Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tubuh, Stamina, Karya

Tanpa saya sadari sepenuhnya, tiba-tiba saya mendapatkan kelebat hubungan stamina tubuh penulis terhadap proses kreatifnya pada dua orang kawan, yang kebetulan juga penulis. Yang pertama seorang penulis artikel pendek, satunya lagi seorang novelis. Barangkali karena dalam minggu-minggu ini saya membaca sekilas biografi Yukio Mishima dan Franz Kafka. Tak pasti. Namun, dari perbincangan setetah itu justru berhamburan nama penulis baik yang menjaga tubuhnya dengan sempurna ataupun yang gagal memelihara diri, hingga tumbang oleh beragam dera.

Mishima dan Kafka adalah contoh jelas dua kontras. Sebelum mengakhiri hidupnya dalam harakiri dengan upacara sempurna, Mishima menduduki markas besar angkatan bersenjata Jepang di Ichigaya bersama pasukan elitenya, Tatenokai atau "Perisai Masyarakat". Pernahkah terlintas dalam imajinasi kita seorang penulis, yang menghabiskan sebagian besar waktunya bersama alat tulis dan gagasan, berhasil mengambil alih komando tentara, melumpuhkan tentara pilihan, memerintahkan penyanderaan, mengancam pembunuhan terhadap jenderal, dan meneriakkan "Tenno Heika Banzai!"? Bahkan menuju matinya pun dia memperlihatkan kegagahan dan kekuatan.

Kafka sebaliknya: dia penakut, pendiam, dan peragu. Seolah-olah itu terlihat nyata dari sorot layu matanya. Keseganan juga yang membuatnya tak mau menolak membantu pekerjaan orang tuanya mengurus toko, atau terus bekerja di Institut Asuransi Kecelakaan Pekerja, dan memaksanya baru bisa menulis dengan lega pada tengah malam, ketika udara dingin dan kelelahan dengan segera melumpuhkan kekuatan tubuhnya. Akhirnya, dia mati pada 1927, setelah sejak 1917 mengidap tuberkolosis. 

Mishima menunjukkan bahwa dia memiliki semangat luar biasa dalam kehidupannya. Dia haus setiap jenis pengalaman manusia. Sejak usia 20-an dia melakoni program binaraga dengan ketat, menguasai dengan sangat baik kendo (bela diri pedang) dan karate. Kebugaran itu memberinya stamina menjaga rutinitas tulis-menulis setiap malam terus-menerus. Kekuatan itu mampu menghasilkan sekitar 20 novel, belum termasuk naskah drama, penyutradaraan, dan cerita-cerita pendek. Bandingkan dengan Kafka yang menghasilkan enam novel, ditambah satu kumpulan cerpen. Apakah kita berani berspekulasi jumlah karya Kafka seandainya dia memiiiki kekuatan tubuh Mishima?

Dari perbandingan sederhana ini, jelas terasa betapa ternyata stamina tubuh memegang peran penting terhadap produktivitas karya. Semakin sehat dan segar tubuh akan semakin terbuka kesempatan tercipta suatu karya. Saya teringat Henri Matisse —seorang perupa— yang tetap bertahan untuk terus berkarya hingga usia 85, sambil bertarung melawan penyakit dan terbaring di atas ranjang. Dia masih kuat memotong-motong bentukan kertas, baru kemudian meminta asistennya menempelkan itu sesuai imajinasinya. Begitu juga Kuntowijoyo, sastrawan cendekiawan kita yang mengagumkan, yang tidak menyerah menulis meski terkena stroke dan melumpuhkan syaraf-syarafnya. Daya tahan mereka sudah selayaknya diberi penghargaan.

Leopold von Sacher-Masoch juga termasuk penulis yang tubuhnya terpelihara sehat wal afiat. Dalam sebuah surat kepada Emilie Mataja, dia menulis begini: "Kamu jangan sampai membayangkan aku sebagai seniman berwajah pucat atau yang berdiam diri di rumah, melainkan sebagai lelaki yang berani menantang salju dan angin, kuat berkejaran dalam permainan/perburuan di gunung-gunung. Lebih lagi aku kuat, dan tubuhkku kecokelatan, bukan pucat atau merah. Gigiku mengagumkan, dan mataku indah".

Sejumlah penulis Indonesia yang saya tahu juga memelihara tubuhnya dengan banyak cara, Mochtar Lubis adalah karateka yang gesit, sehingga tetap membuatnya kuat di usia senja. Pramoedya Ananta Toer, "lawan politiknya", juga melakukan kebiasaan tertentu untuk tubuhnya: konon dia mencangkul hampir lima jam setiap hari ditambah bersih-bersih halaman rumahnya yang luas —meskipun ketika nulis mulutnya seperti lokomotif karena tak henti-henti merokok, dan hanya ditemani kopi. Rendra: untuk alasan berbeda, yakni ketenangan diri dan konsentrasi, berlatih yoga dengan tekun. Hasilnya kita lihat bersama: setumpuk karya yang terus bertambah, dengan jumiah yang barangkali baru bisa dihitung setelah nyawa sudah dijemput maut. Setelah kematian, kadang-kadang baru ditemukan bahwa ternyata dia mampu berkarya jauh lebih banyak dari yang pernah diketahui umum. Maka menjadi akhir sempurna bila karya posthumous diterbitkan usai kematiannya.
Kawan saya yang novelis itu mengaku selalu berlatih angkat beban setiap hari agar aliran darahnya tetap lancar kemudian memaksa diri berjalan menuju pasar swalayan atau kantor pos pulang pergi, yang jauhnya sekitar 10 km dari rumahnya. Lumayan juga hasilnya: dia tengah menuju titik-titik akhir penulisan karya panjangnya.

Tapi tetap saja banyak penulis yang abai pada tubuh, membiarkannya hancur oleh kesembronoan hidup. Michel Foucault, misalnya. Gaya hidupnya yang asal-asalan, sembarangan, akhirnya membuat dia mati secepat yang disangka orang: dalam keadaan lemah terjangkiti AIDS. Chairil Anwar yang bohemia dan tak terawat katanya adalah penyebab utama kematian muda-usianya. Kenapa selalu ada penulis yang ringkih tubuhnya, dan tak menjaga diri agar terus mampu berkarya? Barangkali muaranya adalah obsesi kenangan terhadap karya: yang bagi mereka melampaui semua keinginan untuk terus dipuja sebagai tanda kejeniusan. Bisajadi yang paling mereka damba adalah pencapaian kualitas karya, bukan bertumpuknya jumiah halaman.

Padahal sesal saya, kalau saja penulis-penulis itu masih mampu terus menghasiikan karya sampai batas wajar akhir usianya, siapa tahu akan makin banyak mutiara dalam peradaban manusia. Tapi, barangkali memang Tuhan terus berahasia terhadap kematian dan nyawa, sehingga hasilnya adalah tanda, atau monumen bahwa manusia telah selesai mencapai titik tertentu, dan sambungannya akan diteruskan oleh mereka yang masih hidup dan berkarya.

Anwar Holid, seorang pencinta dan pemerhati dunia buku
Majalah Mata Baca, Vol. 1/No. 12/Agustus 2003