Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dunia Berliku Sastra Buruh

Pembantu tak cuma tahu urusan domestik seperti menyeterika dan ngepel. Lihat saja tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia di Hong Kong. Ternyata mereka juga piawai menulis. Jenisnya beragam, ada cerita pendek, puisi, opini, sampai catatan harian. Buah pena mereka mengejutkan Bonari Nabonenar, anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur. "Beberapa bisa diadu dengan penulis profesional," katanya.

Apresiasi Bonari muncul usai mengisi workshop penulisan selama empat hari di City University of Hong Kong, di Kowloon Thong, Hong Kong, pertengahan Juli lalu. Sastrawan asal Trenggalek ini juga kaget karena lokakarya yang disponsori forum Cafe de Costa itu, diikuti 105 orang. Bonari yakin, yang datang pasti tertarik dan serius. "Kalau tidak, mereka tak mungkin sudi meluangkan waktu dan merogok kocek HK$ 20," katanya.

Selain pembantu rumah tangga, yang populer dipanggil sebagai domestic helper, acara pelatihan menulis itu juga dihadiri staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia, pemerhati sastra lokal, peninjau dari South East Asia Research Center, dan belasan wartawan Hong Kong. Tapi, dibandingkan dengan jumlah TKW Indonesia di Hong Kong yang mencapai 90.000 orang, jumlah mereka yang menekuni tulis-menulis memang tidak banyak.

Di kota bekas protektorat Inggris itu, kelompok yang bergiat menulis, menekuni musik, dan kajian keagamaan seperti bersaing dengan kelompok TKW yang suka hura-hura, mabuk, dan terjerat seks bebas. Semua memanfaatkan area Taman Victoria yang luas dan permisif itu. Toh, hajatan yang digelar untuk buruh perempuan yang tertarik pada dunia karang-mengarang itu, menurut Bonari, terbilang sukses.

Bonari membawa setumpuk cerpen, puisi, dan opini karya para TKW itu sebagai oleh-oleh. "Melihat ada yang berkualitas, terpikir untuk menerbitkannya," katanya. Ia menyebutkan buruh yang tulisannya berkualitas, misalnya Tarini Sorrita (Cirebon), Etik Juwita dan Wina Karni (Blitar), Hartanti (Ponorogo), Atik Sugiharti (Kediri), Sheila Hety Suci Anggraini (Madiun), Lik Kismawati (Surabaya), Dian Nitasari (Banyuwangi), serta Tania Roosandini dan Mega Vristian (Malang).

Ada pula penulis yang telah pulang ke Tanah Air, seperti Rini Widyawati (Malang) dan Denok Rokhmawati (Surabaya). Keduanya, bersama Tarini Sorrita, telah menerbitkan buku. Yang jadi pelopor adalah Denok, yang telah menerbitkan Kumpulan Cerpen Hong Kong, Negeri Elok nan Keras di Mana Kami Berjuang, pada Oktober 2002. Buku setebal 83 halaman itu dicetak secara indie oleh "Denox&Kru".

Pada kesempatan pulang untuk kedua kalinya, Denok yang lulusan Jurusan Olahraga IKIP Malang itu menerbitkan lagi buku kecil berisi lawakan khas TKW Hong Kong. Judulnya, Tertawa ala Victoria Park. Buku ukuran saku setebal 64 halaman itu lagi-lagi dicetaknya sendiri dengan nama Denox Fres Garden Books.

Menyusul kemudian Tarini. Ia menerbitkan kumpulan opini dalam bahasa Inggris secara terbatas, dibantu seorang teman dari Swiss. Sedangkan Rini bisa dibilang penulis buruh migran yang mampu menembus pasar komersial nasional. Bukunya berjudul Catatan Harian Seorang Pramuwisma adalah karya TKW di Hong Kong pertama yang dicetak sebanyak 3.000 eksemplar dan dipasarkan luas awal bulan ini (lihat: Naskah di Antara Panci).

Penulis lain yang cukup produktif adalah Etik Juwita. Awal Juli lalu, cerpennya, Lekaki Asing, dimuat di harian Surya. Sedangan cerpen Etik lainnya, Seharusnya Judulnya Celana Dalam, tengah antre untuk dimuat di harian Jawa Pos. Perempuan 21 tahun pembantu rumah tangga di Hong Kong ini adalah aktivis komunitas Cafe de Costa.

Menurut Bonari, kemampuan para pembantu itu cepat berkembang karena ada media khusus TKI yang terbit di Hong Kong dan dibagikan gratis. "Mereka banyak yang memulai menulis dari sana," katanya. Media berbahasa Indonesia itu adalah Suara, Intermeso, dan Berita Indonesia. Belasan penulis bisa memiliki jam terbang tinggi karena media-media itu.

Tapi yang bisa dibilang paling produktif adalah Nining. Buruh asal Palembang ini bak penulis tetap Suara. Tulisannya selalu muncul di setiap edisi. Menyusul kemudian Tania Roos asal Kepanjen, Malang, yang sering menulis cerpen, puisi, dan opini. Di samping tersedianya media untuk menuangkan ide, para penggiat tulis-menulis itu juga rutin melakukan diskusi mingguan di Victoria Park.

Tiga komunitas yang paling aktif adalah Forum Lingkar Pena, Kopernus (Kelompok Perantau Nusantara), dan komunitas Cafe de Costa. Kelompok-kelompok ini muncul sejak pertengahan 1990-an. Seorang provokator tumbuhnya kelompok penulis buruh migran ini adalah Ida Permatasari. Ia bekerja di Suara, yang dimiliki duet orang Filipina dan Hong Kong.

Rata-rata karya para buruh itu berisi pengalaman pribadi dan curahan hati. "Malah banyak yang bernuansa jeritan hati," kata Bonari. Media menyebut karya mereka sastra buruh migran. Tapi pengamat sastra Budi Dharma punya sebutan lain. Guru besar Universitas Surabaya ini menyebutnya karya sastra diaspora. "Migran secara terminologis adalah perantau yang tak pulang ke negeri asal. Yang kembali disebut diaspora," katanya.

Doktor bidang sastra dari University of Indiana, Amerika Serikat, itu mengatakan, meski tak disadari, isi karya mereka banyak melukiskan kesedihan. Penulis seperti Rini dan Denok, kata Budi, menulis dalam keadaan tertekan di tengah impitan pekerjaan, ketidakbebasan, kurang tidur, dan sembunyi-sembunyi. Budi yang telah membaca karya keduanya melihat publikasi itu awal baik bagi masa depan sastra diaspora Indonesia.

Menurut Budi, tulisan mereka cukup bagus dan bisa membawa mereka ke dunia penuh gebyar. Namun, di mata Budi, karya mereka tak bisa dibandingkan dengan karya non-diaspora Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Icha Rachmawati, dan Maria Adelia. "Itu tak relevan," ujarnya. Yang penting, kata Budi, bagaimana di masa depan mereka terus mengasah bahasa Inggris, keberanian, dan kepercayaan diri.

Naskah di Antara Panci
Menulis dalam suasana tidak bebas dirasakan para pembantu di Hong Kong. "Itu yang bisa Rini utarakan sementara, karena keburu satpam Rini alias majikan datang." Inilah kalimat penutup Tarini Sorrita, 34 tahun, dalam obrolan e-mail-nya dengan Gatra, Kamis sore pekan lalu. Isi tulisannya, yang didominasi curahan hati, juga tak disangkal Rini.

Buku Big Question, Don't Look Down at Domestic Helper karya perempuan asal Harjamukti, Cirebon, itu berisi suka-duka dan gugatan seorang pembantu. Bahannya tak hanya pengalaman pribadi Rini, melainkan juga nasib sesama temannya. "Sempat khawatir kalau-kalau isi buku ini membuat mereka susah," katanya. Selain buku edisi bahasa Inggris itu, Rini telah melahirkan 25 judul karya berbentuk cerpen dan puisi.

Kelak, kalau tak lagi menjadi pembantu, Rini bertekad menggeluti dunia tulis-menulis. Jika ada waktu luang, ia juga berjanji terus belajar agar tulisannya makin berkualitas. "Ingin rasanya menjadi penulis terkenal," katanya. Pengalaman Rini yang menulis di sela impitan waktu juga dialami Rini yang lain, Rini Widyawati, 26 tahun, asal Turen, Malang.

Buku Rini Widyawati, Catatan Harian Seorang Pramuwisma, yang diterbitkan JP Books, ditulis di sela-sela pekerjaannya yang padat di siang hari. Repotnya, pada malam hari, lampu harus dimatikan. "Agar tak didamprat majikan, naskahnya saya selipkan di antara panci-panci," tuturnya. Karya Rini yang ini juga berisi ungkapan perasaan hati plus ''curhat'' teman sesama TKW.

Maklum, di sekitar rumah yang ditinggali Rini Widyawati, ada 20 TKW asal Indonesia. Mereka bersua kala mengantar anak majikan ke sekolah atau ketika belanja di pasar. Kemampuan Rini Widyawati menulis tak turun dari langit. Ia keluar sekolah di kelas II SMP 3 Turen karena masalah biaya. Rini beruntung. Pada 1995, ia bertemu novelis Malang, Ratna Indraswati Ibrahim, yang menderita cacat fisik.

Ia pun direkrut untuk membantu mengetik naskah-naskah Ratna. Selama tiga tahun ia mengetik cerpen, novel, dan karya tulis Ratna dalam jumlah yang tak terhitung. Sebelum bekerja sebagai TKW, Rini sempat membuat cerpen yang tak terpublikasikan. Pada 1998, Rini beniat mengubah nasib dengan bekerja di pabrik alat elektronik di Johor, Malaysia.

Namun, sejak 2000 sampai 2004, ia terpaksa mengadu nasib sebagai pembantu rumah tangga di Kowloon, Hong Kong. Dari sanalah Rini banyak mendapat ide dan bahan untuk tulisan-tulisannya.

G.A. Guritno & Mujib Rahman
Majalah Gatra edisi 38 / XI /6 Agustus 2005