Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hasta Mitra Babak Belur Menyumbang Demokrasi

Di sebuah ruang berukuran 3 x 6 meter Jusuf Isak setia memelototi barisan kalimat di layar monitor LCD ukuran 17 inci. Jari-jari tangannya tak henti memenceti tombol-tombol huruf di keyboard warna hitam. Kepulan asap rokok terus keluar dari mulutnya. "Saya tak bisa bekerja tanpa rokok," katanya.

Di usianya yang ke-76, Jusuf tetap setia mengedit sejumlah naskah buku yang masuk dan --kalau ada modal-- sesekali menerbitkannya atas nama Hasta Mitra. Dibantu seorang staf, bertempat di sebuah rumah di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, kini ia tengah memeriksa sebuah memoar tentang tokoh kontroversial menjelang jatuhnya PKI. Menurut Jusuf, banyak dari naskah yang dieditnya terbit lewat penerbit lain.

"Meski tanpa profit besar, saya sudah puas kalau sebuah naskah bisa terbit dan dibaca banyak orang," katanya. Itulah motivasi yang menurut Jusuf membuat Hasta Mitra masih tetap bernapas. Pada awal berdirinya, Hasta Mitra dimaksudkan untuk menerbitkan karya Pramoedya Ananta Toer. Sejak membaca naskah awal novel Pramoedya, Bumi Manusia, Yusuf merasakan bahwa novel besar dengan nilai literer tinggi tengah lahir.

Adalah Hasjim Rachman mantan Pemimpin Redaksi Bintang Timur, yang membawa Pramoedya kepada Jusuf, bekas wartawan Merdeka yang sempat mendekam 10 tahun di Rutan Salemba Jakarta. Mereka bertiga sepakat memublikasikan karya kreatif eks tapol. Mulai sastra, musik, hingga karya lukis. Belakangan yang mencuat adalah karya sastra, yang tak mungkin diterbitkan penerbit lain karena alasan keamanan dan politis.

Mereka pun sepakat dengan nama Hasta Mitra, yang berarti "tangan sahabat". Nama itu diciptakan Pramoedya. Penerbitan yang berdiri pada bulan April 1980 itu sifatnya terbuka dan berbentuk perseroan terbatas. "Kami ingin Hasta Mitra bergerak secara terbuka dan tak mau kucing-kucingan dengan penguasa," katanya.

Buku pertama yang diterbitkan Hasta Mitra adalah Bumi Manusia. Buku ini langsung habis terjual dalam waktu 10 hari. Dalam waktu 10 bulan kemudian sempat dicetak ulang hingga lima kali sebelum akhirnya dilarang beredar. Pembredelan juga langsung menimpa karya Pramoedya yang muncul berikutnya, yakni Anak Semua Bangsa.

Uniknya, sejak dilarang pada akhir Mei 1981, pihak Kejaksaan Agung hanya dapat mengumpulkan tak lebih dari 1.000 buku dari sekitar 20.000 eksemplar yang beredar. Mulai saat itu karya Pramoedya yang diterbitkan Hasta Mitra selalu dicekal. Hasta Mitra juga didepak dari keanggotaan Ikapi. "Pembredelan itu buah penilaian tidak fair sejumlah sastrawan, wartawan pemerintah, ditambah ketakutan penguasa," kata Jusuf.

Pelarangan itu, menurut Jusuf, dibangun tanpa argumentasi ilmiah dan alasan yang masuk akal. Jadi sangat bermuatan politis. Lucunya, Jusuf menambahkan, ada sastrawan yang dulu ikut memberi landasan ilmiah bagi penguasa untuk pelarangan buku Pramoedya, kini ikut menyebut Pramoedya sebagai penulis besar.

Gara-gara pembredelan, Hasta Mitra yang sempat memperkerjakan 20 eks tapol pada pertengahan 1980-an terpaksa merampingkan karyawannya. "Hasta Mitra memang bertujuan menampung eks tapol yang sulit bekerja," kata Jusuf. Namun, angan-angan menjadi badan usaha yang bisa memberi nafkah bagi banyak orang tak pernah kesampaian. "Balik modal saja kesulitan," kata Jusuf.

Tapi, ibarat petinju, meski jatuh babak belur, Hasta Mitra selalu bangkit lagi. "Itulah sumbangan Hasta Mitra untuk demokrasi. Di saat represi Orde Baru masih kuat, kami merintis perlawanan terbuka lewat buku," kata Jusuf. Bahkan, pada masa itu buku-buku keluaran Hasta Mitra menjadi semacam barometer "pergaulan" antar-aktivis prodemokrasi. "Itulah peran politik Hasta Mitra," kata Jusuf.

Sedangkan bagi Pramoedya, Hasta Mitra merupakan jantung. Dari sanalah nafkah hidup lewat royalti terus dipompakan. Kini, ketika keluarga Pramoedya sudah bisa mengelola karya-karyanya lewat Penerbit Lentera, Hasta Mitra tak lantas surut. Buku baru terus diterbitkan, termasuk Das Kapital-nya Karl Marx.

G.A. Guritno & Alexander Wibisono
Majalah Gatra edisi 14 / XI / 19 Februari 2005