Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buldanul Khuri: Hantu-hantu Perbukuan Indonesia

Lebih dari sepuluh tahun menggeluti dunia perbukuan, Buldanul Khuri memiliki pengalaman yang layak untuk kita kaji. Berikut ini adalah petikan perbincangan tentang Bentang, penerbit-penerbit Yogya, dan dunia perbukuan pada umumnya.

Dalam kurun waktu empat-lima tahun ini, ada banyak sekali penerbit yang bermunculan di Yogyakarta. Bagaimana Bentang menyikapi hal ini?
Ini adalah sebuah fenomena yang menarik. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1998-1999 diikuti dengan berkembangnya pasar perbukuan. Apakah ini ada hubungannya dengan keruntuhan Soeharto, juga kaitannya dengan menjamurnya penerbit-penerbit kecil di Yogyakarta dan kota-kota lain, perlu ditelaah lebih serius lagi. Bentang sendiri melihat hal ini sebagai fenomena yang menggembirakan dalam perkembangan perbukuan Indonesia.

Bagaimana dengan kritik dan bahkan kecaman yang dialamatkan kepada penerbit-penerbit Yogyakarta, antara lain tentang kualitas terjemahan dan copyright?
Pertama, saya tidak setuju dengan adanya gebyah-uyah, penggeneralisiran, semacam ini. Bahwa Yogya kemudian jadi sorotan utama, ini ada kaitannya dengan jumlah penerbit Yogyakarta yang demikian banyak. Gampangnya, di Yogyakarta ada sekian puluh bahkan seratusan lebih penerbit sedang kota-kota lain cuma memiliki tidak lebih dari belasan penerbit aktif. Jelas bahwa akan lebih gampang mencari dan melihat hal-hal buruk dari sekian banyak penerbit yang ada di Yogya.

Yang lebih penting lagi, perlu dipahami juga apa dan bagaimana penerbit-penerbit kecil di Yogya itu. Kita-kita ini kan sedang belajar. Motivasinya bermula dari keseharian sebagai mahasiswa, aktivis diskusi dan pergerakan, atau pekerja budaya yang banyak bertemu dan mengenal sekian nama penulis dan buku-buku penting; buku-buku sastra, filsafat, buku kiri, agama. Nah, dari sini muncul pemikiran bahwa buku-buku tersebut layak disebarluaskan juga ke masyarakat luas. Yang terjadi kemudian adalah, ada di antara kami yang bisa menerjemahkan dan ada yang memiliki kenekatan untuk menerbitkan. Kalau ternyata buku tersebut direspon baik oleh masyarakat, pendapatannya dijadikan tambahan modal untuk terbitan buku berikutnya, demikian seterusnya. Syukur-syukur bisa mengangsur hutang-hutang. Begitulah….

Akan tetapi, bagaimana dengan kritik dan kecaman yang kemudian muncul tadi? Juga adanya pendapat bahwa buku dengan kualitas yang di bawah standar bisa menjadi sebentuk pembodohan?
Saya percaya bahwa apapun dari buku, tetap ada gunanya. Orang juga mengatakan betapa sejelek-jelek buku, tetap ada manfaatnya. Buku adalah tetap buku, ia tetap bernilai dan dapat diambil manfaatnya. Jadi titik penting yang dijadikan pijakan dari penerbit Yogya ini adalah pada aspek pentingnya tersedia buku di tengah masyarakat. Ya, bisa jadi para penerbit Yogya sendiri memang masih perlu banyak belajar. Dan kami-kami ini memang terus belajar. Masyarakat pun sedang belajar berhadapan dengan buku. Apa yang terjadi di dunia penerbitan kita ini adalah cerminan dari situasi masyarakatnya.

Yang lebih penting adalah bagaimana kita bersikap secara dewasa dan saling membangun, bukan dengan memunculkan serangan dan kritik yang menjatuhkan. Saya sendiri sangat kaget dengan adanya rumor yang mengatakan bahwa sebegitu antipatinya terhadap buku-buku Yogya, beberapa oknum yang menyatakan dirinya intelektual, di Jakarta sana, mencoba menurunkan, merusak display, buku-buku Yogya di rak-rak buku. Ini kan tidak ada bedanya dengan pembredelan dan pembakaran buku, bahkan lebih tidak mutu lagi karena dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

Yang diperlukan sekarang ini adalah kerja. Apa mereka yang merasa lebih baik itu juga bersedia untuk bekerja? Silakan membuat terjemahan yang baik, biar kami-kami ini yang menerbitkan. Jika perlu, mereka juga bisa mendirikan penerbit sendiri lah. Nah, masyarakat bisa punya pilihan yang makin beragam.

Soal copyright?
Oh, iya. Maksudnya copyright buku-buku luar negeri itu, kan?! Saya sendiri dalam hal ini sesungguhnya masih merasa ambigu, bingung. Di satu sisi tidak bersetuju dengan hukum internasional yang penuh muatan kepentingan, terutama kepentingan negara maju. Di sisi lain, ini juga jadi salah satu tahapan keberadaban yang harus dijalani.

Tapi apa yang dikemukakan oleh seorang teman penerbit dalam sebuah wawancara cukup layak untuk dijadikan jawab. Ia mengatakan begini, apa mempermasalahkan copyright lebih penting dari memikirkan bagaimana membuat rakyat punya hobi membaca?

Bagaimana dengan pemerintah? Peran apa yang diharapkan dengan situasi yang demikian ini?
Pemerintah tidak bisa diharapkan apa-apa dalam hal-hal semacam ini. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan kebebasan bagi para penerbit. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, pemerintah lebih baik memastikan bahwa kebebasan ini bisa benar-benar dinikmati oleh masyarakat. Ini yang lebih diperlukan, menjaga agar kebebasan ini tidak dihalangi oleh mereka-mereka yang merasa terancam oleh kebebasan itu. Jadi, jangan sampai terjadi, ada pihak-pihak yang tidak bersetuju dengan wacana yang dimunculkan dalam suatu buku kemudian menyerang secara fisik dan kekerasan, misalnya.

Bagaimana ke depannya? Apa pandangan Anda terhadap Bentang di antara sekian banyak penerbit lain dan berbagai persoalan itu?
Satu bidang yang menurut saya bisa menjadi bom waktu bagi penerbit-penerbit kecil seperti Bentang Budaya dan banyak penerbit lain adalah pola distribusi yang tidak sehat. Bagi kami-kami yang lebih banyak dihidupi oleh kenekatan dan modal minimal, distribusi langsung dan pembukaan cabang atau keagenan di tiap-tiap wilayah adalah sesuatu yang masih jadi impian. Distributor dan agen pemasaran menjadi harapan yang paling mungkin. Akan tetapi, distributor dan agen pemasaran buku adalah benang kusut yang sulit dicari simpulnya. Ada masa ketika mereka menjadi mitra kerja yang saling menguntungkan. Akan tetapi lebih banyak persoalan yang kemudian muncul dari berbagai pola kerja sama yang pernah dicoba dan diterapkan dengan satu distributor dan distributor lainnya.

Di satu sisi asumsi rendahnya minat baca dan daya beli masyarakat masih selalu dijadikan hantu yang menakutkan, yang dijadikan senjata oleh para distributor untuk mempermainkan penerbit; di sisi lain ada kenyataan betapa buku sama sekali belum tersebar secara maksimal menjangkau pembacanya. Fenomena lain adalah betapa ada banyak judul buku yang cukup besar terserap oleh pasar, terlepas apakah karena ditulis oleh artis, promosi besar-besaran, kontroversialitasnya, atau trend tematik yang sedang hangat. Kenyataannya, penerbit-penerbit kecil senantiasa dalam posisi yang dilemahkan. Yang banyak terjadi adalah pembayaran yang selalu mundur atau bahkan tidak terbayar, penipuan dengan cek atau giro kosong, penolakan dan retur buku sebelum waktunya, rabat yang sangat besar, dan berbagai mekanisme distribusi yang tidak memberi ruang bagi daya hidup penerbit-penerbit kecil.

Saat ini, kami, para penerbit kecil Yogya ini, tengah menggodok mekanisme distribusi yang paling memungkinkan dan formulasi yang bisa jadi pegangan bersama dalam berhadapan dengan distributor.

Majalah Matabaca, Vol.1/No.6, Januari 2003