Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Obituari Ramadhan K.H.: Berpulangnya Si Lembut Hati

"Mangga, selamat datang," ujar Ramadhan Kartahadimadja lirih. Waktu itu, bulan puasa awal November 2004, kami tiba di kediaman Konsul Jenderal Salfrida N. Ramadhan K.H. di Afrika Selatan. Wisma besar di perbukitan kawasan Groote Schuur, dengan pemandangan lepas ke ujung Mountain Table, Samudra Atlantik. Di kejauhan tampak gunung batu bernama Lion Head. Indah sekali. Hotel bintang lima pun kalah.

"Bagaimana penerbangannya? Wah, saya sudah nggak kuat terbang jauh-jauh," sambung Ramadhan, yang biasa kami panggil ''Kang Atun'', sambil menyodorkan kumpulan sajaknya, Priangan Si Jelita. Ini buku lawas yang mendapat hadiah Sastra Badan Musyawarah Kebudayaan tahun 1960. Dari buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Prancis dan Inggris itu, Ramadhan mendapat hadiah Sastra Nasional (1957/1958).

Tujuh hari kami menginap, dan selama itu pula Kang Atun dan istrinya bercerita tentang berbagai pengalaman, cerita anak-cucu. "Saya sedang menyelesaikan sebuah novel tentang permainan korupsi di bank," kata Kang Atun. Waktu itu, Ramadhan sudah sakit-sakitan, tapi ia tak pernah mengeluh tentang penyakitnya, kanker prostat.

Beliau tidak turut berpuasa, makan selalu tepat waktu, disiplin menelan obat, dan semangatnya hebat. Kami sering tidak ingat penyakit bersarang di tubuhnya, karena beliau selalu turut serta ke mana kami pergi. Makan fish & chips dekat pelabuhan, ke pabrik anggur di luar kota, juga ketika Sutardji Calzoum Bachri membaca sajaknya di Adderley Street.

Meski tahu kanker prostatnya sulit disembuhkan, kami tetap terkejut dan merasa sangat kehilangan ketika datang berita wafatnya Ramadhan K.H. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-78, Kamis 16 Maret 2006, pukul 08.30.

Sikapnya selalu santun, tinggi budi, dan suaranya lemah lembut. Seorang penyair, penulis novel, roman, memimpin majalah budaya (Kisah, Siasat, dan Gelanggang), dan penulis biografi yang andal. Buku biografi terkenal yang kini menjadi bacaan klasik adalah tentang istri kedua Bung Karno, Inggit.

Dalam Kuantar ke Gerbang, Ramadhan sangat bagus menulis kisah cinta Soekarno, yang mahasiswa ITB, dengan induk semang bernama Inggit, yang istri Haji Sanusi. Akhirnya Sanusi ''menyerahkan'' Inggit kepada Soekarno. Inggit pulalah yang mencari uang (dengan berjualan bedak dan jamu) untuk membiayai perjuangan Soekarno, dan turut diasingkan ke Ende dan Bengkulu.

Priayi Sunda ini pernah masuk ITB, satu semester saja. Keluar dari ITB, dia mencoba masuk Akademi Dinas Luar Negeri. Gagal lagi. Tapi Kang Atun berhasil memetik seorang diplomat putri, Pruistin Atmadjasaputra atau Tines, sebagai istri. Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai dua putra, Gumilang dan Gilang Ramadhan.

Di selang seling penempatan Tines di luar negeri sebagai diplomat, Kang Atun produktif sekali menulis. Ketika di Los Angeles, Kang Atun menulis Gelombang Hidupku, riwayat sri panggung Dardanella, Miss Dja. Novelnya berjudul Royan Revolusi berhasil meraih hadiah sayembara Ikapi/UNESCO (1968). Setelah itu, puluhan novel, sajak, dan biografi (antara lain Ali Sadikin, Hugeng Imam Santoso, Sumitro, Alex Kawilarang) lahir dari tangannya. Dialah budayawan yang pandai melukiskan karakter dan kisah hidup seseorang.

Hidup bersama diplomat membuat Kang Atun hidup berselang-seling di luar negeri dan Indonesia. Tapi itu tidak membuatnya lupa akan usahanya untuk mendirikan Taman Ismail Marzuki (TIM). Bersama Ajip Rosidi, Kang Atun mendesak Ali Sadikin yang waktu itu Gubernur DKI Jakarta untuk mendirikan TIM.

Sayang sekali, Tines, sang istri, telah dipanggil Tuhan, April 1990. Dan atas amanah sang istri pula, Kang Atun menikah dengan sahabat almarhumah, Safrida Nasution, yang kini jadi Konsul Jenderal Afrika Selatan.

Buku terakhir terbit dan ditulis atas permintaan ialah: Soeharto, Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya: Otobiografi, Seperti Dipaparkan Kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Buku 599 halaman, 102 subjudul, ini banyak dicari orang, terlebih karena Soeharto sudah lengser keprabon.

"Ah, saya nggak mau bicara soal buku itu," demikian kata Kang Atun, pada suatu hari, di Cape Town. Air muka Ramadhan memerah menahan marah. "Saya hanya berjumpa dua kali untuk penulisan buku tersebut," ujarnya, "Itu pun diantar Pak Dwipa. Tapi ada yang lebih menyakitkan lagi!" Kang Atun meninggalkan kami, berjalan masuk kamar. Safrida setengah berbisik berkata: "Dia marah sekali kalau mengingat hal itu. Bukan hanya honornya tidak dibayar, suami saya tak boleh mendapat royalti."

Toeti Kakiailatu
Majalah Gatra edisi 19 / XII / 25 Maret 2006