Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Toko Buku Luar Jawa: Hidup Enggan Mati Tak Mau

Kalau berbicara tentang toko buku, bayangan kita pasti tertuju pada sejumlah toko buku besar seperti Gramedia, Gunung Agung, Kharisma, dan sebagainya. Di toko buku sekelas ini, orang datang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan intelektual lewat buku, melainkan juga untuk tujuan lain: sekadar window shopping, ingin menikmati situasi toko buku sambil membolak-baiik buku sampai kumal, bahkan sekadar menemani pacar. Toko buku sekelas ini di Jawa umumnya dikelola secara profesional sehingga toko buku menjadi nyaman, tata letak buku menjadi menarik, pramuniaga sangat ramah, dan penyediaan buku sangat bervariasi. Bagaimana dengan toko buku di luar Jawa?

Tulisan ini secara ringkas menyentuh masalah pertokobukuan luar Jawa khususnya di Kawasan Indonesia Timur (KIT) berdasarkan pantauan penulis selama mengadakan lawatan ke KIT belum lama ini. Yang disoroti di sini antara lain kondisi toko buku luar Jawa (TBLJ), faktor yang menyebabkan TBLJ hidup enggan mati tak mau, upaya untuk mendenyutkan kembali nadi pertokobukuan luar Jawa, dan peluang bisnis di bidang ini. Tulisan kecil ini tidak menyinggung sejumlah toko buku besar di kota besar tertentu luar Jawa yang juga cukup "wah".

Kondisi Pertokobukuan Luar Jawa
Ungkapan hidup enggan mati tak mau sangat cocok untuk melukiskan kondisi TBLJ karena eksistensinya cukup memprihatinkan. Hal ini tercermin dalam pengelolaan toko buku yang belum profesional dalam hal penyediaan jenis buku yang minim, penataan letak buku yang kurang bagus, kekurangnyamanan toko buku, promosi yang kurang gencar, dan sebagainya.

Dapat dikatakan bahwa jenis atau judul buku yang disediakan sangat terbatas, Beberapa toko buku hanya menyediakan buku pelajaran. Di toko buku seperti ini, menemukan buku-buku umum seperti filsafat, sastra, atau budaya adalah sesuatu yang langka, Ketika sejumlah pramuniaga ditanya mengapa hanya buku-buku pelajaran yang disediakan, mereka mengatakan bahwa hanya buku-buku jenis inilah yang sedikit mendongkrak angka penjualan. "Jangankan beli buku-buku umum, beli buku pelajaran pun orang masih pikir-pikir," kata Mery, seorang pramuniaga toko buku. "Kami hanya menyediakan buku-buku pelajaran karena yang berminat beli buku sebagian besar adalah siswa. Itu pun karena mereka dipaksa oleh guru-guru mereka," tambah Lisa, rekan Mery. Di beberapa toko buku yang lain, keadaannya lain lagi. Selain buku-buku pelajaran, masih bisa ditemukan buku-buku bertema umum. Namun, buku-buku umum tersebut buku-buku lama yang mungkin sudah harus dikategorikan sebagai second-hand books. Itu pun second-handbooks untuk tingkat Indonesia, bukan second-hand books seperti di negara maju; second-hand books masih seperti buku baru atau masih dalam kondisi baik.

Penataan letak buku juga terkesan kurang profesional. Buku-buku ditata seperti penataan obat di apotek di Jawa sehingga para pembeli mengalami kesulitan dalam mencari sendiri, memilih. menimbang, dan memutuskan untuk membeli buku. Proses transaksinya adalah pembeli datang, lalu menanyakan jenis buku yang hendak dibeli kepada pramuniaga toko. Kemudian, si pramuniaga mengambiikan buku tersebut. Di sini tidak ada kesempatan bagi pembeli untuk mempertimbangkan buku sebelum memutuskan untuk membeli, apalagi sekadar untuk baca-baca atau membolak-balik buku sampai kumal seperti yang sering terjadi di Toko Buku Gramedia.

Kenyamanan dalam toko buku juga merupakan sesuatu yang hanya ada dalam bayangan. Ruangan sejuk ber-AC, alunan musik instrumental, atau lagu-lagu yang lagi hit seperti yang sering kita temukan di beberapa toko buku di Jawa juga merupakan barang langka. Dalam segi ini, orang yang pergi ke toko buku adalah orang-orang yang memang betul-betul sangat membutuhkan buku. Lain halnya kalau di Jawa, orang yang pergi ke toko buku bisa juga just for fun, hanya sekadar untuk bersenang-senang. Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa orang yang mengunjungi toko buku bisa dihitung dengan jari tangan.

Di sebuah toko buku, keadaannya lain lagi. Di sini, selain buku, juga dijual sembako. Jadi, pembeli buku bisa sekaligus membeli gula, garam, beras: atau susu bayi. Kalau diamati, pengunjung toko buku jenis ini sebagian besar hanya datang untuk membeli sembako, bukan buku. Kalau sembako disediakan di lantai lain, mungkin ceritanya lain. Yang terjadi, semua diatur atau ditata dalam satu ruangan. Apa yang menyebabkan TBLJ bernasib seperti ini?

Pelemah Nadi Toko Buku
Ada beberapa faktor yang menyebabkan TBLJ mengaiami nasib yang memprihatinkan. antara lain akses informasi, transportasi, daya beli, kurangnya perhatian pemerintah setempat, nihilnya investor di bidang pertokobukuan, dan kurangnya kerja sama pihak toko buku dengan pihak-pihak terkait.

Akses informasi baik dalam skala nasional maupun internasional masih menjadi kendala daiam khazanah TBLJ. Informasi sekitar perbukuan sangat lamban yang akhirnya menghambat kegiatan pertokobukuan. Dalam hal ini, informasi tentang buku-buku baru dan buku-buku laris yang sedang "hit" sangat lambat. Mengakses informasi atau memesan buku lewat internet masih merupakan impian semata. Masalah lain yang tidak jauh mengenaskan adalah transportasi. Faktor ini tidak hanya menjadi kendala dalam faktor biaya pengiriman, tetapi juga kecepatan pengiriman buku. Kalau buku-buku dikirim lewat darat-laut, dibutuhkan waktu lama sehingga akan terjadi keterlambatan dan buku akan sampai lebih lama.

Persoalan daya beli masyarakat juga menjadi persoalan lain yang sangat serius. Sangat mustahil bagi pihak toko buku untuk mendatangkan berbagai macam buku dalam jumlah besar kalau daya beli masyarakat masih rendah. Umumnya faktor ini dipicu oleh minat baca masyarakat yang masih berada di garis nol dan keadaan perekonomian masyarakat yang belum menggembirakan. Akibatnya, menumpuknya buku di toko buku sampai sekian tahun, yang tentu saja membuat pihak toko buku "enggan" untuk mendatangkan berbagai macam buku baru dari Jawa dalam jumlah besar dan variatif.

Perhatian pemerintah daerah di bidang ini pun masih sangat minim. Pihak toko buku tidak ubahnya seperti bakul telo yang dibiarkan berjuang sendirian demi perut sendiri.

Minimnya investor di bidang pertokobukuan juga menjadi masalah tersendiri. Bagi para investor, toko buku di KIT belum merupakan lahan usaha yang menggiurkan. Mereka belum menyadari bahwa apabila TBLJ dikelola secara profesional, bukan tidak mungkin pertokobukuan menjadi profitable sector.

Faktor lain yang ikut memperlemah nadi TBLJ adalah kurang proaktifnya pihak toko buku dalam bekerja sama dengan pihak-pihak terkait. Misalnya, sangat minimnya kerja sama dengan toko buku dan penerbit-penerbit di Jawa.

Benang kusut pertokobukuan yang digambarkan di atas mungkin bisa diurai sedikit demi sedikit lewat upaya-upaya berikut.

Upaya Penyelamatan
Untuk menguatkan kembali denyut nadi TBLJ, ada beberapa upaya penyelamatan yang dapat dilakukan. Pertama, TBLJ harus bersinergi dengan penerbit dan toko buku nasional yang sebagian besar berpusat di Jawa. Sinergi semacam ini sangat penting untuk memudahkan TBLJ mendapatkan informasi perbukuan secara lebih luas dan mudah serta mendapatkan buku-buku baru yang bervariatif dengan cepat. Dengan demikian, penyebaran ilmu pengetahuan dan pendidikan juga semakin cepat dan merata sehingga masyarakat mendapat kesempatan yang sama dalam hal memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan seperti yang didapatkan di Jawa.

Kedua, harus ada kerja sama antara pemerintah daerah (pemda) dan pihak swasta daerah. Bentuk kerja sama ini lebih difokuskan pada upaya saling mendukung dalam mendirikan dan mengembangkan toko buku serta mendatangkan buku-buku baru. Dengan kerja sama seperti ini, pemda tidak hanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia daerah, tetapi juga ikut menekan angka pengangguran dengan menciptakan lapangan kerja lewat toko buku.

Ketiga, pihak TBLJ harus proaktif daiam berusaha menarik minat para investor agar mau berinvestasi di bidang pertokobukuan. Pihak toko buku atau mereka yang berminat mendirikan sebuah toko buku perlu mencari terobosan baru agar para investor berani menanamkan modal. Hal ini merupakan sebuah lahan basah bagi para investor karena apabila sebuah toko buku dikelola secara profesional, minat beli konsumen pun akan meningkat.

TBLJ tampaknya akan tetap dibelit benang kusut yang mustahil terurai jika tidak segera dibenahi. Oleh karena itu, perhatian semua pihak merupakan kunci utama daiam pengembangan dan pengelolaan TBLJ. Dengan demikian, misi dan visi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa lewat buku akan terwujud.

Silvester Goridus Sukur, penulis buku, bekerja di ELTI-Gmmedia Yogyakarta.
Majalalah MataBaca Vol. 1 / No. 12 / Agustus 2003.