Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Roman "Siti Nurbaya", Pasar Buku dan Idealisme

Perilaku pasar buku di masyarakat kita memang agak unik. Dari beberapa laporan pengamatan di beberapa toko buku yang besar ataupun sekelas kios, dapat digambarkan kira-kira demikian. Buku-buku novel populer, dibandingkan dengan novel-novel sastra, secara umum lebih banyak terjual. Namun ada kekecualian, misalnya novel Siti Nurbaya (dan tentu Saman) yang tiras terjualnya bisa disebut cukup fantastis. Terjadinya kekecualian ini pun hanya sekali dalam kurun sekian tahun. Jika diteruskan, hal yang sama berlaku untuk jenis buku yang berbobot "idealistik", yang dalam tiral penjualannya sangat tertinggal jauh dengan, misalnya buku-buku sejenis komik (picisan). Mungkin fenomena ini hanya terbantahkan oleh kelompok buku-buku keagamaan yang dapat disebut berbobot idealistik, namun tirasnya termasuk kelompok buku best-seller.

Fenomena ini tampaknya sejajar dan berlaku untuk setiap lapisan masyarakat, mulai dari pengunjung bursa buku loakan sampai dengan toko buku di mal-mal mewah. Dan fenomena ini pun tidak hanya terjadi pada kurun waktu sekarang, melainkan sudah berlangsung sejak zaman awal-awal penerbitan buku yang dirintis oleh Balai Pustaka (Jakarta), Nusa Indah (Ende, Flores), dan penerbit di Padang, Sumatra Barat.

Pasar perbukuan kita seakan-akan taken for granted bahwa kelompok buku-buku yang sering disebut buku serius atau berbobot idealistik kurang diminati dibandingkan dengan, misalnya buku-buku komik (dalam kelompok pembaca anak-anak dan remaja), atau novel populer dan cerita film (dalam kelompok pembaca dewasa). Dari gejala seperti ini kemudian berkembang persepsi masyarakat tentang dikotomi antara buku-buku idealistik dan buku-buku komersial alias yang diminati pasar.

Ada persepsi kuat, seakan-akan masyarakat tidak suka atau kurang berminat membaca buku-buku "berbobot" yang ditulis dengan bahasa yang baik, temanya berguna dalam jangka waktu panjang, pembahasannya sistematis dan logis, memberi informasi dan inspirasi yang jauh ke depan, serta gagasannya kuat dan orisinal. Semua ini membawa kita pada persoalan dilematis: bagaimana menyejajarkan idealisme dan pasar? Bagaimana mendekatkan atau mendamaikan persepsi para perilaku pasar yang menganggap idealisme dan pasar tidak akan dapat bertemu?

Konsekuensinya sangat berat bilamana dihadapkan pada dilema memilih antara buku komersial dan buku idealistik. Dilema ini sering mengganggu para penerbit dan juga penulis. Sering, jika penerbit harus memilih, maka buku "idealistik" akan dikalahkan karena hal ini menyangkut kelangsungan hidup penerbit. Kalaupun ada penerbit yang masih bertahan untuk menerbitkan buku-buku idealistik, dapat dipastikan penerbit tersebut disubsidi dalam produksinya. Jika pun ada yang tidak disubsidi, maka para pekerja penerbitan dan penulisnya mensubsidi dirinya sendiri alias tidak memperhitungkan segala sesuatunya secara bisnis. Misalnya kerja tidak diupah, royalti tidak diadakan, pemasaran dikerjakan sendiri, perwajahan dan desain "dinunutkan" kepada kawan, dan untuk biaya produksi cetak dicarikan saweran dengan cara meminjam ke sana kemari. Tentu penerbit seperti ini kurang "profesional" dalam prosesnya.

Usaha-usaha untuk melebur dikotomi ini harus dilakukan. Dilema antara tuntutan idealisme dan pasar harus dapat didamaikan. Jika tidak, dunia perbukuan kita tidak akan berkembang baik karena ada ketimpangan di antara kelompok buku yang hadir di pasar dan diserap oleh masyarakat. Mungkin, untuk mengatasi persoalan dilematis ini para penerbit dapat mencontoh kesuksesan beberapa judul buku idealistik yang ditopang oleh kesuksesan kolaborasi antar media. Misalnya kasus roman Siti Nurbaya yang bisa bertahan berpuluh-puluh tahun sebagai sebuah karya yang melegenda. Mungkin inilah contoh kolaborasi antar media yang sangat baik, yang telah berlangsung cukup lama. Selain dimainkan dalam media teater atau drama, juga difilmkan atau disinetronkan. Contoh lain yang sangat baru, novel Ca Bau Kan karya Remy Silado. Akhir-akhir ini juga ada beberapa contoh yang bisa dikatakan sukses, namun dari posisi sebaliknya. Misalnya skenario film yang kemudian diterbitkan sebagai buku, seperti Ada Apa dengan Cinta?

Mendekatkan idealisme dan pasar, sebagaimana terjadi dalam roman Siti Nurbaya, adalah salah satu persoalan yang perlu dipikirkan oleh para penerbit jika mereka ingin sukses secara bisnis sekaligus secara "idealitik".

Majalah Mata Baca Vol. 1 No. 1 / Agustus 2002