Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Biografi Kahlil Gibran, Pujangga Terbesar Abad 20

Kamis malam, 10 April 1931. Perayaan Paskah baru saja lewat sehari. Pada pukul 22.50, Uskup Francis Wakim, pastor Gereja Maronit Santo Joseph di New York, Amerika Serikat, berusaha membangunkan seorang lelaki yang terbaring di kamar rumah sakit St. Vincent's di Seventh Avenue. Tak ada jawaban. Kedua kelopak matanya tertutup rapat. Tubuhnya tetap diam meski diguncang.

Pria itu, Kahlil Gibran, ternyata telah hijrah ke alam lain. Di luar ketegaran hati dan kekuatan pikirannya, jasadnya sudah bosan menanggungkan penyakit sirosis hati dan tuberkulosis. Ribuan orang dari berbagai agama menundukkan kepala. Ribuan lagi yang hanyut dalam barisan duka ketika mengantar jenazahnya -dalam peti yang diselimuti bendera Lebanon- dari New York ke Boston.

Pada 23 Juli, tubuh Gibran dipindahkan ke Providence, sebelum diberangkatkan ke desa tumpah darahnya di Lebanon. Kepergiannya dilepas dengan iringan orkes musik tiup yang memainkan mars pemakaman, Asa's Death, dari Peer Gynt Suite, dan lagu Nearer, May God to Thee karya Tannhauser. Jenazah itu dilayarkan dengan kapal Sinara, milik maskapai Fabre.

Empat minggu kemudian, Jumat pagi 21 Agustus, cita-cita Gibran untuk "kembali ke negara asalnya" terkabul. Charles Dabbas, Presiden Republik Lebanon saat itu, mengadakan jamuan kenegaraan mengenang sang pujangga. Gibran akhirnya "ditidurkan" dalam sebuah peti yang dipahat dari batu karang asli yang diletakkan di dalam gua, di biara kecil Mar Sarkis, tak jauh dari desanya.

Dunia mengakui Gibran sebagai pujangga dunia. Ia meninggalkan 22 buku, dan puluhan lukisan. Hampir semua karyanya menggemparkan jagat. Hingga kini, buah penanya sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa. Gibran, akhirnya, berhasil melintasi batas Timur dan Barat, kalau batas imajiner itu masih dianggap penting.

Hari kelahiran Gibran, 6 Januari, diperingati saban tahun di berbagai penjuru dunia. Di daerah kelahirannya sendiri, Bisharri, Lebanon Utara, didirikan Old Gibran Museum. Ada pula Komite Nasional Gibran, yang mengumpulkan dan menyelamatkan naskah asli tulisannya pada 1972-1983. Pada 1970, American University di Beirut, Lebanon, menyelenggarakan Festival Internasional Gibran.

Cucu Pendeta Kristen Maronit 
Tak hanya kelahiran, hari kematiannya pun diperingati. Pada tahun kematiannya ke-50, 1981, Presiden Lebanon waktu itu, Amin Gemayel, merencanakan "Tahun Internasional Gibran" pada 1983, tepat seabad kelahirannya. Tragisnya, ketika saat itu tiba, Lebanon lupa akan acara itu. Konflik berdarah di Lebanon menghilangkan kesempatan untuk menghormati putranya yang paling termasyhur.

Dalam bahasa Arab, nama lengkapnya adalah Gibran Khalil Gibran. Nama tengah itu diambil dari nama ayahnya. Gibran selalu menuliskan nama ini secara lengkap dalam karyanya berbahasa Arab. Tapi, dalam tulisannya yang berbahasa Inggris, ia menghilangkan nama depannya. Pada masa di Boston, Amerika, nama Khalil diubah menjadi Kahlil atas anjuran guru bahasa Inggrisnya.

Dalam bahasa Arab, Gibran disebut Jabre. Artinya mengembalikan keselarasan, mempersatukan bagian yang tidak sama, seperti dalam ilmu aljabar. Gibran lahir pada 1883. Tempat tinggalnya terletak di dataran tinggi di tepi lembah Wadi Qadisha, yang sering disebut Lembah Suci, di kaki Gunung Lebanon.

Ayahnya bernama Khalil Gibran dan ibunya, Kamileh Rahmeh, putri seorang pendeta Kristen Maronit, Istipan Rahmeh. Gibran anak sulung. Ia punya dua adik perempuan, Marianna dan Sultanah. Sebelum bersuamikan Khalil, Kamileh adalah janda Abdul Salam, yang sempat mengajaknya bermigrasi ke Brasil. Perkawinan pertamanya membuahkan seorang anak laki-laki, Boutros.

Di tanah rantau itu, Salam meninggal. Kamileh dan Boutros mudik ke Lebanon. kemudian menikah dengan Khalil. Rupanya, Boutros tak cocok dengan kelakuan ayah tirinya yang urakan. Maka, ia memilih pergi ke Boston. Belakangan, Kamileh dan tiga anaknya dari Khalil menyusul Boutros. Gibran sendiri tak pernah dekat dengan ayahnya.

Khalil senior, yang hanya memiliki sebidang kebun kenari dan bekerja sebagai pemungut pajak, cuma pandai menyenangkan diri sendiri. Ia rajin berfoya-foya, mabuk, dan bermain judi. Gibran jadi lebih dekat dengan ibunya. Suatu ketika, pada usia sekitar lima tahun, Gibran terlihat suntuk. Keinginannya untuk menggambar terhalang, karena kehabisan kertas.

Menuju Al Mahjer 
Meski tak punya kertas, desakan hatinya untuk melukis tak bisa dibendung. Gibran kecil, yang berkulit putih dan berwajah tampan, lalu nekat keluar rumah. Ia menggoreskan ujung telunjuknya di atas salju, untuk membuat gambar orang. Ketika musim semi tiba, Gibran menanam potongan-potongan kertas dengan harapan: bila musim panas datang, ia akan memanen kertas.

Ibu Gibran, yang dilukiskan sebagai wanita anggun, langsing, dan pipinya kemerahan, selalu memberikan sentuhan pendidikan agama Kristen Maronit kepada anak-anaknya. Agama ini merupakan sekte kuno yang muncul pada abad kelima. Konon ritualnya masih menggunakan bahasa Yesus, bahasa Aramaic. Cinta Gibran pada ibunya tergambar dalam karyanya, Sayap-sayap Patah: "Kata paling indah di bibir umat manusia adalah ibu."

Sementara itu, sejarah Lebanon tak pernah jauh dari kucuran darah. Pertikaian antarsekte, yang pecah pada 1845 dan 1860, menyebabkan sekitar 30.000 orang Kristen -terutama Maronit- dan Ortodoks Yunani dibantai oleh jemaat Druze atas dorongan Ottoman. Gibran sering diajak ayahnya pelesir ke kota-kota bekas reruntuhan perang: Baalbek, Kota Matahari, dan Baal. Kenangan kepedihan itu kelak muncul dalam tulisannya, Abu Segala Zaman dan Api Abadi.

Akhirnya, hubungan Kamileh dan ayah Gibran tak bisa diselamatkan. Kamileh dan ketiga anaknya memilih masuk dalam arus 30 juta imigran yang menginginkan Amerika Serikat sebagai negara harapan, pada 1895, menyusul Boutros. Negeri ini sempat disebut al mahjer, yang berarti tempat baru yang lebih baik. Kamileh dan keempat anaknya menetap di Olive Place, di ujung selatan Boston.

Daerah itu kumuh dan miskin. Untuk menghidupi keluarganya, Kamileh bekerja serabutan. Siang hari ia menjajakan kain linen dan renda, malamnya jadi tukang jahit. Gibran lebih beruntung dari kedua adik perempuannya yang tidak bersekolah. Ia disekolahkan di Quincy School for Boys. Di sekolah itu, gurunya amat terkesan akan gambar dan sketsa-sketsanya yang unik.

Tapi, Gibran berpikir harus menguasai bahasa Inggris. Pada usia 12 tahun, ia diserahkan kepada Fred Holland Day, seorang pelukis, fotografer, dan sastrawan. Ketika berusia 15 tahun, Gibran berkenalan dengan seorang penyair wanita, Josephine Preston Peabody, 24 tahun, yang kelak sangat berpengaruh pada Gibran.

Patah Sayap Asmara
Tapi, hubungan Gibran dan Josephine menimbulkan kabar tak sedap. Selain itu, ibunya juga berusaha keras agar Gibran tidak lupa pada tanah leluhurnya di Lebanon. Maka, pada 1898, remaja yang sudah disentuh "roh Barat" itu oleh ibunya diajak pulang ke Beirut. Ia dimasukkan ke sekolah Kolese Maronit, Madrasah Al Hikmah.

Guru Gibran di sekolah itu, pendeta Yusuf Haddad, suatu hari tercengang ketika disanggah Gibran. Ketika itu Haddad berfatwa: "Belajar itu ibarat menaiki tangga, harus memanjat setiap anak tangga." Gibran menukas: "Tidakkah Guru tahu bahwa burung tidak menaiki tangga kalau terbang?" Mendengar kalimat itu, kepercayaan Haddad tumbuh pada Gibran.

Padahal, sebelumnya, ia tak yakin pada murid yang satu ini. Pada pertemuan pertama mereka, Gibran tampil amburadul. Rambutnya gondrong, matanya seperti selalu mengantuk. Lalu Haddad berpesan, "Kau akan menjadi seorang penyair sejati, dan seorang penulis imajinasi. Maka, takutilah Tuhan." Gibran pun makin merapat ke jagat kesusastraan.

Ia mulai rajin menyimak karya-karya Tolstoy, Rousseau, dan Nietzsche. Pada masa itu, sastra Arab sedang meredup. Itulah yang membuat Gibran juga harus membolak-balik lagi silabus sastra Arab. Ia menemukan puisi-puisi penyair sufi yang hebat, seperti Ibnu Sina, Ibnu Arabi, dan Al Farabi. Tapi, Gibran juga membaca karya pujangga Prancis, seperti Victor Hugo.

Pergulatannya dengan dua kutub sastra itu membuat Gibran tampil berani. Ia dijuluki "penulis reformasi", terutama lewat tulisan-tulisannya di buletin sastra Al-Manarah. Tak lama Gibran berada di negerinya. Hanya sekitar tiga tahun kemudian, ia kembali ke Boston. Di kota yang menyimpan masa remajanya itu, Gibran memulai menancapkan kukunya sebagai seniman.

Perkenalan Gibran dengan Selim Dahir, dokter dan penyair, makin membuka wawasannya. Secara kebetulan, putri Dahir, Hala, menaruh hati pada Gibran. Namun, Hala, yang lebih tua dua tahun, harus mengalah. Keluarganya mengharamkan Hala berhubungan dengan Gibran. Kisah asmara ini dikenang Gibran dalam novelnya Sayap-sayap Patah, yang ditulis 13 tahun kemudian.

Pindah ke New York
Dalam Sayap-sayap Patah, Hala disamarkan sebagai Selma Karamy. Novel pandak ini menceritakan ketidakadilan terhadap martabat wanita, yang dipandang hanya dari tirai seksual. Gibran memprotes hal itu, dengan mengisahkan penolakan Selma ketika akan dinikahkan dengan keponakan seorang uskup. Novel yang ditulis di Boston ini terbit pada 1912.

Selama setahun Gibran dibelenggu kesedihan akan kematian ibunya, kakak tirinya, Boutros, dan adiknya, Sultanah, pada 1902. Untung saja, datang surat dari Josephine Preston Peabody, yang dikenalnya dalam sebuah acara pameran foto di Boston, pada 1898. Gibran sendiri, pada usia ke-19 tahun, mulai menampakkan wajah tampan, berkumis, berkulit putih, dengan jidat agak lebar.

Josephine tertarik untuk dekat. Pemuda ganteng itu pun menyambut baik undangan Joshepine, yang berusia 28 tahun. Gibran membawa beberapa lukisan: Love and Hunger dan Consolation. Namun, akhirnya, keduanya memilih jalan sendiri-sendiri. Josephine dinikahi seorang dosen di Harvard, sedangkan Gibran makin tekun menulis, di samping tetap melukis.

Lalu ia bertemu dengan Mary Elizabeth Haskell, kepala sekolah Miss Haskell's School for Girls di Marlborough Street 314, Boston. Kelak wanita ini amat penting peranannya dalam proses kepenyairan Gibran. Kesungguhannya menulis muncul dalam tulisan pertamanya berjudul, Vision (Penglihatan), yang dimuat di surat kabar Emigre di New York.

Sejak saat itu, tawaran untuk menulis mengalir. Ia diminta menulis esai berbahasa Arab dengan honor dua dolar seminggu di majalah Al Mohajer. Bakat Gibran membuat Mary menawarinya ke Paris, untuk belajar melukis. Dan pada 1908, Gibran pun tiba di "kota cahaya" itu. Di sinilah lahir sejumlah karya tulisnya.

Sekitar tiga tahun kemudian, Gibran kembali ke Boston. Namun, ia tak suka lagi pada kota itu, dan memilih pindah ke New York. Di situlah Gibran memulai lagi petualangannya sebagai seorang musafir kesusastraan. Muncullah karyanya Yesus, Anak Manusia, dan ia menerbitkan tulisannya, The Beginning of Revolution, yang menyerang kebengisan Ottoman di Lebanon.

Jas Putih, Topi, Tongkat
Pada 1918 ia menulis kumpulan puisi, Si Gila, dalam bahasa Inggris. Di situ ia mengisahkan "keterasingan" selama 35 tahun dalam kehidupannya. Karya lainnya adalah Prahara dan Setetes Air Mata serta Secercah Senyuman. Tapi, dari semua karyanya, yang dianggap paling monumental adalah The Prophet (Sang Nabi).

Konsep tulisan ini diperlihatkan pertama kalinya kepada Mary Elizabeth Haskell pada 7 September 1920. Untuk Gibran, The Prophet bersifat sangat pribadi. Di situ ia diwakili oleh tokoh Al Mustafa, "... yang tercinta dan terpilih... dialah subuh yang memasuki harinya sendiri." Hingga 1923, ketika bertemu lagi dengan Mary, Gibran mengaku masih menggarap The Prophet.

Tapi, pada akhir September 1923, sebuah buku kecil bersampul hitam muncul di pasar buku New York, dengan harga US$ 2,25. Ketika itu, The Prophet tidak bisa dikatakan sebagai buku yang diharapkan dapat menangkap perhatian publik pembaca. Namun, akhirnya, buku ini justru sangat disukai. Dan Gibran pun kebanjiran pujian.

Dalam sebulan, 1.300 eksemplar cetakan pertama ludes. Menjelang Desember 1937, buku itu terjual 129.233 eksemplar. Selama Perang Dunia II, permintaan buku itu terus melangit. Pada tahun 1957, The Prophet terjual milyaran eksemplar. Buku ini diterjemahkan ke dalam 20 bahasa, dan dinyatakan sebagai buku paling luas tersebar di muka bumi pada abad ke-20.

Gibran sebetulnya mencita-citakan Sang Nabi sebagai bagian trilogi yang akan disusul oleh Kebun Sang Nabi, dan Kematian Sang Nabi. Sayang, ambisinya itu pupus, karena ajal lebih dulu menjemput. Setelah Sang Nabi, ia juga menulis lakon berjudul Lazarus dan Kekasihnya, lalu Si Buta.

The Prophet juga mendesakkan Gibran ke lingkaran selebriti New York. Ia membeli rumah besar di Marlborough Street di Boston, yang diatasnamakan adiknya, Marianna. Utang-utangnya lunas, bahkan ada saldo US$ 3.000, yang diberikan kepada adiknya. Pria ini kemudian diakrabi orang dengan penampilannya dalam stelan jas berwarna putih, topi, dan tongkat.

Ketika Kawah Tertutup
Belakangan, Gibran bingung sendiri dengan keadaannya. Seperti tersirat dalam Pasir dan Buih: "Ketenaran adalah bayang-bayang gairah yang berdiri di bawah cahaya." Acara makan malam, makan siang, dan pesta jadi kebiasaan barunya yang merasuk. Ia tak punya banyak waktu lagi untuk melukis. Ia bersahabat dengan penulis dan seniman yang populer saat itu: John Galsworthy, G.K. Chesterton, dan pelukis Meksiko Jose Clemente Orozco.

Pada perayaan ulang tahunnya ke-46, 1929, Gibran menangis sesenggukan. Pesta itu diadakan di rumah sahabatnya, Jose Orozco. Ketika didaulat membacakan dua karyanya, Si Gila dan Pelopor, Gibran macet di tengah jalan. Ia sadar, mata air kreativitasnya mulai mengering. Kepada sahabat wanitanya, May Ziadah, ia mengatakan, "Aku ini sebuah gunung berapi kecil, yang kawahnya sudah tertutup."

Rasa lelahnya beriringan dengan kesehatannya yang makin memburuk. Foto rontgen menunjukkan pembengkakan hati yang mengancam hidupnya. Ia menjalani operasi besar. Tapi, setelah itu Gibran tak percaya lagi pada pengobatan. Ia tak lagi menggubris persahabatan tubuhnya dengan penyakit. Gibran tetap berkarya.

Kopi dan rokok menjadi temannya. Mengalirlah tulisannya Dewa Bumi dan Sang Musafir. Karya terakhirnya itu makin mengisyaratkan, Gibran memang selalu dilanda kesendirian. Teman-teman wanitanya hanya sebatas tempat mencurahkan isi hati.

"Anak sungai itu telah mencapai laut, dan sekali lagi Ibu Agung itu mendekap putranya erat-erat di dadanya" (Sang Nabi).

Joko Syahban
Majalah Gatra, 23 Oktober 2000