Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Pemeriksa Aksara": Sebuah Alternatif

Siapa tidak kenal Yogyakarta (Jogja)? Banyak julukan diterakan pada kota yang satu ini. Kota budaya, kota pendidikan, kota pelajar, dan kota perjuangan. Mungkin Jogja akan memperoleh julukan baru: "kota penerbit alternatif". Bukankah sejak era reformasi digulirkan di Jogja banyak bermunculan penerbit buku. Mereka dikenal dengan penerbit alternatif, Tema-tema buku yang diusung penerbit ini amat beragam. Semua memberikan nuansa baru di dunia perbukuan Indonesia. Juga memberikan pencerahan pemikiran bagi pembacanya.

Oleh karena itu, setiap akhir pekan saya berusaha meluangkan waktu untuk mengunjungi toko buku. Saat memasuki toko buku, saat itu pula setumpukan buku baru seakan menggapai-gapai untuk sekadar diiihat. Gerai buku baru tentu saja tidak boleh dilewatkan. Saya melihat-lihat buku, membaca judul, menyimak sinopsis, dan sesekali membaca isi. Berpindah dari rak satu ke rak lain untuk melihat-lihat apakah ada buku menarik yang bisa dibeli.

Rak khusus buku diskon juga menjadi menu wajib, Di sana tertata buku-buku dari penerbit alternatif. Kebanyakan penerbit asal Jogja. Buku-buku itu menonjol dengan wajah sampul ala penerbit Jogja. Foto atau lukisan lawas yang dikemas sedemikian rupa dengan tipografi besar-besar, Gaya penataan rupa sampul khas Buldanul Khuri dan "Si Ong" Harry Wahyu.

Selagi membuka-buka buku, mata ini menangkap sesuatu yang tidak biasa. Bukan wajah sampul yang membuat saya ingin membuka isi buku. Bukan judul buku yang membuat saya ingin membaca lebih jauh. Bukan pula nama penulis buku yang membuat saya tertarik. Sesuatu yang tidak biasa dan membuat saya merasa tertarik ialah sebaris kata-kata yang tertulis di halaman copyright. Kata-kata itu tercantum dalam halaman copyright buku-buku terbitan Penerbit Bentang Budaya (Bentang).

Sebagai seorang pembaca buku, baru kali itu saya memperhatikan dengan saksama. Selama ini halaman copyright sering dilewatkan begitu saja, Seorang pembaca buku jarang membaca sesuatu yang tertulis di sana. Paling banter seseorang akan melirik halaman copyright jika akan membuat daftar pustaka. Atau seorang pustakawan akan membuat katalog untuk koleksi bukunya.

Rasa penasaran menghinggapi diri saya untuk melihat buku-buku lain terbitan Bentang. Di dalam beberapa buku yang saya lihat halaman copyright-nya, sesuatu itu ada semuanya. Sesuatu yang membuat saya penasaran ialah kata "pemeriksa aksara" dan "pemerhati aksara".

Di halaman copyright buku paling sedikit ada judul buku, nama penulis, nama penerjemah (untuk buku terjemahan), nama penerbit dan alamatnya, serta tahun terbit, Ada pula nama editor, nama penata letak atau pewajah isi (lay-outer), jika ada ilustrasi ada nama ilustrator, serta ada pula nama pewajah sampul (desainer), Beberapa buku bahkan mencantumkan katalog dalam terbitan (KDT) dan kutipan Undang-Undang Hak Cipta.

Setelah membeli sebuah buku, saya pulang dengan seribu pertanyaan. Saking penasaran, di rumah saya membuka buku-buku tentang penerbitan buku. Dari Pengantar Penerbitan, Pedoman Dasar Penerbitan Buku, hingga Pengelolaan Penerbitan Buku. Dari An Introduction to Book Publishing, How to Publish a Book, hingga The Australian Editing Handbook. Membolak-balik halarman demi halaman sampai bosan, saya tidak juga menemukan apa yang dicari.

Saya berpikir dan berpikir ulang. Jika pemeriksa atau pemerhati aksara disamakan dengan editor, mungkin bukan. Jika dikaitkan dengan copy-editor, bisa bukan bisa iya. Ataukah pemeriksa atau pemerhati aksara di sini sama pembaca naskah akhir (dummy) sebelum dicetak, yang dikenal dengan proofreader?

Sepengetahuan saya, editor adalah seseorang yang bertugas antara lain menyiapkan naskah dari penulis, yang sudah dinyatakan layak terbit, hingga siap untuk difiim (camera ready copy) dan dicetak, Raghavan—penulis buku An Introduction to Book Publishing— menjelaskan tentang editor.

Editor dalam industri penerbitan menempati posisi yang sangat penting, Dia memberikan saran akhir tentang kelayakan cetak naskah. Jika penerbit memutuskan untuk menerbitkan sebuah naskah khusus, editor memberikan saran kepada pengarang mengenai beberapa perubahan sesuai dengan gaya penerbit atau meminta pengarang untuk melakukan presentasi guna mempertitnbangkan kepentingan isinya bagi pembaca, Pada umumnya, editor bekerja sama dengan pengarang selama pengerjaan naskah.

Hubungan dengan penulis merupakan satu hal yang gampang-gampang susah. Apalagi menyangkut pengerjaan naskah. Seburuk apa pun naskah yang diterima dari penulis, jika dinyatakan layak terbit, seoptimal mungkin editor mengolahnya hingga siap untuk dicetak. Terkadang editor harus melakukan editing berat. Kalau dianggap perlu, editor melakukan penulisan ulang (rewriting) pada beberapa bagian naskah, Sebagus apa pun naskah dari penulis, editor tetap harus membaca dan menyiapkan untuk tahap pencetakan. Berdasarkan pengalaman editor, tidak ada satu pun naskah yang benar-benar siap cetak ketika datang ke penerbit.

Menjadi editor tidaklah mudah. Diperlukan pendidikan di bidang keeditorialan, baik formal maupun non-formal. Namun, pendidikan bukanlah penentu utama, Pendidikan harus ditunjang oleh pengalaman menangani naskah. Makin tinggi jam terbang seorang editor, mestinya makin paham ia memperlakukan sebuah naskah.

Paduan pendidikan dan pengalaman juga dapat membentuk seseorang menjadi editor yang andal dan peka atas naskah yang dieditnya. Tanpa kepekaan, naskah akhir bisa menjadi lebih buruk daripada naskah asli. Apalagi jika sampai penulis naskah tidak mengenali lagi karya tulisnya. Editor tersebut akan dipersalahkan atas apa yang diperbuatnya. Seandainya naskah akhir menjadi lebih baik daripada aslinya, editor terkadang dilupakan. Kalaupun diingat, paling-paling hanya mendapat ucapan terima kasih.

Selain hubungan dengan penulis, editor melakukan banyak pekerjaan lain. Ia membaca kelayakan naskah, melakukan editing naskah dari segi bahasa, menjaga ketaatasasan (konsistensi) penyajian materi naskah, menjadikan naskah memiliki keterbacaan tinggi (readibility), memeriksa ketelitian pencantuman fakta dan data, menjaga aspek hukum (copyright), hingga menjauhkan isi naskah dari unsur penghinaan, pornografi, ataupun masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Semua itu menjadikan editor seseorang yang multifungsi dan multidimens. Kadang-kadang editor disebut dengan "si superhebat". Mengapa tidak? Pekerjaan menyangkut naskah sebagian besar dikerjakan editor. Raghavan memperlihatkan kerja berat editor dalam urutan berikut.

1. Diskusi dengan pengarang untuk kemungkinan penerbitan naskah.
2. Menentukan subjek-subjek khusus untuk pertemuan teknis membahas naskah.
3. Konsultasi dengan bagian produksi untuk estimasi biaya pencetakan naskah.
4. Dialog dengan bagian pcnjualan untuk menjajaki pasar potensial.
5. Memberikan masukan atas kesesuaian buku dengan pasar.
6. Memberikan instruksi kepada bagian percetakan, khususnya penata letak (lay outer).
7. Diskusi dengan bagian penjnalan dan staf promosi. 
8. Pengamatan dan pencarian naskah baru.

Di samping editor, terdapat copy-editor. Selintas namanya hampir sama. Secara fungsi, keduanya memiliki perbedaan mendasar. Editor lebih pada penanganan naskah secara menyeluruh, seperti disebutkan sebelumnya, Sementara itu, copy-editor bertugas menjaga keseragaman unsur-unsuryang ada dalam-naskah. Dalam hal ini, copy-editor melakukan pengoreksian naskah dari segi penerapan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) serta penerapan gaya selingkung penerbit (house style), seperti penyajian ilustrasi, tabel, rincian, penjurus (indeks), daftar pustaka (bibliografi), dan anatomi buku.

Kembali pada pemeriksa atau pemerhati aksara, Apa makna kedua istilah tersebut? Saya tidak menemukan rujukan yang mengarah pada keduanya. 

Saya hanya menemukan penjelasan tentang editor dan copy-editor. Oleh karena itu, saya membuat batasan tentang makna pemeriksa atau pemerhati aksara. Secara harfiah, pemeriksa aksara dapat diartikan seseorang yang memeriksa kebenaran penulisan huruf. Sementara itu, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemerhati adalah seseorang yang memperhatikan sesuatu; peminat; pengamat. Jika dikaitkan dengan aksara, pemerhati adalah seseorang yang memperhatikan aksara. Bisa juga disebut peminat atau pengamat aksara. Kosakata pemerhati biasa dilekatkan pada seseorang yang pekerjaannya mengamati sesuatu, seperti pemerhati budaya atau pemerhati sosial. Pemerhati ini kemudian membuat analisis atas hasil pemerhatiannya. Jelas pemerhati aksara tidak dimaksudkan untuk mengamati aksara dan membuat analisis tentang aksara. Dengan demikian, istilah pemerhati aksara tidak tepat digunakan jika dihubungkan dengan pengerjaan naskah.

Seorang editor maupun copy-editor sebenarnya sudah berperan sebagai pemeriksa aksara. Secara tidak langsung, ketika menyiapkan naskah untuk dicetak, editor maupun copy-editor melakukan pemeriksaan aksara, Kalaupun akan dipisahkan dari tugas editor ataupun copy-editor, pemeriksa aksara mungkin lebih pada seorang proofreader, seperti perkiraan sebelumnya.

Editor maupun copy-editor juga sudah bertindak sebagai proofreader naskah. Dalam hal ini, keduanya bertugas untuk menjaga penerapan gaya selingkung penerbit, Di dunia penerbitan buku, penjagaan seperti ini dikenal dengan proofreading atau pembacaan naskah proof. Pembacaan dilakukan terhadap dummy naskah. Dalam hal ini, baik editor maupun copy-editor bertindak sebagai penjaga gawang. Dengan demikian, naskah yang akan dicetak seminimal mungkin memuat kesalahan.

Proofreader bertanggung jawab untuk menerapkan gaya selingkung (house style). Dia selalu berhati-hati saat membaca naskah serta melakukan revisi dan koreksi sekiranya perlu. Ini membuat naskah proof berikutnya mudah untuk dikoreksi dan meminimalkan pekerjaan penataan halaman di percetakan dibandingkan jika terdapat banyak koreksian.

Proofreader memeriksa naskah proof tidak hanya untuk salah penulisan huruf, rujukan, pemberian spasi dan sejenisnya, tetapi juga untuk menyeragamkan gaya selingkung dalam hal penulisan kata, tanda baca, kapitalisasi, penggunaan tanda kutipan dansebagainya. (Raghavan, An Introduction to Book Publishing, 1988).

Penjelasan itu menyiratkan hal-hal yang dilakukan proofreader. Menurut saya, tugasnya sama dengan apa yang dilakukan pemeriksa aksara, Dengan adanya proofreader, terbayang dalam pikiran editor tentang orang-orang yang mernbantu tugasnya. Editor akan senang-senang saja jika memiliki pembantu khusus. Satu orang mengedit naskah dari segi gaya selingkung penerbit (proofreader). Satu orang lagi mengedit bahasanya (copy-editor). Editor berlatar disiplin ilmu tertentu sesuai dengan materi naskah. Copy-editor berlatar disiplin ilmu bahasa sementara proofreader berlatar disiplin ilmu penerbitan atau editing.

Dapat juga copy-editor dan proofreader merupakan tahapan yang harus dilalui seseorang yang ingin menjadi editor. Ibarat jenjang kepangkatan dalam dunia militer. Sebelum menjadi editor, ia harus menjadi proofreader. Lalu naik menjadi copy-editor dan baru menjadi editor. Jika tahapan ini dilalui dengan baik, seorang editor akan memahami apa yang menjadi tugas dan wewenangnya. Rambu-rambu pengeditan naskah tidak lagi sekadar hafalan, tetapi sudah melekat pada alam bawah sadar.

Upaya yang dilakukan Penerbit Bentang dengan memberdayakan pemeriksa aksara merupakan sebuah terobosan baru. Mencantumkannya di halaman copyright merupakan sebuah penghargaan dan kehormatan. Tidak saja nama penulis, nama editor, serta nama pewajah sampul dan pewajah isi yang layak tertulis di sana.

Pemakaian kata "pemeriksa aksara" yang mungkin digunakan untuk menggantikan istilah copy-editor atau proofreader telah memperkaya kosakata penerbitan buku di Indonesia, seperti halnya pemakaian istilah "penerbit alternatif". Selain itu, pemeriksa aksara menjadi sebuah alternatif bagi mereka yang ingin berkecimpung di dunia penerbitan buku.

Iyan Wibowo, alumnus Program Studi Editing Universitas Padjadjaran Bandung dan editor paruh waktu.
Majalah MataBaca Vol. 1 / No. 12 / Agustus 2003.