Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penulis Paling Disukai dan Penulis Tak Dikenal di Indonesia

Bulan Agustus hingga Oktober merupakan bulan-bulan yang istimewa bagi seluruh rakyat Indonesia, istimewa karena sejarah mencatat bahwa pada bulan-bulan tersebut terdapat serangkaian peristiwa penting yang mewamai perjalanan, konon katanya, sebuah bangsa besar yang bernama Indonesia. Istimewa karena pada bulan-bulan tersebut sarat akan nilai dan makna perjuangan semangat pengorbanan, dan semangat kepahlawanan.

Bulan Agustus, bangsa ini pada akhirnya dapat memproklamasikan kemerdekaannya setelah bergulat dan berjuang selama ratusan tahun dari belenggu penjajahan dan imperialisme bangsa lain. Bulan September, setelah 20 tahun menikmati kemerdekaannya, rakyat indonesia kembali harus berjuang. Kali ini berjuang untuk melawan gerakan pengkhianatan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia. Peristiwa tersebut dikenal dengan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Keberhasilan yang dicapai dalam perjuangan ini kemudian diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, setiap tanggal 1 Oktober.

Seperti halnya sebagian besar bangsa lain, Indonesia juga memakai sistem kalender (sistem penanggalan) Gregorian. Maka dari itu, setiap tahunnya seluruh rakyat Indonesia akan terus bertemu dengan bulan Agustus, September, dan Oktober. Serangkaian peristiwa dalam catatan sejarah perjalanan bangsa ini akan tetap dikenang dan diperingati. Namun, akankah bulan-bulan tersebut tetap menjadi bulan-bulan yang istimewa bagi seluruh rakyat Indonesia?

Kini, setelah 57 tahun merdeka, bulan Agustus, September, dan Oktober tentu akan menjadi lebih istimewa jika kita sebagai rakyat Indonesia dapat memahami, memperbarui, dan mengimplementasikan nilai dan makna perjuangan, nilai dan semangat pengorbanan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dalam catatan sejarah, putra-putri terbaik bangsa yang terlibat dan mempunyai peranan serta rela mengorbankan harta dan hidupnya daiam perjuangan tersebut dianugerahkan gelar pahlawan. Ketika kita tidak lagi harus berjuang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan dan ketika kita tidak Iagi harus memanggul senjata dan bambu runcing untuk melawan para pengkhianat bangsa, siapakah saat ini yang bisa disebut dan diberi gelar pahlawan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2001), pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Jika demikian, pantaskah seorang penulis yang menyuarakan dan membela kebenaran melalui rangkaian kata dan rangkaian kalimat disebut sebagai pahlawan? Atau, pantaskah seseorang yang berjasa melalui tulisannya dianugerahkan dengan gelar pahlawan?

Untuk menjadi penulis, seseorang harus mempunyai keberanian tinggi untuk menuangkan buah pikirannya ke dalam bentuk tulisan agar dapat dibaca oleh orang lain. Penulis juga harus mempunyai keberanian untuk mempertanggungjawabkan hasil tulisannya itu kepada para pembacanya karena sebuah tulisan bisa membawa dampak dan pengaruh besar. Mungkin karena inilah Napoleon Bonaparte sampai mengatakan bahwa pena lebih tajam daripada pedang. Seorang penulis juga harus rela mengorbankan sekian banyak waktu untuk berpikir, merangkai kata-kata agar menjadi kalimat yang baik, mudah dipahami, bermakna, dan berisi. Dari segi materi, penulis lagi-lagi masih harus terus berkorban karena nilai rupiah untuk kompensasi sebuah tulisan masih belum memadai dan belum dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan utama. Kalaupun ada beberapa nama yang memperoleh kompensasi cukup tinggi dari hasil tulisannya atau menjadikan menulis sebagai profesi utama, itu bisa dihitung dengan jari. Namun, selama ini hampir tidak pernah kita mendengar ada seseorang yang disebut dan dianugerahkan gelar pahlawan karena tulisannya (saya hanya bisa berharap semoga hal ini tidak benar).

Hal inilah yang memicu lahirnya serangkaian pertanyaan di atas. Selain itu, pertanyaan ini hadir karena rasa keprihatinan terhadap rendahnya apresiasi masyarakat terhadap penulis. Bahkan, sebagian besar pengunjung Pesta Buku Jakarta 2002 (Jakarta Book Fair 2002) yang menjadi responden angket konsumen buku, tidak menjawab bagian angket yang berisi pertanyaan “Siapa penulis yang paling Anda sukai?” (dalam hal ini penulis atau pengarang). Dari keempat kategori penulis, yaitu penulis buku agama, penulis buku anak dan remaja, penulis buku perguruan tinggi, dan penulis buku umum, persentase responden yang tidak memberikan jawaban di atas 50%. Untuk penulis buku agama yang disukai, persentase responden yang tidak memberikan jawaban sebesar 55%. Dai kondang asal Jawa Barat yang menulis buku Manajemen Qolbu serta Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauhid —Abdullah Gymnastiar (yang akrab dipanggil Aa Gym)— menjadi penulis buku agama yang paling disukai dengan persentase 10,6%. Persentase responden yang menyukai tokoh Ikhwanul Muslimim seorang ulama dan penulis produktif terkenal dari Mesir, Yusuf Qardhawi, sebesar 9,5%. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Minoritas Non-Muslim: Di Dalam Masyarakat Islam dan Islam Ekstrem: Analisis dan Pemecahannya. Persentase untuk Imam Ghazali (Al-Ghazali), seorang sufi terkenal yang juga sangat aktif menulis (salah satu bukunya berjudul Metode Menaklukkan Jiwa) sebesar 22%. Buku kedua penulis ini banyak diterbitkan oleh Penerbit Mizan, penerbit buku-buku islam terkemuka di Bandung.

Untuk kategori penulis buku anak dan remaja yang disukai, persentase responden yang tidak menjawab sebesar 68,6%, Duet pengarang kakak beradik yang aktif dalam Forum Lingkar Pena —Helvi Tiana Rosa dan Asma Nadia— yang banyak menulis buku-buku cerita remaja islami persentasenya sebesar 5,2% dan 3,4%. JK Rowling, pengarang terkemuka tahun ini yang karya fenomenalnya seri Harry Potter mencapai angka penjuaian sangat fantastis, persentasenya sebesar 4,5%. Sementara Hilman Lupus yang tetap produktif menulis hingga saat ini, persentasenya sebesar 3,5%.

Kategori penulis buku perguruan tinggi yang disukai, merupakan kategori yang persentase responden tidak menjawabnya paling tinggi (85,5%). Philip Kotler (salah satu maestro di bidang ekonomi) dan Rhenald Kasali (seorang dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) menjadi penulis buku perguruan tinggi favorit kendati persentasenya hanya sebesar 0,9% dan 0,7%.

Persentase responden yang tidak menjawab untuk kategori penulis buku umum yang disukai sebesar 68,3%. Pujangga besar, salah seorang maestro sastra dunia asal Lebanon —Khalil Gibran— menjadi pengarang buku umum favorit (3%), Karya-karyanya yang cukup terkenal antara lain Cinta Sang Nabi dan Sayap-Sayap Patah. Dulu, karya-karya Khalil Gibran banyak diterbitkan oleh Pustaka Jaya, namun saat ini banyak diterbitkan oleh Penerbit Bentang, Yogyakarta. Setelah Khalil Gibran, pengarang buku umum yang juga disukai adalah Sidney Sheldon (1,9%) dan Agatha Cristie (1,9%), pengarang novel terkemuka. Buku kedua pengarang tersebut banyak diterbitkan oleh Penerbit Gramedia.

Ironis memang jika sebagian besar responden yang berusia 20-24 tahun (50,70%) dengan tingkat pendidikan lulusan SMU (55,20%) dan saat ini yang berstatus pelajar/mahasiswa (72,20%) tidak mengetahui atau tidak mengenal penulis. Jika kita bisa memakai kata “buta” untuk hal-hal yang tidak diketahui, tidak dimengerti, atau tidak dikuasai (misalnya, buta aksara atau buta huruf bagi mereka yang tidak menguasai baca tulis), kita bisa pula mengatakan bahwa kondisi ini menggambarkan terjadinya “buta penulis” dalam masyarakat, terutama generasi muda kita saat ini. Padahal, penulis merupakan orang yang berada di garda terdepan proses transformasi ilmu pengetahuan. Penulis merupakan ujung tombak peradaban manusia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita menganugerahkan gelar pahlawan kepada orang-orang yang tetap konsisten dan gigih berjuang menyuarakan kebenaran, menciptakan kehidupan dan peradaban manusia yang lebih bermakna melalui tulisan-tulisannya. Meskipun saat ini, mereka hanya sebagai “pahlawan yang tak dikenal”.

Melvi
Majalah Mata Baca Vol. 1 / No. 1 / Oktober 2002