setiap minggu saya rapikan dan saya bersihkan debu-debu yang menempel di buku-buku paling tidak sebulan sekali, apabila saya benar-benar punya waktu luang.

Apakah ada buku yang Anda perlakukan secara khusus?
Buku mahal, buku terbitan zaman penjajahan Belanda (dalam bahasa Belanda, dan saya dapat membaca bahasa Belanda dengan bantuan kamus/pasif) dan buku kenang-kenangan dari luar negeri atau pemberian kawan dari luar negeri. Di luar Kitab Suci tentunya.

Siapa pengarang Indonesia yang Anda sukai dan kagumi?
Pengarang sekarang tidak ada yang spesial bagi saya. Tapi saya fans berat Agus Salim, karena orang ini punya otak yang cerdas, bisa lima bahasa, pemikirannya bebas, tidak konservatif, dan mampu bergaul dalam skala global dan bertahan menghadapi pergantian generasi. Tindakannya selaras dengan pikirannya, ia menentang matrilineal dengan cara hidup di luar Bukittinggi, ia menentang pendidikan kolonial dengan cara menjadi guru bagi anak-anaknya, dan ia menentang Islam konservatif dengan cara membuka hijab (pembatas) antara laki dan perempuan pada suatu pertemuan.

Adakah pemikirannya mempengaruhi kiprah Anda atau justru sering Anda pakai dalam keperluan-keperluan tertentu?
Ya, Agus Salim.

Siapakah pengarang asing yang Anda sukai dan kagumi? 
Alvin Toffler.

Adakah pemikirannya mempengaruhi kiprah Anda atau justru sering Anda pakai dalam keperluan-keperluan tertentu?
Alvin Toffler ialah seorang futuris yang mempelajari sejarah dan ilmu sosial dan ia benar-benar mengikuti arus informasi dan perkembangan dunia sehingga ia bisa membuat Future Shock dan Third Wave.

Apakah ada orang yang sangat Anda kenal cukup briiian, tapi belum pernah menulis atau sudah sering menutis namun tidak pernah menghasilkan sebuah buku pun? 
Ya, teman diskusi saya, seorang mahasiswa Jurusan Politik yang jago filsafat Islam tapi belum pernah menulis sekalipun dan hasil tulisannya kurang bagus. Dan seorang doktor sejarah yang sering ke luar negeri tapi belum pernah menulis buku sendiri, hanya kumpulan tulisan atau menjadi editor karya-karya sejarah.

Menurut Anda apakah negeri kita tertinggal dalam "dunia ide/pemikiran" dibanding negeri-negeri tetangga?
Melihat kondisi sekarang ini, kita tidak tertinggal. Paling tidak, sejak1998.

Kalau negeri-negeri lainnya, bagaimana menurut Anda? 
Apabila kita mau menggunakan istilah negara dunia ketiga atau negara berkembang (developing country), saya pikir masih ada negara-negara di bawah kita. Misalnya Kamboja, Laos, dan Myanmar. Kamboja baru memulai jadi negara sejak 1998, sedangkan Laos dan Myanmar dipimpin militer dengan daya sensor (censorship) yang tinggi. Belum lagi negara-negara Afrika selain Afrika Selatan. Mereka masih banyak yang berperang, seperti Ethiopia, Erithrea, Kenya, Nigeria, dan lainnya.

Menurut Anda apakah tanpa mengembangkan ide-ide lewat buku-buku suatu negeri bisa maju?
Tidak. Saya berpendapat kemajuan sebuah negara sangat berkaitan dengan karya tulis para pemimpinnya, baik itu artikel, fiksi maupun buku. Tulisan seorang pemimpin membuktikan bahwa ia sistematis dalam berpikir dan dapat dijadikan pijakan (platform) untuk berjuang. Contohnya, Soekarno menulis baik sekali tentang peleburan Islam, nasionalisme dan agama (Di bawah Bendera Revolusi), begitu juga dengan Tan Malaka. Sementara Sjahrir berbicara tentang konsistensi lewat Perjuangan Kita dan Hatta sering menulis tentang ekonomi global dan sosialisme ketika di penjara Glodok dulu. Di Cina; semua pemimpin RRC meninggalkan karya tulis seperti Mao Zedong dengan The Red Book, Deng Xiao Ping dengan Empat Pilar Kemajuan Cina, dan Jiang Zemin yang mengonsep pengikutsertaan para usahawan (businessman) dalam Partai Komunis Cina.

Apakah buku dapat memberi pengaruh langsung dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa?
Tentu! Masyarakat Indonesia tidak akan tahu bagaimana hidup demokratis apabila mereka tidak pernah baca apa arti demokrasi dan apa syarat untuk disebut demokratis. Karena belum banyak dari kita yang membaca itu semua, jangan heran apabila masih ada pemaksaan kehendak dengan kekerasan.

Bisakah diberi gambaran negeri yang sangat cepat kemajuannya dikarenakan masyarakatnya sangat gandrung pada buku?
Jepang! Mereka pernah melakukan usaha besar-besaran menerjemahkan buku-buku pemikir Barat ke dalam bahasa Jepang. Negara-negara di Eropa membaca dan menerjemahkan tulisan para pemikir Islam seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rasyid, sehingga mereka maju pesat pasca-Perang Salib. Bangsa Yahudi, ialah pembaca buku dan ilmuwan yang tekun, dalam waktu singkat ras yang tak berlahan ini sudah bisa punya negara, di tanah suci lagi! Thailand, di bawah Chulalongkorn mengirim anak-anaknya belajar ke Eropa agar lebih cerdas dan kini keluarga kerajaan adalah pembaca dan penggemar buku yang baik.

Bisakah diberi gambaran atau contoh buku-buku apa saja yang menurut Anda sangat mempengaruhi suatu kehidupan masyarakat dalam bermasyarakat?
Buku John Locke tentang kontrak sosial seharusnya bisa jadi dasar pemikiran mengontrol pemerintah. Novel Pramoedya Ananta Toer atau Romo Mangun bisa jadi pelajaran tentang toleransi atau menghargai keberadaan seorang individu bagaimanapun fisik, sifat, dan agamanya.

Bisakah Anda beri gambaran peristiwa-peristiwa panting yang memperlihatkan betapa besar pengaruh buku dalam kehidupan suatu masyarakat yang maju (bukan maju secara ekonomi saja)?
Buku Malay Dilemma adalah buku yang saya tahu dan rasakan dengan mata kepala sendiri sangat berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat di Malaysia. Dengan Kebijakan Ekonomi Baru, konsep Mahathir bahwa harmoni tidak sama dengan adil, atau adil tidak sama dengan sama rata sama rasa, maka Malaysia berhasil mendudukkan bangsa Melayu sejajar dengan bangsa Cina dan India. Hal ini paling tidak menghindari sentimen, pribumi = miskin. Potensi yang dimiliki bangsa Cina dan India tidak boleh disamakan dengan bangsa Melayu, oleh karena itu pemerintah Malaysia memberi keistimewaan pada bangsa Melayu. The Red Book-nya Mao, jadi bacaan wajib dalam rangka Revolusi Kebudayaan. Sekarang, Cina tetap menjadi ancaman bagi negara-negara Eropa dan Amerika di bidang ekonomi dan pertahanan, Cina sebenarnya hanya mengulang sejarah dan mempertahankan posisinya sebagai pusat peradaban dan kekaisaran yang kuat.

Pada akhir pertemuan, MATABACA meminta pendapatnya soal Indonesia agar menjadi masyarakat yang maju dan terpandang. Berikut pendapatnya yang ringkas, padat, dan berisi:
Untuk kasus Indonesia, kita hanya butuh baca banyak buku, karena masih rendah angka membacanya. Sesudah itu mewujudkan apa yang sudah dibaca, tentunya yang positif dan kreatif. Dan jangan lupa buku tentang globalisasi dan futuristik, karena seperti di Amerika, siapa pun yang memimpin, strategi menguasai dunia sudah dibuat bertahun-tahun dan tetap ada dijalan yang tepat (on the right track).

Begitu juga Indonesia, siapa pun yang memimpin perencanaan pembangunan harus dirumuskan puluhan tahun ke depan dan memposisikan diri yang tepat (mau jadi negara maju atau berkembang saja). Dan yang terpenting, pemimpinnya harus juga sering baca buku, jangan minta dibuatkan biografinya saja. Mulut sama tangan mesti seiring. Seperti Agus Salim. Dia bilang, "Leiden is Lijden!" (memimpin itu menderita). Dan benar Agus Salim tidak pernah jadi orang kaya sampai akhir hayat, hidup pas-pasan. Apakah pemimpin kita begitu? Makanya, baca dong!

Mel-Tyk/Tim Mata baca
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 12/Agustus 2003