Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Niels Mulder: Moralitas Jawa Kini Mulai Tergusur

Meskipun kini usianya tidak muda lagi, Niels Mulder, antropolog kejawen itu, tetap menunjukkan semangatnya yang tidak pernah surut. Di tengah-tengah kesibukannya memeriksa ulang naskah dua buku terbarunya, Citra-citra Indonesia dan Citra-citra Asia Tenggara, Menuju Masyarakat Madani? yang hendak diterbitkan Penerbit Kanisius, Yogyakarta, dalam waktu dekat ini, dengan gaya Belanda-nya yang care dan smart, ia menerima penulis dalam sebuah perbincangan santai di Wisma Indraloka, Yogyakarta, tempat ia “indekos”, bergulat dengan buku-buku dan penelitiannya.

“Saya mendalami kejawen hanya karena kebetulan saja,” katanya mcngawali perbincangan, Niels Mulder yang lahir di saat-saat akhir penjajahan Belanda di Indonesia ini mengaku bahwa Indonesia secara alamiah sudah ada dalam benaknya. Di sekolahnya, Indonesia diperkenalkan sebagai untaian mutiara kepulauan yang luar biasa. Setelah di universitas, ia bertemu dengan para intelektual Belanda yang pernah bekerja di daerah-daerah koloni, termasuk di Indonesia, di antaranya Prof. Wertheim. Ketika ia menyelesaikan studi sarjananya pada tahun 1964, hubungan Indonesia dengan Belanda masih belum memungkinkannya datang ke Indonesia. Melalui penelitian terdahulu di Muangthai dan kajian aras Asia Tenggara di Universitas Nothern Illinois, pada akhirnya ia dapat masuk ke Indonesia pada tahun 1969. Tujuannya adalah mengadakan penelitian di “Jawa Tengah” bagian selatan, yaitu Yogyakarta.

Lahir di Belanda tahun 1935, sejak mulai belajar ilmu bumi sosial di Universitas Amsterdam, Niels Mulder telah meminati interpretasi-interpretasi kebudayaan masyarakat Asia Tenggara. Tahun 1965 ia mendapat kesempatan melakukan riset lapangan yang pertama di Muangthai. Kemudian mengajar di Nothern Illinois University, Amerika Serikat. Sementara itu, ia dibebastugaskan untuk penelitian di Jawa (1969-1970). Setelah bekerja selama dua tahun pada lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bangkok, tahun 1975 ia meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu sosial di Universitas Amsterdam dengan disertasi Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java (Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa).

Mulai tahun 1975 ia menjadi peneliti bebas, walaupun ia juga sering mengajar di Universitas Bielefeld, Jerman, tempat ia memberi kuliah musiman dalam matakuliah Sosiologi Interpretasi atas Asia Tenggara. Di universitas itu pula Mulder berafiliasi pada Sociology of Development Research Centre sebagai research fellow. Buku-buku karyanya yang diterbitkan sudah hampir mencapai 20-an judul; yang terbaru tentang kajian Jawa-Indonesia: Ruang Batin Masyarakat Indonesia (LkiS, Yogyakarta, 2001) dan Mistisisme Jawa (LkiS, Yogyakarta, 2001).

Karyanya Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java, yang diangkat dari disertasinya yang didasarkan atas hasil penelitiannya di Yogyakarta pada tahun 1969 hingga awal 1970-an, kini telah menjadi klasik. Ia mengakui, disertasinya telah kehilangan keaktualannya sekarang ini karena disertasi itu merefleksikan kehidupan pada awal munculnya penataan politik Orde Baru ketika kota Yogyakarta relatif masih terisolasi dan belum tersentuh oleh pembangunan.

Ketika pada tahun 1980 mengunjungi Yogya lagi, ia melihat banyak hal telah berubah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Rasa kebersamaan (guyub) tampak mulai tergeser oleh hasrat-hasrat untuk lebih memperhatikan kepentingan diri sendiri. Dari pengamatan atas gejala inilah Mulder lalu meluncurkan karyanya yang berjudul Individual and Society in Java (Pribadi dan Masyarakat Jawa). Dalam buku itu ia mengungkapkan dinamika kebudayaan jawa yang berubah dan berkembang.

Tahun 1992 ia berkesempatan datang dan tinggal lagi di Yogya selama sekitar tiga bulan. Ia melihat lebih banyak lagi perubahan. Lalu lahirlah buku Inside Indonesian Society: An Interpretation of Cultural Change in Java (Ruang Batin Masyarakat Indonesia). Kalau dalam Mysticism Mulder melihat kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa masih sangat kental dengan ajaran-ajaran moral “kcjawen”, di mana keselarasan dengan kosmos dan olah rasa dijunjung tinggi, dalam Individual moralitas “kejawen” itu sudah tampak mulai tergerus oleh nilai-nilai yang lebih mengunggulkan kepentingan individu.

Kini, moralitas “kejawen” itu bukan hanya telah tergeser, tetapi tergusur oleh nilai-nilai seperti konsumtivisme, “materialisme individualism —dalam arti egoisme— dan “isme-isme” lain yang dibawa oleh modernisasi dan atau pembangunan. Bahkan, dengan tegas Mulder mengatakan bahwa kehidupan masyarakat Jawa sebagai sebuah komunitas sosial-budaya telah terkosongkan dari kandungan moral (emptied of moral content). Masyarakat Jawa telah menjadi masyarakat massa yang steril secara moral, Mulder menyebut gejala ini sebagai suatu malaise kebudayaan.

Mulder menyadari gejala perubahan tersebut bukan merupakan sesuatu yang khas pada masyarakat jawa saja. Ini merupakan gejala umum pada masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga, di mana pembangunan tengah menjadi sentral kehidupan. Namun, apa yang terjadi pada masyarakat Jawa bersifat paradoksal, Maksudnya, pada saat praktik-praktik moralilas “kejawen” itu telah semakin pudar, simbol-simbol “kejawen” justru mengalami semacam revitalisasi. Ini berarti, simbol telah (di)lepas(kan) dari makna yang disimbolisasikan.

Menurut Mulder, kejawen menunjuk kepada kebudayaan Jawa yang berpusat di Surakarta dan Yogyakarta. Seringkali, kejawen dipahami sebagai jawanisme, seperti halnya mistisisme dan praktik-praktik keagamaan yang berhubungan dengan hidup dan ngelmu, yang secara normal juga mengandung kegaiban. Inti dari kejawaan adalah menggabungkan berbagai elemen yang diperoleh secara asli dari periode sejarah perkembangan Hindu-Buddha di Pulau Jawa, yang dikombinasi dengan pemikiran-pemikiran animisme yang lebih kuno lagi. Sebagai sistem pengetahuan, kejawen itu sangat rumit dan luas serta memuat masalah kosmologi, mitologi, dan pengajaran-pengajaran mistik, yang menghasilkan suatu pandangan tentang eksistensi manusiawi, atau gagasan tentang sifat dasar manusia dan cara hidup bermasyarakatnya, yang kemudian menerangkan etika dan moralitas yang meresap ke dalam cara dan sikap hidup. Dengan pengertian ini, penampilan upacara-upacara yang rumit dan modern, seperti pernikahan yang mewah-mewah, belum tentu berarti bahwa sikap orang jawa yang punya uang (Orang Kaya Baru / OKB menurut Mulder) boleh disamakan dengan sikap kejawen.

Mulder boleh secara eksplisit menunjukkan kekecewaannya atas gejala perubahan yang paradoksal itu. Namun, bagaimanapun, ia tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kekecewaannya yang lebih mendasar, yakni penyesalannya atas pudarnya praktik-praktik mistisisme Jawa sebagaimana yang ia konstruksikan. Pudarnya hal ini, baginya, berarti hilangnya scsuatu yang ia pandang sebagai yang “lain”, yang “pribumi”, dan yang “bukan Barat”.

Ferry T. Indratno
Majalah Mata Baca Vol. 1 No. 1 / Agustus 2002