Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Sejarah Tatar Sunda Dihantam Ajip Rosidi

Jarang ada daerah yang telah memiliki buku sejarah lengkap. Di antara yang sedikit itu, Jawa Barat beruntung telah punya buku Sejarah Tatar Sunda (STS) yang disusun sejarawan Nina Lubis dan kawan-kawan. Inilah buku pertama yang secara menyeluruh memuat sejarah Sunda mulai masa prasejarah hingga kejadian tahun 2000. Tak mengherankan jika banyak yang bersukacita saat buku ini diluncurkan akhir tahun lalu. "Kini kami punya buku pegangan dalam mengajarkan sejarah," kata seorang guru.

Tak hanya kalangan pendidik, birokrat pun menyambut gembira terbitnya STS. Sampai-sampai Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, memesannya khusus untuk dibagikan kepada para bupati, wali kota, dan camat se-Jawa Barat. Selama ini, guru dan para peminat sejarah Sunda hanya punya satu buku rujukan. Yakni buku Sejarah Jawa Barat yang ditulis pada 1972 oleh Drs. Moh. Ali dan kawan-kawan. Tak pelak lagi, STS telah memberi sumbangan berharga bagi khazanah literatur Sunda.

Tapi kegembiraan menyambut STS itu hanya bertahan dua bulan. Adalah artikel Ajip Rosidi di harian Pikiran Rakyat (PR), Bandung, edisi 19-20 Maret 2004 yang menjadi biangnya. Di bawah judul "Memeriksa Sejarah Tatar Sunda", Kang Ajip meresensi habis buku STS. Menurut Ajip, STS dikerjakan secara serampangan dan tidak profesional. Tim penyusun tidak pernah membaca buku yang dicantumkan dalam bibliografi. Tim penyusun tidak punya kesadaran tentang proporsi, tidak mampu membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting. Tim penyusun tidak mampu membedakan mana sumber yang dapat dipercaya mana yang tidak dan tidak punya visi dan bahkan tidak punya nalar. "Buku itu gagal sebagai buku sejarah," begitu kesimpulan Kang Ajip.

Kesimpulan Kang Ajip ini membuat Nina dan anggotanya bagai kebakaran jenggot. Sepanjang dua bulan ini, mereka pun "berbalas pantun" di koran PR. Sedikitnya sudah 10 artikel menyangkut STS yang dimuat PR. "Kami memang mengambil kebijaksanaan untuk memberi kesempatan para pihak menyampaikan argumennya," kata Wakhudin, Redaktur Opini PR.

Sebetulnya, gagasan untuk menerbitkan buku sejarah yang meliputi Jawa Barat sudah lama menggema. Baru pada Oktober 2001 Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Barat membentuk tim. Anggota tim yang diketuai Nina Herlina Lubis ini berasal dari berbagai perguruan tinggi. Mereka juga didampingi dua konsultan. Yaitu Prof. Dr. Taufik Abdullah, Ketua MSI, dan Dr. Susanto Zuhdi, MHum, Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Awalnya, tim penulis ini sempat terseok-seok karena minimnya dana. Beruntung, Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad), A. Himendra Wargahadibrata, kemudian menjadikan penulisan sejarah ini sebagai salah satu proyek penulisan Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Unpad. Alhasil, dengan dana sebanyak Rp 50 juta, tim penulis STS ini dapat bekerja selama satu tahun pertama.

Kesulitan sudah muncul mulai dari penentuan judul. Sejarah Tatar Sunda atau Sejarah Jawa Barat? Besarnya anggota tim, yang notabene adalah senior dan junior di Unpad baik dari segi usia maupun jabatan akademis, membuat pengambilan keputusan tidaklah mudah. Setahun bekerja, sebagian anggota tim mengundurkan diri dengan alasan masing-masing.

Naskah untuk penulisan buku ini mulai disosialisasikan melalui semiloka sejarah tatar Sunda, pada 15 Maret 2003. Beberapa pakar diundang untuk menyampaikan pandangan. Mereka adalah Dr. Bambang Purwanto, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita, arkeolog dari IAIN/UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Yus Rusyana, sastrawan dan budayawan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dan Prof. Drs. Saini K.M., budayawan dari ISI Bandung. Di forum ini, naskah STS babak belur dikritik. Tapi yang melegakan, para pakar itu menghargai upaya rekonstruksi sejarah tatar Sunda yang relatif lengkap baru pertama kali dilakukan.

Alhasil, buku ini terbit dalam dua jilid dengan ketebalan masing-masing 506 dan 567 halaman. Buku diluncurkan pada 29 Desember 2003. Jadi, bila dihitung dari awal proses penulisan hingga penerbitan sebagai buku, hanya memakan waktu dua tahun dua bulan.

Nina mengaku, berbagai reaksi dari pembaca diterimanya sejak buku itu beredar. Baik berupa telepon langsung, SMS, maupun surat. Antara lain, seorang guru besar Unpad menyampaikan adanya kesalahan penulisan nama dalam buku itu. "Kami tentu saja senang dengan koreksi tersebut," kata Nina. Tapi saat datang kritik dari Ajip Rosidi, Nina harus mengumpulkan seluruh anggota timnya. "Kritik Kang Ajip itu menyudutkan, bahkan cenderung menghina secara pribadi," kata Nina, mengelus dada.

Maklumlah, dalam artikel itu Kang Ajip sempat menyinggung kepakaran Nina. "Wajar kalau kita mengharapkan karya orang yang S-1, S-2, dan S-3-nya sejarah ini adalah karya monumental yang profesional. Bukan hanya tumpukan data sejarah yang sudah terungkap, melainkan juga bagaimana data-data itu disusun menjadi cerita sejarah yang tersusun dengan baik, proporsional, teliti, logis, dan, tentu saja, ilmiah," kata Ajip.

Ajip mengaku semula bangga dengan hadirnya buku ini. Tapi saat membaca bagian yang membahas Kongres Pemuda Sunda, Ajip mulai menemukan kesalahan STS. Misalnya, kunjungan panitia kongres ke daerah-daerah yang dilakukan oleh rombongan yang dipimpin Saikin Suriawidjaja tidak pergi ke Banten seperti yang ditulis dalam STS pada halaman 297, melainkan ke Subang, Sumedang, Majalengka, Cirebon, Kuningan, Ciamis, Tasik, dan Garut.

Yang paling kacau, kata Ajip, adalah rincian tentang keputusan kongres yang tercantum pada halaman 299-301. Menurut Ajip, tulisan "dari keseluruhan hasil kongres disimpulkan bahwa Jawa Barat supaya berbentuk federasi" adalah kebodohan dari orang yang tidak tahu apa artinya negara federasi. "Saya tahu benar, karena saya ikut dalam kongres itu," kata Ajip.

Membuka lebih banyak halaman STS, Ajip mengaku menemukan lebih banyak lagi kejanggalan. Misalnya tak ada tulisan tentang pers Sunda. Ia lalu menuliskan "resensinya" itu ke dalam 26 lembar kertas kuarto yang diketik dengan 1,5 spasi. Selain kepada PR, "resensi" itu dikirim pula kepada Koesnadi Hardjasoemantri dan Taufik Abdullah. Keduanya adalah promotor Nina saat meraih doktor. "Saya kirim kepada mereka supaya tahu bahwa orang yang mereka percayai itu telah gegabah membuat buku sejarah," kata Ajip.

Kritik Ajip disokong sejarawan senior dari Unpad, Dr. Sobana Hardjasaputra. "Sebaiknya buku itu ditarik saja. Diedarkan lagi setelah direvisi," katanya. Ia khawatir, buku STS dengan sejumlah kesalahan itu bisa membuat salah kaprah berkepanjangan dalam pemahaman masyarakat. Menurut Sobana, itu perlu dilakukan sebagai tanggung jawab ilmiah sekaligus tanggung jawab moral agar masyarakat menaruh respek kepada tim penulis khususnya, dan sejarawan pada umumnya. Sobana semula adalah anggota tim penulis buku ini. Tapi ia memilih mengundurkan diri saat terjadi perbedaan pandangan.

Nina sendiri mengaku tak alergi kritik. Dia menyadari, STS mengalami banyak kesalahan cetak. "Ini akibat kuatnya desakan agar buku itu segera terbit. Ibaratnya, kami seperti dikejar jam tayang," kata Nina sambil tertawa. Ia berjanji menarik buku itu dan merevisinya.

Tapi ia tak terima tuduhan Ajip bahwa timnya bekerja serampangan. Menurut dia, timnya telah bekerja sesuai dengan kaidah-kaidah akademis. Misalnya, mengumpulkan data dari Balai Kajian Sejarah, wawancara dengan pelaku yang terlibat, dan melakukan presentasi untuk menjaring tanggapan. "Kalau sudah masalah substansi, itu hak sejarawan," kata Nina.

Menanggapi polemik ini, sejarawan yang juga Ketua Umum MSI, Taufik Abdullah, memberi penilaian proporsional. "Kritikan Ajip Rosidi memang berlebihan. Namun materi salah cetak di STS itu merupakan 'kebodohan'," ujar Taufik Abdullah.

Menurut Taufik, buku STS tidak terlalu bagus karena merupakan hasil kerja kelompok yang harus ditulis oleh satu orang. Itu lebih berat ketimbang hasil kerja sendirian. "Tapi saya menyatakan penghargaan atas keberanian pembuatan buku STS. Ini buku yang pertama," kata Taufik. Dia mengakui, tulisan yang bersifat lokal lebih sensitif dibandingkan dengan sejarah nasional. Ini keberanian. Tapi kesalahan bukanlah aib.

Sejumlah kalangan di Bandung berharap, polemik ini berbuah buku STS yang lebih baik. "Bagaimanapun, kedua orang itu adalah aset Sunda. Mereka sudah pasti punya niat baik memberi sumbangsih demi kemajuan Sunda," kata Hawe Setiawan, seorang pemerhati budaya Sunda.

Baik Nina maupun Ajip bisa dikatakan sudah menjadi ikon bagi orang Sunda. Nina adalah satu-satunya sejarawan yang menyelesaikan gelar kesarjanaannya di bidang sejarah. Ia juga dikenal produktif dan menaruh perhatian yang tinggi bagi sejarah Sunda. Sedangkan ketokohan Ajip Rosidi tak diragukan lagi. Lewat Yayasan Rancage, sampai saat ini Ajip masih setia memajukan sastra Sunda dan bahkan sastra daerah lainnya.

Sayang juga melihat kedua ikon Sunda itu "berkelahi" secara terbuka. Barangkali ada tokoh Sunda lain yang bersedia jadi juru damai. Tak sekadar jadi penonton?

Yang Penting yang Terpelanting
Menulis sejarah kontemporer tak semudah menulis sejarah klasik. Ini karena, selain sumber-sumber primer masih bisa dilacak, para pelakunya terkadang masih bisa dikonfirmasi. Karena itu, ketika sejarah kontemporer ditulis secara keliru, reaksi akan cepat bermunculan. Inilah yang terjadi atas buku Sejarah Tatar Sunda (STS) karya Nina H. Lubis dan kawan-kawan itu.

Budayawan Ajip Rosidi, meski terkadang agak emosional, berhasil membedah akurasi, salah cetak, dan salah memahami atas suatu peristiwa, baik yang klasik maupun kontemporer. Di antara kesalahan tersebut adalah memahami tentang Persatuan Islam, daerah pendudukan, dan Konferensi Asia Afrika.

Persis
Di STS Jilid 2 halaman 61-63, ada item tentang Pesantren Persatuan Islam (Persis). Penyebutan yang benar adalah Persatuan Islam (Persis). Disebutkan, "Persis didirikan di Bandung pada 12 September 1923 dengan diketuai oleh Ahmad Hassan dengan Mohammad Natsir sebagai penasihat yang merangkap sebagai guru."

Bila saja tim penulis mau membaca buku Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal yang ditulis oleh Dr. Syafiq A. Mughni, MA, kesalahan tak akan terjadi. Hassan Bandung atau yang dikenal sebagai Ahmad Hassan, ke Bandung pada 1924. Sebelumnya ia tinggal di Surabaya. Ke Bandung, tujuan Hassan adalah memperdalam ilmu pertenunan selama sembilan bulan. Ia tinggal bersama keluarga Muhammad Yunus yang bersama Haji Zamzam mendirikan Persis, tahun 1923. Selama di Bandung inilah Hassan sering ikut aktivitas di Persis, dan secara resmi menjadi anggota, tahun 1926. Hassan tak pernah menjadi Ketua Persis.

Juga tentang M. Natsir yang menjadi penasihat. Padahal, ketika Persis didirikan pada 1923, Natsir baru berusia 15 tahun. Apakah logis anak remaja berusia 15 tahun duduk sebagai penasihat sebuah organisasi besar dan sekaligus merangkap sebagai guru? Bahwa Natsir pernah aktif di Persis, itu benar. Dan ia adalah salah seorang "murid" Hassan.

Penyebutan pesantren dengan madrasah pun, tampaknya, tak dipahami benar oleh penulisnya. Padahal, yang dimaksud dengan Pesantren Persis adalah madrasah atau sekolah klasikal yang terdiri dari ibtidaiyah, tajhiziyah, tsanawiyah, mualimin, dan aliyah.

Daerah Pendudukan
Sejak 1948, muncul kekuatan baru yang dimpimpin oleh Kartosuwirjo dengan bendera DI/TII. Kartosuwirjo menganggap TNI sebagai pecundang yang meninggalkan lapangan pertempuran ketika melawan Belanda. Akibat didudukinya kota-kota besar di seluruh Jawa Barat oleh Belanda/NICA, baik sebagai akibat Agresi Militer I (1947) maupun Agresi Militer II (1948), maka daerah perkotaan menjadi daerah (pendudukan) Belanda, sedangkan TNI (kemudian diambil alih DI/TII) menguasai daerah-daerah pedalaman, di lereng-lereng gunung.

Di daerah pendudukan ada distribusi makanan dan pakaian, sedangkan di daerah RI rakyat hidup melarat. Mata uang Belanda (uang merah) digunakan di daerah pendudukan, di daerah RI digunakan uang ORI (uang putih). Terjadilah perang mata uang yang menyebabkan uang ORI makin merosot daya belinya. Karena itu, ketika harga barang kebutuhan pokok sehari-hari tahun 1946 (halaman 263) dengan tahun 1949 (halaman 264) dibandingkan, tentulah tidak pada tempatnya. Ini karena pada tahun 1946 Bandung dikuasai oleh Pemerintah RI, sedangkan pada tahun 1949 sudah menjadi kota pendudukan Belanda. Membaca peta politik inilah yang gagal dilakukan oleh tim penulis STS.

Asia Afrika
Ketika membahas masa tahun 1951-1959, ternyata tak disebut Konferensi Asia Afrika (KAA), yang berlangsung pada April 1955 di Bandung. Padahal, KAA adalah konferensi negara nonblok pertama yang melahirkan "Semangat Bandung" dan "Dasasila Bandung" yang gaungnya mendunia.

Bila dikaji dari sudut sejarah, KAA yang berlangsung di ibu kota Jawa Barat itu adalah suatu rangkaian kebangkitan bangsa-bangsa Asia Afrika yang baru saja keluar dari penjajahan. Momentum yang penting seperti ini, di mana sumber-sumber primer dan para pelaku sejarahnya masih ada, sangat disayangkan bila lepas dari penulisan STS.

Taufik Abriansyah, Ida Farida, Herry Mohammad
Majalah Gatra edisi  27 / X / 22 Mei 2004