Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menghidupi Wacana, Menanggalkan Royalti Buku

Deru mesin crane berbaur dengan lalu-lalang kuli bangunan di area proyek pembangunan gedung baru Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Barisan bangku bewarna hitam tak jauh dari lokasi proyek menjadi tempat bercengkerama serta melepas penat mahasiswa setelah seharian bejibaku dengan aktivitas akademik. Bangku yang berjuluk ‘Bangtem’ ini juga menjadi tempat favorit untuk berdiskusi atau sekadar membaca buku bagi mahasiswa. Tak hanya mahasiswa, dosen muda Departemen Sejarah Dr. Farabi Fakih turut duduk di sana. Seolah tak menghiraukan suara bising proyek pembangunan, ia menceritakan bagaimana naskah skripsinya mampu diterbitkan menjadi buku pada tahun 2005. “Awalnya saya bertemu dengan pemilik Ombak ketika menghadiri seminar yang diadakan Departemen Sejarah. Kemudian terjadilah perbincangan panjang tentang skripsi yang tengah saya kerjakan,” papar Abi, sapaan akrab Dr. Farabi Fakih.

Sebagai penerbit alternatif, Ombak rutin menghadiri berbagai macam seminar yang diadakan oleh berbagai universitas, khususnya seminar yang bertemakan sejarah, politik, dan budaya. Tak hanya itu, penerbit Ombak juga menjalin hubungan dengan mahasiswa dan dosen. “Dari berbagai kunjungan, kami membangun relasi dengan mahasiswa dan dosen untuk menanyakan adakah skripsi bagus yang patut diterbitkan,” papar Muhammad Nursam, pemilik penerbitan Ombak. Skripsi Abi yang menyajikan sisi lain pembangunan ibu kota di masa Soekarno menarik perhatian Nursam. “Kebaruan sudut pandang yang disajikan Abi di dalam skripsinya menjadi alasan kami menerbitkannya menjadi buku,” jelas Nursam.

Abi merasa senang ketika naskah skripsinya yang berjudul ‘Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno’ terbit. Bukan karena ia akan mendapat royalti hasil penjualan buku, tetapi ilmunya di bidang sejarah akan tersampaikan kepada masyarakat. “Menerbitkan buku itu penting bagi kalangan akademisi, untuk sumbangsih wacana keilmuan dan penyebaran informasi,” terangnya. Senada dengan Abi, Agus Rois penulis buku kumpulan esai berjudul ‘Di Benoa, Saya Bertemu Siddartha’ menuturkan bahwa menerbitkan suatu karya tidak selalu berkutat dengan royalti. “Tidak hanya sekadar mendapatkan uang, tapi lebih dari itu ada kepuasan tersendiri ketika ide yang tertuang dalam tulisan dapat dibaca banyak orang,” tuturnya. Tulisan tentang refleksi kunjungannya di pulau Dewata diterbitkan oleh penerbit Ladang Kata pada tahun 2014.

Kendati tidak semua penulis tidak terlalu memikirkan royalti, pembagian hasil penjualan buku menjadi kewajiban dan bentuk apresiasi penerbit kepada penulis. Pembagian besaran royalti diatur dan tertulis di dalam surat kerja sama yang disepakati kedua belah pihak. Nursam menjelaskan tentang kerja sama yang berisikan kewajiban penulis dan penerbit dalam menerbitkan naskah. “Kewajiban penerbit adalah menerbitkan naskah, memberikan royalti sebesar 10% oleh penerbitan alternatif, seperti Ombak dan mengatur jangka waktu pemasaran buku. Sedangkan penulis punya kewajiban untuk memperbaiki tulisannya.” terang Nursam. Di sisi lain, penerbit Bentang Pustaka selaku penerbit besar di Yogyakarta menerapkan perjanjian kerja sama yang berbeda. Salman Faridi selaku manajer penerbitan Bentang Pustaka menjelaskan bahwa bagi penulis pemula yang baru pertama kali memasukkan naskahnya, pemberian royalti hanya sebesar 6%-7%. “Jika penerbitan buku pertama mampu menarik minat para pembaca, persentase royalti untuk penerbitan selanjutnya dapat mencapai angka 10%,” papar Salman.

Pembayaran royalti kepada penulis pun tak selamanya berjalan mulus. Nursam melihat kondisi pasar buku yang fluktuatif, menjadikan penjualan buku sulit ditebak. Sering kali buku yang baru terbit hanya terjual beberapa buah dan tersisa separuh dari total eksemplar. “Padahal jumlah penjualan buku menentukan pembayaran royalti yang akan kita bayarkan,” ucapnya. Kondisi tersebut menjadi penyebab terlambatnya penerbit dalam memberikan royalti kepada penulis.

Dalam masa kerjasamana keterlambatan bisa terjadi antara 1-2 kali. Hal ini berkaitan dengan naskah yang masuk pada pertengahan rentang bulan pembayaran royalti. Padahal proses edit membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Ia mencontohkan perhitungan sebuah buku yang terbit bulan Desember. Selama kurun Desember-Januari jumlah buku yang laku sebanyak 15 eksemplar dengan harga 50.000 rupiah/ eksemplar. Maka 10% dari 50.000 dikalikan jumlah buku. Jumlah nominal yang terbilang kecil menjadi alasan pernerbitan seringkali menahan royalti. “Hanya sekitar 75.000 yang dapat dibayarkan kepada penulis,” papar Nursam. Ia juga menerangkan bahwasannya tidak ada sistematika khusus untuk penyampaian alasan keterlambatan pemberian royalti, biasanya hal ini dilakukan dengan memberi tahu kepada penulisnya secara personal.

Untuk mengurangi resiko buku yang tidak terjual, strategi pemasaran yang dilakukan oleh penerbitan alternatif semacam Ombak dilakukan dengan cara membuka bazar di acara seminar yang diadakan kampus. “Selain penjualan offline, penjualan kami merambah ke media daring,” papar Nursam. Sedangkan Bentang Pustaka melakukan terobosan baru dengan adanya monetisasi. “Monetisasi, merupakan cara menambah nilai jual suatu karya dengan memaksimalkan isi buku pada media lain selain bentuk cetak,” ujar Salman. Monetisasi dapat dilakukan dengan cara mengubah bentuk naskah cetak menjadi bentuk lain, seperti film layar lebar, drama musikal, sandiwara radio, dan cindramata berupa action figure. Salah satu naskah novel terbitan Bentang Pustaka yang berhasil difilmkan adalah Strawberry Surprise. Setelah perjanjian kerjasama disetujui, tahap pengerjaan kemudian dilakukan dengan melibatkan sinergi antara penulis dengan penerbit untuk kemudian diolah oleh rumah produksi film.

Terlebih hak cipta merupakan komponen penting untuk menentukan royalti sebuah naskah. Nursam menjelaskan bahwa penerbit menawarkan dua opsi penggunaan hak cipta. Opsi pertama, hak cipta dibeli oleh penerbit. Setelah proses cetak usai penerbit dapat menjual buku secara bebas, termasuk jangka waktu edar sebuah buku. Sedangkan opsi kedua adalah, hak cipta berada di tangan penulis serta mendapatkan royalti berkala dari hasil penjualan buku selama kontrak kerjasama masih berlangsung. “Sebut saja Dewi Lestari dan Andrea Hirata, mereka lebih memilih opsi kedua dengan hak cipta masih berada dalam tangan penulis,” terang Nursam. Keterikatan naskah dengan penerbit hanya sekitar dua hingga lima tahun, sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian. Setelah masa perjanjian habis, naskah dikembalikan kepada penulis. “Jika tidak ada perpanjangan kerjasama, penerbit tidak punya wewenang untuk menerbitkan ulang,” tambahnya. Hal tersebut dialami Abi yang telah habis masa kontraknya sembilan tahun silam. “Sewaktu penandatanganan kerja sama saya memilih opsi yang kedua,” kenang Abi.

Meskipun ada ancaman berbagai kondisi yang merugikan penulis dalam menerbitkan karyanya, Abi maupun Rois berharap penulis pemula tidak kehilangan semangat untuk menerbitkan naskahnya. “Menulis dan menerbitakan buku bukan hanya untuk mendapat keuntungan materi, tapi juga menjadi kesenangan pribadi,” ucap Rois. Selain itu dengan terbitnya berbagai buku, diharapkan mampu untuk menumbuhkan minat baca masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, Abi menyarankan bagi penulis dan penerbit untuk mengemas isi naskah sedemukian rupa agar menarik minat baca dan menaikkan kurva daya beli masyarakat terhadap buku.

Ira, Inur, Rosa
Balkon Balairung Edisi Spesial 2016