Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pembantaian Timor Timur: Horor Masyarakat Internasional

Judul: Pembantaian Timor Timur: Horor Masyarakat Internasional
Penulis: Joseph Nevins
Penerbit: Galang Press, 2008
Tebal: 376 Halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 60.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Timor Timur merdeka dari Indonesia setelah mereka menentukan nasib sendiri dengan referendum 30 Agustus 1999. Kemerdekaan yang berdarah-darah. Puncaknya meledak seusai pengumuman jajak pendapat pada 4 September tahun itu. Bagitu rakyat Timor Timur menyatakan keinginannya melepaskan diri dari belenggu Indonesia selama 24 tahun, kerusuhan massa pecah di mana-mana. Kelompok paramiliter muncul di mana-mana, bikin onar, dan membantai orang-orang yang memperjuangkan kemerdekaan. Sejak itu Timor timur kembali ke titik nol. Tiga tahun kemudian, 20 Mei 2002, ia merdeka. Dengan luka yang menganga tentu saja. Luka itu jelas menunjukkan bagaimana kejamnya perlakuan yang ia terima selama menjadi provinsi termuda di Indonesia. Ia sempat berada di `titik minus` peradaban. Bahkan sempat `hilang` dari jejak kemanusiaan, terusir dari tanahnya sendiri.

Banjir Darah di Timor Timur
Dahulu wilayah Timor Timur sempat menjadi provinsi termuda di Indonesia. Namun, setelah jajak pendapat dan banyak warga yang menghendaki lepas dari wilayah NKRI, Timor Timur akhirnya memilih menjemput kemerdekaannya. Tepat pada 20 Mei 2002 Timor Timur menghibarkan bendera kemerdekaan setelah penyerahan pemerintahan oleh UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor – Pemerintahan Peralihan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur) kepada Kepala Pemerintahan terpilih.

Selepas merdeka, bangsa Timor Timur sedikit bernafas lega. Kebebasan, perdamaian, ketenangan, serta harapan-harapan menatap masa depan mulai terpancar dari wajah-wajah anak-anak bangsa. Namun, sesekali hela nafas mereka diselimuti kecemasan, perasaan takut, serta trauma yang mendalam. Mereka begitu tercekam perasannya ketika teringat peristiwa masa lalu. Darah membanjir, nyawa melayang, jeritan tangis anak-anak dan wanita memecah kesunyian, beribu rumah dibakar, dan beribu orang mencari perlindungan. Timor Timur benar-benar dalam penderitaan. Dan keadaan itu terus berlanjut sampai saat mereka menerobos lorong kemerdekaan.

Tragedi yang begitu pilu dan mengiris jiwa sehingga tak sepatah kata pun mampu mengungkap kegetirannya akan dikupas tuntas dalam buku ini. Buku dengan judul Pembantain Timor Timur; Horor Masyarakat Internasional yang ditulis Joseph Nevins ini adalah sebuah rekaman sejarah yang diperoleh penulisnya lewat penelusuran panjang. Joseph Nevins rela menghabiskan waktunya untuk menelusuri lorong-lorong, gang-gang, serta jalanan lengang di Timor Timur untuk mencatat fakta dan mencari sejarah. Ia juga mendatangi sejumlah rumah, gereja, dan tempat-tempat yang pernah terluka serta melakukan wawancara dengan sejumlah penduduk kampung untuk mencari keterangan. Bahkan tak segan-segan ia menelusuri sumber-sumber data Internasional dari perwakilan PBB yang ada di sana.

Tragedi Berdarah
Semenjak Timor Timur lepas dari cengkeraman Portugis, aroma kecemasan tidak seketika berakhir. Timor Timur harus menghadapi sejumlah agenda kekejaman dari para tentara Republik Indonesia. Terbilang, kekejaman yang paling banyak membawa korban adalah periode September-Oktober 1999. Periode ini adalah masa di mana Timor Timur melakukan jajak pendapat. Awalnya, jajak pendapat dilakukan setelah Presiden BJ. Habibie mengeluarkan sebuah referendum pada 27 Januari 1999. Dalam referendum tersebut BJ. Habibie menawarkan dua opsi yaitu memberikan otonomi khusus atau melepas Timor Timur dari NKRI.

Setelah referendum dikeluarkan, pada 4 September 1999 hasil jajak pendapat diumumkan. Ternyata 78,5% dari 98% rakyat Timor Timur yang memberikan suara, menyatakan memilih merdeka dan lepas dari wilayah NKRI. Hal ini membuat pihak RI kebakaran jenggot. Aksi kekerasan akhirnya terjadi di mana-mana. Terhitung mulai dari pembunuhan, pembumi-hangusan, penjarahan, penyiksaan, pengungsian besar-besaran sampai aksi pemerkosaan banyak dilakukan oleh TNI dan para milisi (pasukan bentukan TNI) terhadap rakyat Timor Timur. Mereka juga sering melakukan pembantaian massal tanpa ampun. Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Timor Timur yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melaporkan setidaknya lebih dari seribu orang pada kurun waktu September-Oktober 1999 yang menjadi korban pembunuhan.

Di awal April dan akhir September 1999, banyak orang Timor Timur mengalami luka akibat serangan milisi, khususnya di wilayah Covalima, Bobonaro, Ermera, Liquiça, dan Dili. Laporan dari FOKUPERS juga menyebut ada 182 kasus pelanggaran hak asasi manusia berdasar gender. Kasus ini meliputi perkosaan, penculikan, dan beberapa kasus perbudakan. Keadaan juga semakin parah ketika 250.000 orang Timor Timur dipaksa diangkut ke Indonesia, sebagian besar ke wilayah Timor Barat. Mereka tidak boleh pulang ke kampung. Jika ada yang membangkang, nyawa siap melayang. Nasib tragis serupa juga menimpa lebih dari 200.000 orang Timor Timur. Mereka dipaksa melarikan diri ke gunung-gunung. Praktis kelaparan segera menjadi jurang maut karena masa itu adalah masa kemarau. Sangat sulit ditemukan makanan alami. Akhirya pelan-pelan mereka pun mati mengenaskan (hal 149).

Timor Timur Setelah Merdeka
Baru pada 20 Mei 2002 rakyat Timor Timur sedikit bernafas lega. Setelah UNTAET menyerahkan pemerintahan Timor Timur kepada Kepala Pemerintahan terpilih, Timor Timur mulai melakukan pembenahan diri. Namun, sampai sejauh itu Timor Timur belum mampu menikmati kebahagiaan. Aroma traumatis serta kepedihan yang mendalam masih menusuk jantung kegembiraan masyarakat. Bekas-bekas penganiayaan, pembunuhan massal, serta porak-poranda rumah-rumah penduduk masih menjadi teror mencekam di malam maupun siang hari. Kondisi ekonomi yang belum stabil menjadikan negeri itu kampung para pengemis yang setiap hari harus mengais rizki dari bantuan kemanusiaan. Luka yang masih menganga ditubuh para korban kekerasan, pemerkosaan, serta penganiayaan juga masih menyisakan trauma berkepanjangan.

Terlebih masyarakat Internasional yang juga tidak sepenuhnya peduli dengan Timor Timur, menjadikan luka di negeri itu bertambah menganga. Masyarakat Internasional ternyata lebih mencari ajang di muka dunia agar disebut sebagai pahlawan penegak HAM dari pada memikirkan nasib Timor Timur. Pada akhir 2002 misalnya, Presiden Amerika Serikat Jimmy Charter mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian. Padahal dialah yang datang ke Jakarta untuk memberikan bantuan pesenjataan serta membantu TNI membunuh puluhan ribu orang Timor Timur pada akhir dasawarsa 1970-an. Lebih parah lagi Australia. Setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, agenda-agenda eksploitasi sumber daya alam dikucurkan dengan lancarnya. Tanpa ada pihak yang menghalangi aksi pencurian itu (hal.281).

Nasib Timor Timur memang begitu Tragis. Semenjak dahulu belum pernah ada kesempatan untuk menikmati sejenak keindahan udara pagi. Setiap hari dan setiap waktu hanya ada tangisan kepedihan yang mengiringi. Kelaparan, gizi buruk, pengangguran, wabah penyakit, masih menjadi makanan sehari-hari mereka. Akankah nasib Timor Timur akan seperti itu selamanya? (Fatkhul Anas)

------

Munculnya ide pelepasan Timor-Timur (Timtim) berawal dari dua opsi yang diajukan Presiden B.J. Habibi melalui referendum pada 27 Januari 1999. Opsi pertama memberi otonomi khusus kepada Timtim, dan kedua pemisahan Timtim dari Indonesia. Rakyat Timtim memilih opsi kedua, karena dinilai sebagai pilihan terbaik setelah mereka merasa disakiti selama 24 tahun oleh Indonesia.
Pada referendum 30 Agustus 1999, Timtim menyatakan merdeka dari Indonesia, hasil referendum diumumkan, dan rakyat Timtim lepas dari kuasa Indonesia. Begitu rakyat Timtim menyatakan keberaniaannya melepaskan diri dari belenggu Indonesia, kekerasan terjadi di mana-mana. Kelompok militer muncul di mana-mana, bikin onar, dan membantai orang-orang yang memperjuangkan kemerdekaan.

Pada masa itu, Timtim kembali ke ''titik nol'', kosong seperti tidak punya sejarah, nyawa manusia banyak tercincang layaknya ayam yang mau dipanggang. Baru tiga tahun kemudian, tepatnya pada 20 Mei 2002, Timtim resmi manjadi negara merdeka, dan mengubah namanya menjadi Timor Leste dengan bahasa resmi Portugal. Dengan meresmikan sebagai negara sendiri, kemerdekaannya diharapkan mampu memberi pencerahan baru terhadap masyarakat Timtim. Namun, kemerdekaan tidak semegah yang dibayangkan sewaktu mempertahankan dengan kucuran darah. Kemerdekaannya justru dirasakan oleh orang-orang di luar Timtim yang sengaja menyeting rakyat Timtim hidup dalam konflik.

Dengan status sebagai ''negara muda'' yang stabilitas politik dan ekonominya masih sangat rentan konflik kepentingan, Timtim terombang-ambing menentukan arah masa depannya. Terlebih bila dikaitkan dengan tragedi masa lalu yang penuh darah dan pembantaian.

Buku ini mencoba memotret gejolak politik kepentingan yang terjadi sepanjang 1999 dan setelah Timtim menentukan hari kemerdekaannya. Kejahatan kemanusiaan yang pernah melenyapkan tanah Lorosae sampai saat ini masih bergentayangan dengan berbagai bentuk. Joseph Nevins, penulis buku ini, memaparkan secara gamblang kekacauan yang terjadi sebagai saksi dari insiden-insiden kekerasan pada 1999.

Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Timor-Timur yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) melaporkan adanya persekongkolan yang menjadi dasar bagi aksi kekerasan yang kemudian terjadi secara sistematis dan meluas. Antara lain adalah gelontaran dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) pemda dan alokasi anggaran rutin pembangunan daerah dan dana jaring pengaman sosial (JPS) untuk membiayai pembentukan dan perekrutan anggota pamswkasrsa. Bukan hanya itu, TNI terbukti juga memasok berbagai persenjataan kepada milisi. Mulai jenis SKS, N-16, Mauser/G-34, granat, pistol, termasuk sejumlah senapan rakitan (hlm. xx)

Dalam catatan Joseph, pada September 1999 TNI dan milisi melakukan sejumlah pembunuhan, pembakaran rumah-rumah, pengusiran secara paksa terhadap warga Timtim yang memilih untuk merdeka dalam referendum yang dilaksanakan PBB. Setelah seperempat abad dalam pendudukan Indonesia, sekitar 1.000 sampai 2.000 warga sipil Timtim terbunuh hanya dalam beberapa bulan sebelum dan beberapa hari sesudah referendum 1999. Sekitar 500.000 orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan lari mengungsi.

Namun, kasus yang paling menonjol dan sampai saat ini masih memberi embrio terjadinya konflik baru, antara lain pembantaian di Gereja Liguica, pembunuhan warga Kailako di Bobonaro, penghadangan rombongan Manuel Gama, eksekusi penduduk sipir di Boronaro, dan penyerangan rumah Manuel Carrascalao. Juga kerusuhan di Dili, penyerangan diosis Dili, penyerangan rumah Uskup Belo, pembakaran rumah penduduk di Maliana, penyerangan kompleks gereja di Suai, dan pembunuhan di Polres Maliana. Termasuk pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes serta pembunuhan rombongan rohaniawan di Lospalos (hlm. xxii)

Joseph merekam sendiri tindak kekejaman yang tidak manusiawi secara langsung di Timtim. Dia berada di tengah kekacauan dan amuk massa pada 1999 itu. Bagi dia, semua tragedi menjadi sebuah pertanyaan dan gugatan reflektif ihwal carut-marut kemanusiaan yang terus terjadi di berbagai belahan dunia.

Bagi Joseph, buku ini menjadi sebuah media kritik dan evaluasi di tengah berbagai tragedi mengenaskan dunia yang terus terjadi tanpa henti. Penulis sadar bahwa tragedi yang terjadi di Timtim tidak bisa dipotret seutuhnya, secara sempurna, tetapi dia melihat bahwa tragedi itu harus disuarakan, agar menjadi keprihatian masyarakat dunia.

Di tengah maraknya tindak kekerasan, buku ini menjadi bahan renungan tersendiri bagi Indonesia. Meski Timtim sudah tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia, sejarah tidak akan pernah melupakan bahwa Indonesia pernah mengobrak-abrik rakyat Timor-Timur.

Buku ini mungkin akan memerahkan telinga para petinggi TNI dan Polri, karena banyak informasi yang menelanjangi sepak-terjang tentara dan polisi selama bertugas di sana. Kejahatan kemanusiaan adalah derita bagi semua orang, dan semua orang bisa merasakan perihnya. (Ainur Rasyid)