Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Bagus Mentok di Fulus

Di sebuah blog, muncul sebuah serial berjudul Catatan Harian Anak SMA. Isinya cerita-cerita ringan perihal anak SMA. Seorang siswa menyatakan kegundahannya, dan mungkin panik, karena lupa membawa pulang buku paket matematikanya. Buku itu, bersama tempat minum untuk bekal sekolah, tertinggal di laci kelasnya. ''Nyokap (Ibu) sampai marah-marah. Mana besok ulangan lagi,'' tulisnya.

Cerita itu menggambarkan betapa saktinya buku paket. Siswa merasa lebih aman kalau di rumah ditemani buku paket. ''Siapa tahu, kalau dibawa tidur, rumus-rumusnya ikut ngumpul di otak,'' tulis siswa yang lain. Ia mengatakan seringkali tetap merasa kesulitan menguyah materinya, sekalipun sudah membolak-balik buku matematika, fisika, atau kimianya sampai lecek.

Buku matematika, seperti halnya kimia dan fisika, bagi siswa itu tak lebih hanya sekumpulan teorema dan rumus. ''Bikin kek uraiannya, agar bisa lebih jelas,'' kata Rizki Aldi, seorang siswa SMA negeri di Jakarta Selatan. Baginya, belajar dengan buku paket adalah pekerjaan mahaberat yang membosankan.

Namun keluhan Rizki itu ditepis seorang editor buku paket yang bekerja di suatu penerbit terkemuka. ''Buku-buku eksakta yang sekarang sudah jauh lebih menarik. Sudah disertai gambar-gambar yang menarik, desain yang bagus, dan contoh-contoh soal yang aplikatif,'' kata Jarwo, sebut saja begitu nama editor khusus buku fisika SMA itu.

Menurut Jarwo, materi buku eksakta sekarang pun dikaitkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain mengacu pada buku-buku pelajaran dari pelbagai negara. ''Jadi, nggak melulu tentang teori-teori dasar seperti buku-buku zaman dulu,'' katanya. Kini ada ilustrasi penerapan matematika untuk kehidupan sehari-hari. Begitu juga fisika sudah memasukkan info sains, info terkini, dan lain-lain.

Toh, Rizki bersikeras bahwa buku-buku paket itu membosankan. ''Ya, kan mestinya pada tahu, hanya sedikit dari kami yang berbakat jadi profesor,'' tuturnya. Jadi, ia mengharapkan, buku paket lebih gamblang memberikan penjelasan.

Seorang editor dari penerbit yang lain mengakui, uraian dan ilustrasi di buku paket (eksakta) terbitannya tidak sebagus yang dia harapkan. Pasalnya, penerbit harus mengacu pada ketentuan Pusat Perbukuan (Pusbuk) Departemen Pendidikan Nasional. Harga satu buku untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dipatok Rp 22.000.

''Mana mungkin kami membuat buku murah dengan kualitas yang bagus,'' katanya kepada Gatra. Maka, untuk bisa ikut seleksi di Pusbuk dan Badan Standar Nasional Pendidikan, mereka mengurangi jumlah halaman. ''Supaya harganya masih masuk dalam standar yang ditetapkan,'' ujarnya. Akibatnya, materi yang berjibun disesakkan dalam ruang (halaman buku) yang sempit. Tampilannya pun jadi tak menarik.

Editor itu mengaku iri pada buku paket eksakta terbitan Departemen Agama pada awal 2008, yang dibagikan kepada madrasah aliyah unggulan secara gratis. ''Tampilannya menarik,'' katanya. Ia mengaku bisa mencetak buku dengan kualitas yang setara. ''Tapi tentu, biayanya lebih besar,'' ia menegaskan. Selama ini, keinginannya mencetak buku bagus selalu mentok di urusan fulus.

Melihat perkembangan buku paket itu, Wakil Ketua Komisi X DPR-RI yang membidangi pendidikan, Didik J. Rachbini, menyebutkan bahwa banyak buku paket yang harganya mahal untuk kualitas yang ia anggap pas-pasan. Penerbit, katanya, dibebani biaya tinggi. ''Bukan karena biaya kertas, melainkan karena ongkos transaksi, biaya korupsi, dan biaya kolusi yang terjadi dalam proses produksinya. Ini yang menjadikan buku itu menjadi mahal,'' katanya kepada Gatra, Selasa lalu.

Menyangkut rencana pemerintah memperluas cakupan buku paket murah, dengan menerbitkan 250 judul untuk pelajaran SD, SMP, SMU, dan kejuruan, Didik menyambutnya dengan antusias. Namun politikus dari Partai Amanat Nasional itu menegaskan, untuk memperbaiki mutu buku pelajaran, korupsinya mesti dihilangkan.

Lebih jauh, menurut Didik, pemerintah harus membuat program buku murah itu dengan proses seefisien mungkin. Mutu kertas boleh tak terlalu tinggi agar harganya terjangkau. Tapi, untuk mewujudkan rencana itu, Didik mengingatkan agar pemerintah memberesi dulu sumber-sumber penyakit yang selama ini membuat buku-buku paket tidak saja mahal untuk ukuran orang kebanyakan, juga kualitasnya kurang memadai. Minat belajar siswa pun menjadi taruhan.

Rohmat Haryadi
Majalah Gatra edisi 15 / XIV / 27 Februari 2008