Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Dari Pulau Buru sampai ke Mekah: Sebuah Catatan Tragedi 1965

Judul: Dari Pulau Buru sampai ke Mekah: Sebuah Catatan Tragedi 1965
Penulis: H. Suparman
Penerbit: Nuansa Cendekia, 2006
Tebal: 343 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong

Ada banyak buku sejarah yang mengisahkan tragedi Gerakan 30 September (G-30 S). Kebanyakan buku itu berkisah tentang korban di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Sekalipun tragedi G-30-S tersebut berlangsung dalam waktu yang sama, namun masing-masing wilayah memiliki ciri khas (latar belakang) konflik yang berbeda-beda,-baik secara ekonomi, politik, sosial maupun agama. Sedikit banyak kita sudah membaca kisah G-30-S dari ketiga wilayah itu. Tapi, apakah Anda sudah membaca panjang lebar kisah korban G-30-S di Jawa Barat?

Jika belum, atau baru sedikit informasi yang Anda ketahui, maka buku karya H. Suparman ini akan melengkapi khazanah kita tentang sejarah G-30-S dari Jawa Barat pada umumnya, Bandung pada khususnya. Sekalipun buku ini termasuk otobiografi, namun goresan pena sang penulis tidak terjebak pada subyektivisme. Berbekal ilmu jurnalistik dan wawasan ilmu sosial dan ilmu agama yang memadai, Suparman mampu mengutarakan secara obyektif persoalan-persoalan kehidupannya berhubungan dengan dunia sosial dan politik. Acep Zamzam Noor dalam Kata Pengantarnya mengatakan, “buku ini seperti sebuah novel. Memoar yang ditulisnya dengan puitis mengandung bobot sastra”.

Kutipan agak panjang di bawah ini akan mengantarkan kita untuk memahami latar belakang Suparman menulis buku ini, termasuk memberikan pemahaman kepada kita tentang kenyataan tragis politik Indonesia di masa silam;

“Kalau mau dikatakan dosa, barangkali bagi saya, dosa itu hanyalah karena saya menjadi pimpinan umum dari sebuah surat kabar di Bandung, (Warta Bandung-pen) yang selalu mendukung politik Bung Karno. Lucunya, pada Peristiwa G-30 S itu, satu-satunya koran di Indonesia yang mem-back-out berita Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Letnan Kolonel Untung Samsuri itu, adalah koran yang saya pimpin. Tapi anehnya lagi, saya dan kawan-kawan yang justru menjadi korban penangkapan dan kebiadaban militerisme Soeharto. Saya bersama rekan-rekan redaksi lainnya ditangkap, dijebloskan ke penjara dan akhirnya, saya sebagai pimpinan umum dan Sdr. H Rusman Saleh sebagai pimpinan redaksi dibuang ke Pulau buru tanpa proses peradilan.” (Hlm 26-27) Sejak 20 Oktober 1965, Suparman yang juga adalah Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat itu resmi menjadi tahanan politik Kodam III Siliwangi. Selama 13 tahun ia dipenjara, mendekam di Rumah Tahanan Kebon Waru selama 5 tahun, kemudian dikirim ke Pulau Buru selama 8 tahun -dengan transit di Nusa Kambangan selama 3 bulan.

Penjara dan perpecahan keluarga
Cerita tentang tahanan politik korban G 30 S beserta derita korban, termasuk perilaku sadis militer sudah banyak kita ketahui dari berbagai penjara di berbagai wilayah Indonesia. Anehnya, LP Kebon Waru Bandung yang memiliki banyak keunikan ini nyaris tidak banyak dipublikasikan dalam bentuk buku. Bahkan media massa pun terkesan enggan mengangkatkan sebagai sumber berita. Menurut Suparman, tempat pemeriksaan dan penyiksaan yang paling sadis memang bukan di Kamp Kebon Waru, tapi dari kamp-kamp ilegal yang tidak diketahui secara umum, antara lain di ruang bawah tanah Gedung Merdeka yang terletak di Jl Asia-Afrika. Teman-teman Suparman yang mengalami penyiksaan kejam militer itu menceritakan, sejak tragedi G-30-S 1965, Gedung Bersejarah itu digunakan oleh Angkatan Darat Kodam Siliwangi untuk menyiksa para tahanan; menyetrum tubuh, mencabuti kuku, merusak organ tubuh dengan benda-benda keras. Setelah tahanan dalam kondisi fisik dan mental yang tidak normal, selanjutnya mereka dibawa ke Kamp Kebon Waru.

Kamp Kebon Waru menurut Suparman sangat unik, bahkan tidak tertandingi oleh kamp-kamp pengasingan lain yang ada di Indonesia. Keunikannya, bukan hanya terletak pada tidak diberikannya makanan para tahanan, atau pada kebebasan yang relatif lebih longgar, atau juga bukan karena tiap hari Minggu dan hari libur menjadi pasar kerajinan, tetapi juga digunakan untuk “melepas rindu” suami-istri yang sudah lama berpisah.

Ada beberapa kamar yang bisa disewakan, yang dikelola para tahanan tertentu. Praktek ini bisa berjalan tentu berkat kerjasama petugas keamanan, dengan penjaga, bahkan mungkin dan tentu saja atas restu komandan kamp. Tidak heran kalau kemudian Kamp Kebon Waru sering dijuluki sebagai “surga” tahanan.(hlm 60). Di Kamp Kebon Waru, ihwal perceraian sangat menarik untuk diceritakan, sebab agak berbeda dibanding kisah perceraian dari penjara lain,-setidaknya itu yang saya bandingkan dengan kisah para tahanan di Penjara Cipinang, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tangerang, LP Kalisolok Surabaya,-yang ditulis sahabat saya Drs Wilson (Lihat; Dunia Dibalik Jeruji Penjara; kesaksian perlawanan; Wilson; Resist Book 2005)

“Hampir setiap hari-bezuk ada saja keluarga istri-istri yang membawa lebai (penghulu) untuk meminta cerai kepada suaminya. Mungkin karena pelbagai faktor, terutama karena faktor ekonomi dan biologis”(hlm 81). Kebetulan Suparman juga bagian dari kisah tragis perceraian ini. Ia harus bercerai akibat istrinya selingkuh seorang tentara berpangkat letnan dua. Lebih unik lagi jika kisah perceraian itu dihubungkan dengan dunia luar (sumber penyebab) terjadinya perceraian. Menurut Suparman, (hlm 88), di desa-desa, komandan dan atau anak buah Babinsa dan Koramil-yang mata keranjang- merupakan “hantu-hantu” yang mengerikan, karena selalu bergentayangan di siang bolong mencari mangsa istri-istri tapol. Para istri ini menjadi mudah dijadikan bulan-bulanan militer dengan cara diintimidasi karena suaminya menyandang status pemberontak negara.“Biasanya anggota Koramil “menjarah” istri tapol itu kemudian mencampakkannya kembali. Akibatnya banyak “janda-janda korban Koramil” yang namanya di desa menjadi semakin terpuruk, karena di samping menerima tuduhan telah “mengkhianati” suaminya, juga telah menjadi “sampah” Koramil atau Babinsa. “Di kalangan tapol muncul pameo yang mengatakan, jika seorang tapol yang istrinya minta cerai, disebut sebagai “disambar Hansip” atau “disambar Koramil” (hlm 88).

Dari sunda ke pulau buru
Lima tahun menjadi tahanan Kamp Kebon Waru, Suparman beserta tapol lainnya dibuang ke Pulau Buru,-dengan transit di Pulau Nusakambangan selama 3 bulan. Pulau buru adalah goulaq, tempat pembuangan sekaligus penyiksaan. Menurut Dr Asvi Warman Adam (hlm 4), lebih dari 10.000 orang yang dikategorikan sebagai tapol Peristiwa G-30-S golongan B diangkut dari tempat-tempat penahanan di Pulau Jawa tahun 1969, mereka tidak tahu akan dibawa kemana. Setelah sekitar 10 tahun disiksa dan disuruh kerjapaksa, antara 1978-1979 mereka dipulangkan ke Pulau Jawa karena tekanan internasional terutama pemberian utang Indonesia. Tapi, kepulangan ini bukan berarti bahwa persoalan mereka telah selesai. Keretakan, bahkan pecahnya keluarga, stigmatisasi buruk di masyarakat dan kesulitan mencari nafkah adalah problem utama para tapol.

Melalui buku ini Suparman mampu menuturkan panjang lebar kisah pembuangannya di Pulau Buru serta kisah kehidupannya setelah dikembalikan ke Pulau Jawa. Suparman tidak hanya cerdas merangkai penderitaannya sebagai protes politik, melainkan juga cerdas menyajikan visi kehidupan seorang Muslim dalam menyikapi persoalan hidup. Dari sekian banyak penderitaan yang ia alami, sekian banyak pula kejadian-kejadian di luar logika yang pernah ia alami, termasuk nasib baiknya setelah pulang dari Pulau Buru, perkawinannya yang kedua, serta nasib baik dalam pekerjaannya. Kalau setelah membaca buku ini Dr Asvi Warman teringat pada sosok Haji Misbach, ulama berideologi komunis di zaman pergerakan, saya justru justru teringat pada seorang ilmuan psikoterapi, korban politik Nazi di Jerman, Prof Dr Viktor Frankl yang menulis buku Man’s Search for Meaning.

Baik Frankl maupun Suparman, yang sama-sama pernah mengalami hidup dalam situasi paling buruk; disiksa, dihina dan terasing, tapi mereka tidak frustasi, apalagi mencoba bunuh diri. Derita hidupnya mereka sikapi secara positif dan menjadikan semuanya sebagai makna hidup. Suparman, Komunis, G-30-S, Orde Baru, Islam, Marxisme-Leninisme, Sunda, kawin, cerai, selingkuh telah diaduk sedemikian cakap menjadi ‘adonan kue siap saji’. Buku ini adalah sajian sejarah yang penting untuk dibaca siapapun yang ingin mengenal masa lalu secara obyektif.