Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memutus Bisnis Tahunan Buku Pelajaran

Hati Wiyono berbunga-bunga. Pria berkumis lebat ini tidak sedang menerima hadiah. Tapi ia tengah membayangkan Juli tahun depan tidak lagi dipusingkan oleh urusan buku sekolah tiga orang anaknya. "Mudah-mudahan terobosan Menko Kesra Alwi Shibab terlaksana," kata karyawan sebuah media di Surabaya ini.

Terobosan yang dimaksud adalah keputusan Alwi Shihab untuk memberlakukan buku pelajaran selama lima tahun. Ini berlaku untuk jenjang SD hingga SMU. Orangtua murid seperti Wiyono selalu dag-dig-dug begitu tahun ajaran baru menjelang. Bukan saja uang sekolah yang selalu merangkak naik, buku juga harus ganti.

"Saya tak habis pikir, kok setiap tahun ajaran baru, buku pelajaran juga mesti baru," tanya Wiyono. Selama ini, ia selalu menyimpan buku-buku anak sulungnya, Fenty Amalia, 15 tahun, yang kini duduk di kelas II SMU. Ia berharap nanti bisa dipakai si kembar: Adlan Firdaus dan Nabila Firdaus, 13 tahun, yang kini duduk di kelas II SMP. Eh, ternyata buku itu tak terpakai.

Juli lalu, terpaksa Wiyono merogoh kocek Rp 500.000 untuk keperluan buku pelajaran si kembar. Saat itu, sekolah mewajibkan membeli 12 judul buku pelajaran. Setiap siswa dibebani Rp 320.000. Wiyono tak kurang akal. Selain mencicil, ia meminta si kembar memakai buku bergantian. Meskipun di sekolah yang sama, kelasnya berbeda. Sekolah mengizinkan. Toh, ia tetap kelimpungan, karena hanya empat dari 12 buku yang bisa dipakai bergantian.

Tahun ajaran baru memang merepotkan orangtua. Karena mereka mesti merogoh duit untuk berbagai keperluan. Lantaran itu, meskipun program buku pelajaran selama lima tahun merupakan bagian dari terapi kejut 100 hari pemerintahan Susilo "SBY" Bambang Yudhoyono, Etty Sobari langsung mendukung. "Bagus," kata perempuan usia 46 tahun itu. Etty punya lima orang anak. Mereka duduk di TK hingga SMU. Mitha, si sulung, kini bersekolah di SMU Negeri 2 Bandung. Juli lalu, pengeluaran untuk buku ajar Mitha mencapai Rp 300.000.

Meskipun selalu kecipratan rezeki dari pengadaan buku di sekolah, pihak sekolah ternyata tak keberatan dengan kebijakan pemerintahan SBY. "Ini pasti membantu orangtua," kata Sidiq. Menurut Kepala SD Pujokusuman I Yogyakarta ini, sejumlah penerbit selalu menawarkan buku agar dipakai di sekolah.

Lewat koperasi, dari pengadaan buku itu guru kebagian rezeki sekitar 20% dari harga buku. Jika pemerintah serius melakukan program ini, ia berharap pemerintah langsung mendrop buku ke sekolah, tidak usah lewat penerbit. Permintaan Sidiq bisa dimengerti. Dengan memotong pengadaan buku di percetakan, harga buku bisa ditekan sangat rendah.

Hal itu dibenarkan Direktur Utama Penerbit PT Aneka Ilmu, Semarang, Suwanto. Ia mencontohkan, buku berukuran 14,8 x 21 sentimeter berbahan kertas CD, sampul empat warna, dan tebal 100 halaman, di percetakan biayanya cuma Rp 3.000. Jika kertasnya diganti HVS, harganya naik sedikit: Rp 4.000.

Harga buku jadi mahal setelah ditangani penerbit. Maklum, setelah masuk penerbit, ada beberapa pos biaya yang muncul di luar biaya cetak. Untuk diskon, baik buat sekolah maupun toko buku, besarnya 30%-40%. Masih ada royalti pengarang (10%-15%), ongkos kirim (5%-7,5%), menutupi risiko seperti pembayaran tertunda dan mangkir (20%), dan sisanya untuk penerbit (25%). Belum lagi biaya karantina atau hotel, terutama untuk buku yang disusun tim. Tak mengherankan bila harga buku naik dua setengah kali dari harga di percetakan.

Jika pemerintah tak ingin membebani siswa dan orangtua dengan urusan buku, Suwanto menyarankan agar pemerintah memesan buku langsung ke percetakan. Terutama untuk buku-buku inti atau standar minimal. Dalam mencetak, tidak harus seluruhnya berbahan kertas mahal. Di India, misalnya, ada student edition, yaitu buku berbahan kertas murah. Sasaran buku ini adalah kelompok kurang mampu. Bagi kelompok berpunya, disediakan buku dengan kualitas bahan yang lebih baik. Yang penting, materi kedua buku itu sama.

Sejauh ini, buku pelajaran memang jadi ladang bisnis yang menggiurkan. Data di Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, tahun lalu menunjukkan, bisnis buku pelajaran SD-SMU ini setidaknya mencapai Rp 4,4 trilyun. Tak aneh bila pengadaan buku lantas menjadi proyek tahunan. Alasannya, ilmu terus berkembang. "Yang berubah cepat itu fenomena, bukan konsep keilmuan," kata Direktur Institute for Education Reform Paramadina, Utomo Dananjaya. Guru harus berperan memberi informasi tambahan fenomena itu.

Dananjaya menunjuk perubahan kurikulum yang siklusnya 10 tahun sekali. Pada masa Orde Baru hanya dikenal Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994. Lalu berubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi pada era reformasi. Jadi, kata Dananjaya, pergantian buku untuk mengikuti kurikulum hanya mengada-ada. Yang benar, lanjutnya, pergantian buku pelajaran itu demi bisnis perbukuan.

Menjeritkah penerbit? "Kami punya penerbitan di luar buku pelajaran," kata Virgianinto kepada Puguh Windrawan dari Gatra. Marketing Manager PT Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah, itu tidak perlu merasa gelisah dengan program buku pelajaran berumur lima tahun. Menurut pria berusia 35 tahun ini, pihaknya justru untung karena penerbit tidak perlu membuat film atau pelat baru setiap tahunnya. Hal ini akan menekan biaya.

Intan Pariwara termasuk penerbit besar yang bergerak di buku-buku pelajaran. Setiap tahun, penerbit yang berdiri sejak 1987 ini tak kurang mencetak 140 judul buku. Di luar buku pelajaran, penerbit yang terletak di Jalan Ki Hajar Dewantoro, Klaten, itu rutin menerbitkan buku untuk kegiatan ekstrakurikuler. Dengan 85 cabang atau perwakilan yang tersebar di seluruh Indonesia, Virgianinto menjamin kue Intan tak akan surut.

Ganeca Exact (GE), Bandung, penerbit buku-buku pelajaran SD-SMU yang berdiri sejak 1982, juga bersyukur atas gebrakan pemerintah. Dengan program itu, kata Saeful Bahri, akan ada kurikulum konsisten yang dijadikan acuan. Menurut Manajer Pemasaran GE itu, cara ini akan membuat penerbit nyaman. Karena penerbit bisa menyetok buku cetakan. Kalau cetakan tahun ini tidak laku, tetap bisa dijual tahun depan.

Hal seperti itu tidak bisa dilakukan selama ini. Karena buku hanya bertahan setahun. Setiap ada perkembangan kurikulum, buku harus direvisi. Jika tidak, buku tidak dipakai sekolah alias tidak laku. Sekolah dengan mudah mengatakan bahwa buku penerbit sudah ketinggalan zaman.

Ujung-ujungnya, periuk nasi GE akan terancam. "Karena sekolah menjadi kunci penjualan langsung buku ke sekolah," kata Saeful kepada Sulhan Syafi'i dari Gatra. GE setiap tahun mencetak 1-2 juta eksemplar buku dengan harga rata-rata Rp 15.000. Cuma, Saeful masih mempertanyakan bagaimana mekanisme dan teknis program ini.

Rupanya, Departemen Pendidikan Nasional masih menggodoknya. "Kami tengah menyiapkan rumusan kebijakan yang lebih rinci," kata Kepala Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Sugianto. Menurut dia, wacana semacam ini sudah ada dua tahun lalu. Namun, karena tidak ada dasar hukum yang kuat, wacana itu meredup kembali. Makanya, pihaknya mendorong terbitnya keputusan presiden yang berisi petunjuk teknis berikut sanksinya.

Akankah program ini jalan? Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, tidak begitu yakin. Maklum, untuk melakukannya diperlukan kebijakan yang radikal. "Salah satunya, pencetakan buku jangan diserahkan ke swasta," kata pria asal Gunung Kidul, Yogyakarta, itu kepada Dessy Eresina dari Gatra. Pemerintah pusat bertugas menyediakan naskah. Penggandaan dan distribusinya diserahkan ke masing-masing daerah. Daerahlah yang menunjuk penerbit.

Selama ini, kata Darmaningtyas, lewat Pusat Perbukuan terjadi kolusi sehingga buku jadi lahan bisnis. Lantaran itu, program ini harus diikuti pembubaran Pusat Perbukuan. Lalu tugas mengevaluasi naskah yang masuk berikut tendernya bisa ditangani oleh Pusat Kurikulum. Selama ini, kedua lembaga itu jalan sendiri-sendiri. Padahal, dari evaluasi ditemukan bahwa pergantian buku setiap tahun hanya terjadi pada kalimat dan contoh soal. Ilmu dasarnya tak berubah. "Tapi pemerintah tak berkutik," kata Darmaningtyas.

Khudori, Nurul Fitriyah (Surabaya), Ida Farida (Bandung)
Majalah Gatra edisi 3 / XI / 4 Desember 2004