Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

E-book, Ancaman Penerbitan Buku Cetak?

Buku karya si "Raja Horor", Stephen King, memang selalu laris. Tak terkecuali karya terakhirnya, novel Riding The Bullet, yang diluncurkan Selasa dua pekan lalu. Tapi, jangan harap dapat menemukan karya ini di toko buku. Riding cuma bersemayam di komputer, alias di jaringan internet. Kali ini Stephen King menerbitkan karyanya dalam bentuk e-book.

E-book seharga US$ 2,5 itu dapat dibeli dengan men-download beberapa situs yang menyediakannya, seperti barnesandnoble.com, amazon.com, atau fatbrain.com. Simon & Schuster, perusahaan penerbit buku itu, mengklaim, pada hari pertama peluncurannya telah terjadi 400.000 transaksi.

Situs amazon.com, yang menyediakan download gratis selama dua pekan, mengaku mendapat rata-rata satu pesanan per 1,5 detik pada Selasa itu. Sedangkan barnesandnoble.com mengaku mendapat order per 2,5 detik. Netlibrary, perusahaan penjual buku elektronik, tak ketinggalan melaporkan 400 kopi Riding terjual dalam sejam.

Sambutan luar biasa ini agak mencemaskan para penerbit yang masih mengandalkan percetakan. Soalnya, beberapa perusahaan situs, seperti fatbrain.com, juga memotong kompas. Mereka langsung menghubungi para pengarang terkenal, untuk penerbitan e-book. Aksi ini membuat penerbit buku tradisional, seperti Simon & Schuster, geregetan. "Mestinya mereka menghubungi kami dulu," kata Jack Romanos, Presiden Simon & Schuster, kepada The New York Times.

Di Indonesia, Putut Widjanarko, General Manager Mizan, mengakui e-book sebagai lompatan besar. Ia memangkas sejumlah mata rantai produksi buku. Misalnya proses percetakan. "Cukup melalui kabel-kabel internet," katanya. "Kita tinggal mentransfer naskah ke internet," ujar Nung Atasana, Manajer Pemasaran PT Gramedia Pustaka Utama.

Tapi, menurut Putut, e-book juga menciptakan mata rantai baru. Buku elektronik itu memerlukan situs, saluran telepon, atau perangkat lunak lainnya. Jadi, "Saya tidak yakin e-book bakal menggantikan penerbit buku yang ada," katanya. Lagi pula, Nung menimpali, e-book belum dapat menggantikan kenikmatan membaca buku cetak. "Misalnya novel, kalau kita baca di komputer, mata bisa capek setengah mati," katanya.

Nung yakin, konsumen lebih suka buku tercetak daripada yang berada di dunia maya. "Orang kita tampaknya lebih suka bentuk yang nyata," katanya. Walau begitu, baik Gramedia maupun Mizan memandang e-book sebagai peluang dagang juga. Kebetulan, keduanya sudah memiliki situs di internet. "Kita tinggal selangkah lagi," kata Putut.

Pengamat buku, Dr. Anhar Gonggong, melihat gejala ini sebagai pertanda baik. Memang, perkembangan e-book di Indonesia belum tampak betul. "Itu belum saya dengar," katanya kepada David Purba dari Gatra. "Tapi kalau diskusi, artikel, dan hasil penelitian, sudah lama terjadi di sini." Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan Nasional, ini berharap perkembangan itu dapat merembet ke dalam negeri.

Bagi Anhar, yang tak kalah pentingnya adalah mengatur perangkat hukum di sekitar penerbitan buku, terutama royalti. Selama ini, Anhar melihat royalti hanya diatur atas dasar kepercayaan antara penulis dan penerbit. Dengan masuknya e-book ini, tentu diperlukan perangkat hukum yang lebih jelas. "Jangan sampai teknologinya sudah tiba, hukumnya belum ada," katanya.

Nur Hidayat, Dewi Sri Utami, dan Taufik Abriansyah
Majalah Gatra, 27 Maret 2000