Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sweeping Buku Kiri di Shopping Centre Yogyakarta

Lebih dari sepekan ini bursa buku paling besar di Yogya, Shopping Centre, lengang. Sedikit sekali pembeli yang bertandang ke kawasan di selatan Pasar Beringharjo itu. Mas'ud, 42 tahun, pemilik Social Agency, salah satu kios di areal di selatan Pasar Beringharjo itu, hanya terkantuk-kantuk menunggu pembeli.

Ketua Koperasi Pedagang Buku Shopping Centre itu hanya pasrah. Ia termasuk pedagang yang bukunya di-sweeping Kepolisian Daerah (Polda) Yogyakarta, Kamis dua pekan lalu. Empat bukunya dibeslah. Di antaranya, Che Guevara Revolusi Rakyat, dan karangan Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. "Saya berharap tak ada razia lagi," katanya kepada Gatra. Tapi, Mas'ud tak akan meminta kembali buku- bukunya yang disita.

Sikap ini berbeda dengan yang diambil sebagian dari 126 teman Mas'ud sesama penjual buku di Shopping Centre. Mereka akan meminta kembali buku-bukunya yang disita. Polisi memang menyita 49 buku dari 19 judul. Kata seorang pedagang, Ahmad, Kapolda Yogya Brigadir Jenderal Saleh Saaf sudah berjanji mengembalikan buku yang dirampas anak buahnya.

Repotnya, Saleh Saaf belum akan menyerahkannya. "Tunggu saat yang tepat. Pasti saya kembalikan," kata bekas Kepala Dinas Penerangan Polri ini.

Suasana memang masih gawat. Gerakan Pasukan Anti-Komunis (Gepako) Yogyakarta, yang sepanjang dua pekan ini gencar menyita penerbitan yang mereka nilai berbau komunis, masih memelototi toko demi toko. Mereka mencari buku kiri untuk disita. "Kalau sweeping polisi dilancarkan semata-mata agar masyarakat tak melakukannya, ya, kami tetap akan bergerak," kata ketuanya, Gandung Pardiman.

"Ancaman" razia partikelir ini menciutkan nyali para penerbit buku. Apalagi, tersebar kabar, Gepako juga akan bertandang ke kantor- kantor penerbit. "Kami ketar-ketir terhadap berita itu," kata seorang karyawan penerbitan yang banyak menerbitkan buku-buku sosial. Lebih seram lagi, beredar kabar, siapa pun yang tercantum dalam buku berbau kiri, akan dikejar.

Tapi, Gandung membantah isu itu. Sweeping, katanya, masih difokuskan pada buku yang beredar di pasaran. Dasar gerakan mereka mengacu pada Ketetapan MPRS 25/1966 tentang Pelarangan PKI dan Ajaran Komunis. Ketetapan itu sampai sekarang masih berlaku.

Berdasar aturan itu pula, Aliansi Anti-Komunis mengancam men-sweeping buku kiri, dari 20 Mei hingga 1 Juni mendatang. Kata Sekretaris Jenderal Aliansi Anti-Komunis, Muhammad Naufal Donggio, kelompoknya juga akan merazia orang yang dianggap berbau kiri. "Mending dikorbankan lima atau 10 orang daripada ratusan juta rakyat Indonesia," katanya. Naufal mengaku sudah mengantongi nama yang akan jadi sasaran.

Di kalangan penerbit, sweeping buku dengan mengacu pada Ketetapan (Tap) MPRS 25/1966 itu dianggap tak jelas dasarnya. Kata Buldanul Khuri, Direktur Yayasan Bentang Budaya, penerbit di Yogya yang banyak meluncurkan buku sosial, terutama sejarah dan budaya, "Apa kriteria buku yang digolongkan kiri berdasar aturan itu?"

Pendapat itu dikuatkan guru besar hukum tata negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Dr. Sri Soemantri. "Ajarannya saja atau termasuk bukunya yang dilarang?" katanya kepada Hendri Firzani dari Gatra. Menurut dia, pelarangan buku perlu diatur dalam suatu undang-undang.

Profesor Andi Hamzah, guru besar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, punya pendapat berbeda. Menurut dia, Tap MPRS 25/1966 sebenarnya sudah ada penjabarannya. "Hanya kurang disosialisasikan, sehingga seolah-olah ada kevakuman hukum," katanya kepada Rita Triana Budiarti dari Gatra.

Andi tak setuju terhadap cara razia oleh Aliansi Anti-Komunis - organisasi yang menghimpun 50 ormas Islam ini. Kalau keberatan terhadap adanya buku yang dinilai kiri, kata Andi, Aliansi cukup mendata, lalu melaporkannya ke polisi. "Kejaksaan yang menentukan dilarang tidaknya suatu buku," katanya.

Sesuai dengan aturan Nomor 4/PNPS/1963, yang menentukan boleh tidaknya buku beredar memang Kejaksaan Agung. Aturan itu dipertegas dengan surat edaran bertanggal 28 Januari 1983. Di situ diatur, Jaksa Agung-lah yang menentukan halal haramnya peredaran sebuah buku. Kejaksaan tinggi, demikian pula kejaksaan negeri, tak punya kewenangan itu.

Joko Syahban, Rohmat Haryadi, dan Kristiyanto (Yogyakarta)
Majalah Gatra edisi 27 / VII, 26 Mei 2001