Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hasta Mitra dan Buku Pramoedya Ananta Toer “Edisi Pembebasan”

Banyak buku yang dibuat dan diterbitkan. Tidak semua yang diterbitkan itu dibaca secara meluas di masyarakat. Bahkan ada buku yang ketika diterbitkan sama sekali tidak menarik untuk dibaca pada zamannya. Seperti buku-buku laporan perjalanan berisi data perkebunan dan kegiatan ekonomi serta sosial masyarakat yang disusun oleh tenaga administrasi pemerintahan kolonial Belanda di zaman penjajahan dahulu kala. Atau sebut saja misalnya buku peringatan 25 Jarren Decentralisatie in Nederlandsch-lndie 1905-1930. Buku laporan itu dicetak (sekalipun terbatas) dan diedarkan di kalangan pemerintah dan satu-dua diedarkan ke masyarakat. Ketika buku itu sudah berumur, katakanlah seabad umurnya, barulah menarik orang untuk menyimaknya sehubungan dengan sejarah masyarakat ketika itu, yang terekam dalam buku laporan tersebut. Buku-buku tersebut dibaca orang kini, karena rasa ingin tahu berkaitan dengan sejarah masa lalu.

Masa kini, beberapa buku dicari masyarakat karena keingintahuan akibat buku tersebut dilarang beredar atau ditarik peredarannya oleh pemerintah yang sedang berkuasa, Buku terlarang atau yang dilarang oleh pemerintahan rezim Orde Baru banyak sekali iumlahnya. Baik itu buku yang terang-terangan mengkritik pelaksanaan pemerintahan Soeharto ketika itu, misalnya Buku Putih Perjuangan Mahasiswa Indonesia-KM 1TB 1979 ataupun buku-buku yang dinilai pemerintah sebagai bertentangan dengan ideologi Pancasila versi penguasa. Bahkan beberapa buku seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer (PAT), yang dituduhkan “bermaksud menyebarluaskan ajaran terlarang marxisme-leninisme” di antaranya, harus dilarang beredar. Sebut saja Kwartet Roman Pulau Buru, diterbitkan antara tahun-tahun 19801-1988 {Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988)}. Dan, kalau mau diurut, banyak sekali karya-karya PAT yang dilarang beredar di masa rezim Soeharto. Ketika Arus Balik (1995) dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995-1996, naskah asli berjudul Nyanyi Tunggal Seorang Bisu dibuat tahun 1991, menurut A.Teeuw, 1997) diterbitkan pun tak beberapa lama, dilarang beredar. Sepertinya hampir semua karya PAT begitu terbit dalam hitungan satu-dua bulan, hampir pasti dilarang beredar. Buku-buku yang dilarang beredar ini dicari masyarakat, mungkin selain karena “rasa ingin tahu” masyarakat juga karena PAT seorang pengarang sastra dan penulis andal dan terkemuka yang dikenal luas jauh sebelum pemerintah Orde Baru (Orba) berkuasa.

Adalah Penerbit Hasta Mitra-Jakarta yang menerbitkan karya-karya PAT yang banyak dilarang beredar tersebut. Sepertinya sudah menjadi cap oleh kebanyakan orang kalau Penerbit Hasta Mitra-Jakarta adalah penerbit buku-buku “terlarang” oleh pemerintah. Mungkin “cap masyarakat” ini tepat juga kiranya. Menyimak pernyataan salah seorang pendirinya, Joesoef lshak dalam suatu kesempatan wawancara yang pernah dimuat di media cetak terbitan Jakarta, bahwa Penerbit PT. Hasta Mitra memang didirikan untuk membantu menerbitkan karya-karya para narapidana dan pahanan politik. Dan sekaligus juga berarti siap di-“bredel” atau dilarang beredar buku-buku yang diterbitkannya. Mengingat ketika itu semua karya bekas napol-tapol hampir pasti dilarang beredar atau ditarik dari peredaran oleh pemerintah. Maka terkadang masuk kategori buku terlarang berarti juga bisa diperkirakan masuk kategori buku laris. Sekalipun dengan perhitungan data penjualan tidak resmi, karena dijual di pasar gelap alias tidak lewat saluran resmi. Terkadang masyarakat pembaca menjuluki Penerbit Hasta Mitra sebagai penerbit yang menerbitkan buku “dijamin pasti dilarang beredar”. Hampir semua karya PAT yang dibuat setelah dibebaskan dari penjara Pulau Buru diterbitkan oleh Hasta Mitra dan hampir pasti dilarang beredar. Mulai dari Kwartet Roman Pulau Buru (1980-1988), Sang Pemula (1985), Gadis Pantai (1987, terbitan ulang dari karangan bersambung di majalah Lentera 1962-1965), hingga Arus Balik dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid I dan II (1995).

Namun, kini Penerbit PT Hasta Mitra, yang didirikan pada tahun 1980 oleh PAT sendiri, Joesoef Ishak, serta almarhum Hasjim Rachman, tidak saja menerbitkan karya-karya selepas dari penjara Pulau Buru. Hasta Mitra di alam reformasi ini menerbitkan kembali karya-karya atau buku-buku yang sempat dilarang dengan kategori “Edisi Pembebasan”. Sepertinya ada suatu semangat baru “meraih kemerdekaan” setelah lama “bergerilya” dengan buku-buku yang “sudah hampir pasti dilarang terbit”. Bahkan, di masa sekarang ini, masa reformasi, menurut istilah Penerbit Hasta Mitra, menerbitkan hampir semua karya PAT yang dibuat jauh sebelum masa pemenjaraan (1967-1979) di Pulau Buru. Beberapa karya PAT di masa-masa awal revolusi kemerdekaan hingga masa demokrasi terpimpin (1945-1960) yang dahulu umumnya diterbitkan baik oleh Balai Pustaka maupun oleh beberapa penerbit lainnya kini diterbitkan ulang dengan label ‘Edisi Pembebasan’. Dapat kita sebutkan di sini beberapa karya yang dahulunya diterbitkan oleh Balai Pustaka antara rentang waktu 1947-1957: Di Tepi Kali Bekasi (1947), Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Percikan Revolusi (1950) dan Subuh (1950). Lalu, Bukan Pasar Malam (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Cerita dari Blora (1952) dan Korupsi (1954) yang dahulu diterbitkan oleh Penerbit Nusantara-Bukit Tinggi, Jakarta. Juga diterbitkan sebagai edisi baru atau mereka sebut “Edisi Pembebasan”, yaitu kumpulan ceritera pendek: Cerita dari Jakarta (1957).

Dari label “Edisi Pembebasan” itu, seakan-akan Penerbit Hasta Mitra ingin mengatakan bahwa menerbitkan karya-karya PAT ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, adalah suatu perjuangan yang terbelenggu oleh penjara politik. Sekalipun ketika itu mereka sudah paham betul bahwa menerbitkan karya para napol dan tapol yang dipenjarakan oleh rezim Orba dengan sendirinya pastilah mendapat tekanan dari penguasa Orba juga. Pemerintah Orba hampir-hampir tidak mengenal istilah dengan buku memajukan bangsa untuk karya-karya para napol-tapol. Penerbit Hasta Mitra kini tidak lagi identik dengan buku-buku terlarang, sekalipun tidak semua karya yang tadinya terlarang telah diputihkan, tetap sudah boleh disebut Penerbit khusus Edisi Pembebasan. Penerbit Hasta Mitra kini boleh merayakan hasil perjuangannya yang layak dicontoh oleh mereka yang mau menjadi penerbit topik-topik khusus.

Majalah Mata Baca Vol. 1 / No. 2 / September 2002