Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pameran Buku: Peristiwa Budaya Atau Peristiwa Dagang?

Sebuah dialog santai terdengar di tepi Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. "Hebat, dalam ekonomi sulit, penerbit Anda makin produktif," kata sang pembuka pembicaraan. Yang dipuji -ternyata editor sebuah penerbitan- menjawab tersipu, "Terima kasih." Orang ketiga menyela, "Hebat apanya? Buku memang banyak, tapi kacangan. Nggak ada yang mencerdaskan."

Ketiganya baru pulang dari mengunjungi "Indonesia Book Fair 1999" di Gedung Istana Olahraga (Istora), Senayan. Pameran tahunan yang diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) itu dibuka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof. Dr. Juwono Sudarsono, 10 September, dan ditutup Ahad pekan lalu. Ini adalah pameran Ikapi ke-20 sejak 1980.

Dialog tadi mungkin menggambarkan wajah industri buku, yang berdiri di atas dua kaki: pragmatisme dagang dan idealisme. Keduanya merupakan keniscayaan yang saling menopang. Dan sayang, di Indonesia, keduanya sering timpang. Idealisme acapkali dikesampingkan, demi pragmatisme dagang. Dalilnya, sebagai industri, penerbitan buku tak mau rugi. Ia butuh kelangsungan hidup.

Sekitar 137 penerbit turut meramaikan pameran. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan pameran tahun 1998, yang hanya diikuti 95 penerbit. Ruas lapangan di dalam gedung, yang tahun lalu dikosongkan, tahun ini disesaki sedikitnya 34 stan. Satu stan rata-rata berukuran 3 x 6 meter, dengan nilai sewa Rp 5,4 juta. Beberapa penerbit malah mengambil lokasi 2-4 kali lipat luas stan rata-rata. Sewanya tentu juga berganda-ganda.

Pengunjung bisa menikmati pameran sepanjang 12 jam, sejak pukul 09.00 hingga 21.00. Lonjakan terjadi pada hari libur, mulai Sabtu siang hingga Ahad seharian. Pada hari biasa, puncak kunjungan terjadi antara pukul 13.00 dan 17.00. Kebanyakan pengunjung berasal dari kalangan pemuda dan remaja. Tapi bagaimanapun, sebanyak-banyaknya pengunjung pameran tahun ini, masih lebih sedikit dibandingkan dengan tahun lalu.

Hal itu diakui sejumlah penerbit besar, seperti Gramedia Pustaka Utama, Balai Pustaka, Mizan Pustaka, Gema Insani Press, atau Remaja Rosdakarya. Kepala Seksi Promosi Gramedia, B. Sugiharta, mengaku tak habis mengerti mengapa jumlah pengunjung menurun. Sedangkan Gunardi, koordinator stan Mizan, menduga sepinya pengunjung karena terhambat oleh ramainya demonstrasi ke Gedung DPR, yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Istora.

Bagi beberapa penerbit, sepinya pengunjung berbanding lurus dengan sepinya pembeli. Hingga hari ketiga pada pameran tahun lalu, misalnya, Gramedia mampu mengeruk omset Rp. 100 juta. Tapi tahun ini, pada hari ketiga, Gramedia hanya mampu mengumpulkan Rp 60 juta. Balai Pustaka dan Mizan juga mengaku, dalam hitungan kasar, volume penjualan mereka menurun.

Namun, bagi Rosdakarya dan Gema Insani Press, ceritanya agak berbeda. Jumlah pembeli mereka malah bertambah bila dibandingkan dengan tahun lalu. "Kami sampai berkesimpulan, daya beli masyarakat kita masih tinggi, kok," kata pengelola stan Rosdakarya, dengan wajah berbinar. "Buktinya, pembeli kami meningkat," ia meyakinkan.

Sayangnya, meski sudah 20 kali menggelar pameran, panitia belum juga menyediakan mekanisme pendataan jumlah pengunjung dan jumlah pembeli. Sehingga besar kecilnya pengunjung hanya berdasarkan "kira-kira". Apalagi data mengenai jenis buku, yang kali ini sangat beragam. Bahkan berlimpah. Banyak penerbit baru bermunculan.

Buku-buku baru juga berebut memajang wajah. Menurut sumber Gatra di Ikapi Pusat, belakangan ini banyak bermunculan penerbit yang bergerak sebagai industri rumahan. Dalam catatan Ikapi Pusat, terbitan tahun lalu mencatat sekitar 2.032 judul buku. Tahun ini, angka itu mencapai sekitar 5.889 judul, lebih dari dua kali lipat.

"Seperti halnya penerbitan media massa, penerbitan buku juga sedang mengalami euforia," kata Dr. Anhar Gonggong, pengamat buku yang berbicara dalam salah satu acara pameran. "Ini gejala menggembirakan, meski belum disertai peningkatan mutu buku," Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud itu menambahkan.

Buku yang paling banyak digemari pengunjung, tampaknya, adalah dari jenis fiksi, sosial-politik, dan agama. Sulit me-nentukan, buku jenis apa yang paling besar peminatnya. Buku laris masing- masing penerbit pun berbeda. Tergantung segmen pembaca masing- masing penerbit. Gramedia, misalnya, mencatat Pemikiran Karl Marx, karya Franz Magnis-Suseno, sebagai buku laris manis.

Mizan lain lagi. Buku mereka yang lancar gebyar adalah Quantum Learning, serta karya-karya Quraish Shihab dan Al-Ghazali. Balai Pustaka memimpin dalam penjualan buku-buku sastra. Sedangkan Gema Insani Press berjaya dalam buku Dajal dan Simbol Setan, karya Toto Tasmara. Rosdakarya, ternyata, mencatat penjualan tinggi untuk buku cerita anak-anak.

Sebenarnya, ada kebekuan rutinitas yang ingin dipecahkan panitia pada pameran 1999 ini. "Kami ingin pameran ini menjadi peristiwa budaya, bukan sekadar toko buku pindah tempat," kata Mula Harahap, Ketua Panitia. Obsesi Mula mungkin layak direnungkan para penerbit. Terutama setelah menyerap kritik dari sejumlah pengunjung.

Mula ingin, pameran menjadi wadah interaksi antara pembaca dan penulis buku. "Mimpi saya, di sebuah stan hadir pengarang buku seperti Amien Rais atau A.S. Hikam, lalu berdialog dengan pengujung," kata Mula. Sehingga masyarakat bisa belajar dan terdorong untuk mengekspresikan pluralitas budaya dalam bentuk tulisan. Jadi cocok dengan tema pameran ini, "Mendorong Pengekspresian Keanekaragaman Budaya di Indonesia".

Demi obsesi itu, sejumlah kegiatan nonpameran digelar mewarnai pameran. Sebelum pameran, misalnya, diselenggarakan sayembara penulisan esai bagi remaja dan pemuda. Ada 12 esai terbaik, yang dibukukan setebal 104 halaman, dan dijual dalam pameran. Selama pameran, ada acara mulai demo melukis anak-anak, sarasehan "Orang Muda, Buku, dan Kreativitas", seminar tiga hari berturut-turut, gebyar musik, lomba dongeng, sahibul hikayat, hingga lomba sepak bola mini, yang membuat pameran nyaris riuh rendah.

Mula mungkin terkesan muluk. Ia tampak agak gerah dengan unsur dagang dalam pameran. "Kalau orang datang ke pameran hanya karena discount, gagal kita," katanya. Kalau itu ukurannya, pameran kali ini memang "gagal". Beberapa pengunjung mengaku datang ke pameran karena, ya discount itu. Bahkan ada mahasiswi yang kecewa, karena harga buku di stan Mizan lebih mahal ketimbang di toko buku di dekat kampusnya. "Mendingan beli di kampus," katanya.

Bagi penerbit pun, menghilangkan unsur bisnis dalam pameran agak sulit diterima. Beberapa penerbit mengaku menjadikan pameran sebagai ajang promosi dan pemasaran. "Kami berpameran ini mengeluarkan uang. Wajar dong kalau kami mencari untung," kata seorang penanggung jawab stan. Diskon, bagi penerbit, adalah satu di antara jurus untuk menarik pembeli. Untuk buku-buku yang juga dijual di toko, discount-nya sebesar 10%-20%. Untuk buku-buku kurang laku, discount- nya mencapai 70%.

Bagi penerbit, pameran juga bukan satu-satunya ajang acara. Misalnya ihwal menghadirkan penulis, untuk berinteraksi dengan pembaca. Gramedia dan Mizan, misalnya, punya agenda sendiri untuk acara seperti itu. Mereka bisa melakukannya melalui acara peluncuran buku, bedah buku, atau diskusi buku. Khalayaknya justru lebih tajam, dan hasilnya pun lebih mangkus.

Mula sendiri sadar, obsesinya sulit terwujud. "Susah, yang mengelola stan lebih banyak dari bagian marketing, bukan produksi," ia mengeluh. Mula berjanji akan mewujudkan idealisasinya itu dalam pameran buku bulan depan, di Yogyakarta. "Nanti itu pameran editor," katanya. "Pameran hanya untuk menjelaskan bagaimana caranya mengarang atau menerjemahkan."

Pameran buku tanpa jualan memang agak sulit dibayangkan. Paling tidak sampai saat ini. Jadi, obsesi untuk menjadikan pameran sebagai peristiwa budaya agaknya tak perlu dipertentangkan benar dengan kenyataan pameran sebagai "toko buku pindah". Keduanya bisa dipersandingkan. Tergantung "keindahan" panitia menggarap pameran. Mula sendiri akhirnya mengaku, panitia belum maksimal mengelola obsesi itu. Nah.

Asrori S. Karni
Majalah Gatra Gatra, 20 September 1999