Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Bagaimana Buku Bekas Menghidupi Saya

Tulisan di atas pernah saya posting sebagai status di dinding facebook saya, tulisan itu benar-benar mewakili belasan tahun hidup saya dengan buku. Saya menyukai buku sejak kecil, apa pun bisa saya baca termasuk potongan koran atau majalah bekas bungkus kacang rebus atau bungkus cabe belanjaan nenek di kampung dulu.

Saat kecil saya terbiasa membaca buku di mana saja. Kadang saya membaca sambil nangkring di atas pohon, tak jarang juga saya membawa buku ke sawah dan buku itu saya baca dalam gubuk disela kegiatan mencari rumput untuk kambing kakek atau mencari kayu bakar. Saya ingat, buku pertama yang saya beli saat kecil dulu, uangnya hasil menjual binatang tenggiling yang saya tangkap bersama teman-teman. Iya, masa kecil saya dilalui di sebuah desa.

Jika mengingat latar belakang pendidikan saya, agak aneh juga sebenarnya jika saya menyukai buku. Saya berbeda dengan kebanyakan teman-teman yang beruntung menempuh pendidikan formal dengan baik, Saya bahkan tak punya ijazah Sekolah Dasar, satu-satunya pendidikan yang pernah saya jalani adalah menjadi santri selama beberapa tahun di sebuah pesantren di Cirebon. Sisanya berguru pada alam, pada banyak orang.

Ketika menjadi santri itu, bacaan saya pun kebanyakan adalah bacaan umum, saya waktu itu bahkan sama sekali tak punya koleksi kitab, saya selalu memakai kitab bekas yang bertumpuk ditinggalkan para mantan santri yang sudah keluar dari pesantren. Akses bacaan saya hanya sebuah lapak buku di pasar tradisional, lapak itu pun hanya menyediakan Alquran, Juz amma, Iqro, TTS, tasbih, dan...Novel-novel Wiro Sableng! Novel genre cersil inilah yang menjadi koleksi pertama saya, dan novel-novel karya Bastian Tito ini ternyata laris dipinjam sesama teman santri yang mungkin butuh hiburan.

Akses bacaan di kampung sangat sulit, saya pikir masyarakat kampung itu bukan tak suka membaca, tetapi karena memang akses untuk bacaan tidak ada. Orang kampung lebih suka membelanjakan uangnya yang tak seberapa untuk membeli sembako atau hal lain yang lebih penting.

Dengan kata lain, bagi mereka buku adalah `barang mewah. Saya ingat, ketika sudah keluar dari pesantren dan bekerja membantu saudara berjualan di pasar Kanoman, Cirebon, setiap pulang saya selalu membeli buku atau majalah bekas yang dulu ada di depan Mall Cirebon, buku atau majalah bekas itu laris dipinjam oleh para tetangga, setiap mengembalikan buku atau majalah itu, mereka selalu bertanya, “Punya buku apa lagi?”

Ketiadaan akses bacaan ini pula yang membuat saya di kemudian hari berpikir untuk membuka sebuah perpustakaan gratis di kampung. Niat itu sampai sekarang belum terwujud karena ketiadaan partner sepemikiran. Ini adalah hal yang sulit dilakukan. Meski mungkin saya sanggup soal pengadaan buku dan tetek-bengeknya tetapi hal yang paling sulit adalah merawat perpustakaan itu sendiri. Ini bukan hal gampang mengingat saya sendiri saat ini tidak tinggal di kampung halaman. Untuk menebus rasa bersalah karena tak juga bisa mewujudkan cita-cita itu, saya mendonasikan buku-buku pada beberapa perpustakaan rakyat di berbagai daerah, termasuk perpustakaan yang dikelola teman di Cirebon.

Buku sebagai Hobi dan Pekerjaan

Saya bukan orang yang terdidik dengan baik di bangku sekolahan, karena itu satu-satunya cara menyalurkan kecintaan membaca sekaligus menjadikannya sebuah penghasilan adalah berjualan buku.

Pada tahun 2000, saya pernah bekerja dengan Yusuf Agency. Masa-masa bekerja dengan Mas Yusuf itu saya anggap sebuah perkuliahan. Saat itu saya tak pernah berpikir soal uang, saya hanya berpikir bahwa saya sedang kuliah tetapi dibayar.

Bekerja dengan bos obral paling terkenal se-Indonesia ini membuat saya bisa ikut pula berjalan-jalan ke luar kota. Yusuf Agency saat itu belum terlalu gencar menerapkan strategi jualan dengan menggelar bazar dari satu kota ke kota lainnya, apalagi sampai menyeberang ke luar provinsi seperti sekarang.

Masa saya ikut dengan pria asal Surabaya itu sebenarnya adalah sebuah masa gelap bagi Yusuf Agency, hutangnya dimana-mana, tetapi pada tahun yang sama itu pula usaha pria yang ketika marah pun tetap senyum itu perlahan bangkit kembali. Yusuf Agency memenangkan lelang di sebuah toko buku cukup besar, satu truk buku dibawa ke Yogya, Solo, Semarang dan Surabaya. Tak cuma buku yang kala itu dia borong, semua AATK (Alat-alat tulis kantor) pun dia borong dan obral di kolong fly over Kampung Melayu, dan itu laris manis seperti tahu bulat digoreng dadakan. Yusuf mendapat keuntungan hingga ratusan juta saat itu.

Sepanjang yang saya tahu, Mas Yusuf adalah pedagang buku yang pola kerjanya sulit ditiru oleh siapa pun, dia seperti tak punya pusar diperutnya, stamina dan semangatnya di dunia buku sangat luar biasa, saya kira tak ada orang bisa menyainginya. Ketika memenangkan lelang dari toko buku besar itu, dia sampai tak tidur 4 hari.

Sepanjang saya perhatikan, Mas Yusuf jarang tidur. Sebagai anak buahnya, saya kerap kali bekerja tak kenal waktu, dan kami bisa bekerja dari pagi hingga larut malam. Konon, saya dengar Mas Yusuf pernah diboikot ikut pameran, mungkin karena penerbit-penerbit itu merasa gerah dengan aksi obralnya. Saya tidak tahu itu benar atau tidak, jika benar mungkin inilah yang menginspirasi dia untuk bergerak sendiri membuat pameran tunggal di berbagai daerah, kecamatan dan provinsi. Saya harus mengacungi jempol pada orang satu ini, disadari atau tidak dia banyak membantu masyarakat dengan buku-buku murahnya.

Tigabelas tahun kemudian, persis pada acara KBJ (Kampung Buku Jogja) Pertama, saya bertamu ke rumahnya di Yogya. Mantan Bos saya ini sudah cukup sukses, dia tak lagi melapak seperti dulu di bawah fly over Kampung Melayu, dia sudah menempati ruko dua lantai, punya 6 rumah, dan beberapa mobil bagus. Buku yang dimilikinya tentu saja sudah bergudang-gudang banyaknya.

Pada tahun yang sama saat saya keluar dari Yusuf Agency, saya memilih merintis usaha sendiri. Tak ada modal sama sekali saat itu, saya hanya membawa buku dan majalah bekas dari rumah orang tua dan menggelarnya di emperan stasiun. Setelah mendapat sedikit uang dari penjualan, saya kerap pergi ke lapak-lapak rongsokan, saya membeli buku dan majalah-majalah bekas di sana lalu menggelarnya lagi di tiap emperan stasiun KRL Jabodetabek.

Pada masa itu, peron stasiun KRL masih bisa dipakai berjualan. Ini adalah masa-masa yang tak akan saya lupakan, masa ketika saya harus bergerilya dari emperan stasiun ke emperan stasiun lainnya, sebuah masa ketika kadang kau harus berjibaku dengan begitu banyak persoalan yang terjadi di jalanan, preman-preman atau penertiban. Tetapi pada masa-masa sulit itulah sebenarnya saya percaya karakter manusia teruji dan terbentuk.

Sambil berjualan buku di tiap emperan stasiun itu, tentu saja saya tak berhenti membaca. Bacaan kegemaran saya adalah sastra. Jika pada masa kecil hingga remaja saya hanya membaca novel picisan, saat itu bacaan saya mulai berkembang ke aliran yang lebih serius. Saya membaca karya-karya Pram, Mochtar Lubis, dan banyak karya sastra dunia.

Selain membaca, saat itu sambil nongkrong jualan saya juga rajin sekali menulis, kebanyakan menulis cerpen. Lucunya, cerpen saya saat itu pernah diminta oleh mahasiswa untuk dimuat di jurnal mereka, saya lupa dia mahasiswa mana, tapi saya merasa lucu, kok tulisan saya dimuat jurnal mahasiswa sementara saya sendiri tidak pernah menjadi mahasiswa.

Di emperan stasiun itu pula kemudian saya berkenalan dengan banyak seniman, termasuk Hamsad Rangkuti. Dulu banyak sekali orang yang betah nongkrong berlama-lama di lapak buku saya, termasuk para perempuan jelita, dan Hamsad Rangkuti adalah salah satu yang kerap duduk dan ngobrol di lapak saya di Stasiun Pasar Minggu itu. Saya suka dengan penampilannya di Taman Ismail Marzuki ketika membacakan cerpen “Lagu di atas Bus”, Hamsad membaca cerpennya secara teatrikal sekali.

Di Stasiun Pasar Minggu itu pula selama setahun saya tinggal, mirip gembel, saya tidur di sebuah warnet bersama banyak teman. Tak jauh dari Stasiun Pasar Minggu, ada studio terletak di tepi kali Ciliwung. Di studio itu tinggal beberapa seniman termasuk  penyair Widodo Arumdono, Geger sang mantan wartawan, juga almarhum Mehong. Yang terakhir ini seorang musisi yang kadang aktif di teater.

Di Studio itu saya mengetik naskah teater yang kemudian sukses dipentaskan sebanyak dua kali, dan di pementasan itu saya tidak hanya sebagai penulis naskah, tetapi belakangan malah menyutradarai sekaligus ikut main. Teater bukan dunia saya, dulu saya hanya menanggapi tantangan seorang teman saja. Saya lebih suka menjadi pedagang yang senang dengan dunia seni dan menulis.

Memasuki Era Jualan Online

Ketika berjualan di emperan-emperan stasiun, saya sudah berpikir akan sampai kapan saya berjualan “ngelapak” seperti itu? Saya sudah membayangkan bahwa dikemudian hari semua pedagang-pedagang di tiap peron Stasiun tentu akan dibersihkan. Dulu sama sekali belum ada isu penggusuran, tetapi entah mengapa saya sudah membayangkan hal itu. Pikir saya, cepat atau lambat seiring berkembangnya zaman dan tekhnologi tentu akan ada perbaikan, akan datang suatu masa semua stasiun bersih dari pedagang.

Indonesia akan meniru sistem mengelola perkereta-apian seperti di luar negeri. Hal ini benar-benar terjadi dengan diterapkannya sistem karcis dan pintu masuk elektronik yang diikuti dengan penggusuran seluruh kios dan pedagang di tiap stasiun. Saat itu tentu saya berpikir keras bagaimana caranya bisa memulai usaha sementara modal tak ada. Menyewa kios sangat mahal, belum lagi urusan tetek bengeknya. Sementara saya sudah bosan berurusan dengan para preman di jalanan. Orang mungkin berpikir bahwa pedagang-pedagang kaki lima yang berjejalan di tiap keramaian seluruh jakarta itu berjualan secara gratis, padahal itu salah besar, para pedagang itu membayar uang keamanan, retribusi, kebersihan. Dll.

Uang keamanan ini ditarik bukan cuma oleh satu kelompok saja, sering kali ada banyak kelompok. Lapak-lapak kaki lima juga sering kali diperjual-belikan oleh para preman. Jika anda melihat pedagang kaki lima yang selalu menempati tempat yang sama di sebuah keramaian, kemungkinan besar pedagang itu membeli lapak tersebut dari preman. Lapak itu tak bisa ditempati pedagang lain selain sang pemilik lapak yang sudah membelinya. Saya mengalaminya sendiri, bahkan pernah menyewakan lapak saya pada pedagang lain dan pernah juga menjualnya dengan harga tiga kali lipat dari pertama saya membelinya. Jual beli semacam itu tentu saja melibatkan preman setempat.

Dalam kondisi memikirkan masa depan berjualan tadi, saya kemudian tertarik pada internet. Seperti saya ceritakan di atas, saya tak pernah sekolah, tak paham komputer, tapi saat itu saya memberanikan diri masuk ke sebuah warnet dan meminta operator warnet membuatkan email. Ketika itu saya sama sekali belum tahu tentang jualan di dunia maya, saya meminta dibuatkan email tadi hanya untuk bisa belajar chatting di MIRC dan Yahoo Messenger!

Kejadian itu seingat saya sekitaran tahun 2006. Saya hampir tiap hari nangkring di warnet hanya sekedar untuk  ber “ha..ha..hi..” dengan orang-orang di ruang chat Yahoo. Saya adalah orang udik yang takjub dengan kecanggihan teknologi, “Kok ya bisa orang berkenalan dan berbicara dengan orang dari negara lain hanya dengan duduk manis saja, bisa bertatap muka dengan webcam dan Voice Messenger, ini adalah sebuah keajaiban..” Begitu pikir saya waktu itu, manusia tak berpendidikan dan udik ini.

Masa itu adalah masa sebelum Facebook lahir. Hampir setahun saya sering berada depan komputer warnet, saya mulai bosan chattingan. Bayangkan, kegiatan saya di warnet itu benar-benar cuma chatting dan cari kenalan cewek, kalau pun ada hal sedikit keren yang saya lakukan saat itu, itu tak lain adalah mengutak-atik tampilan Friendster, benar-benar kurang kerjaan, hahaha...

Iya, memang, tapi saat itu saya tak sadar bahwa kegiatan itulah kemudian yang mengakrabkan diri saya dengan dunia maya, lalu secara tak sengaja mulai berjualan online. Kemudian saya berpikir, selama ini saya membuang uang hanya untuk iseng main internet, lalu kenapa saya tidak bisa mendapat uang dari internet?

Berawal dari kejenuhan itu, saya iseng membuat blog, saya pelajari semua secara otodidak, blog itu saya beri nama Stasiun Buku Online yang kemudian saya singkat menjadi STALINE.

Saya memposting buku-buku di blog itu. Pada bulan pertama dan bulan kedua tak ada yang menyentuh, mungkin karena memang bukunya masih sangat sedikit, lagi pula buku yang saya posting itu adalah buku-buku motivasi. Bulan ketiga barulah saya mendapat pembeli, dari situlah saya mulai bersemangat untuk serius berjualan online. Saya benar-benar tak punya uang untuk modal usaha, saya putar otak menyiasatinya dengan mengajak teman yang memiliki beberapa kios buku untuk bekerja sama. Saya memfoto buku-buku di kiosnya lalu saya unggah di blog, bukunya sendiri tidak saya beli. Buku itu baru saya beli ketika sudah fix ada orang yang memesan. Lumayan, banyak juga yang laku. Uang hasil menjual buku itu saya belikan buku lagi, laku satu saya beli buku satu, laku dua saya beli buku dua, begitu seterusnya.

Jadi saya dulu tak membeli buku yang saya unggah di blog, melainkan hanya memfoto buku-buku milik kawan saya saja. Resikonya, jika ada yang berminat pada buku yang dipajang di blog, saya harus pontang-panting mengecek stoknya di kios teman yang lokasinya cukup jauh.

Menyikapi masalah itu, saya mulai mengumpulkan stok buku sendiri. Karena tak ada modal tadi, saya pun mengumpulkan buku dari hasil menjual buku secara pelan-pelan saja di kamar kos. Satu persatu buku saya kumpulkan hingga mencapai satu rak cukup besar. Saya ingat, seorang penulis, Anton Kurnia, pernah datang ke kamar kos itu untuk membeli buku. Mungkin saat itu dia mengira saya punya toko.

Kemudian saya mulai berpikir untuk membeli laptop, itu karena saya mulai letih setiap hari harus pergi ke warnet. Sering kali saya bekerja sepanjang malam hingga pagi di warnet mengotak-atik blog atau mengunggah buku. Saya memilih malam hari karena pada jam 12 malam, di warnet langganan ada paket malam, dari jam 12 malam sampai jam 7 pagi hanya Rp.10.000.

Harga laptop sangat mahal, saya memilih bersabar dengan lebih dulu memperbanyak stok buku. Saya baru bisa membeli laptop ketika ada seorang pejabat (saat ini wakil ketua DPR RI) membeli buku saya dengan nominal lumayan besar. Untuk menarik pengunjung blog, saya pun mulai jualan di beberapa milis buku yang ada, rating kunjungan blog STALINE seingat saya mulai cukup ramai, dalam sebulan blog itu dikunjungi sekitar 2000 kali.

Stok buku semakin banyak, akhirnya saya memutuskan mengontrak rumah  khusus bekerja dan menaruh buku di situ. STALINE pun kemudian punya karyawan untuk membantu pekerjaan. Nama STALINE lima tahun kemudian saya ganti menjadi kardusbuku.com. Sebuah nama yang aneh, nama itu saya dapat dari membuat sayembara, dari sekian nama yang diajukan, nama KARDUS BUKU adalah nama yang paling jelek, dan saya memilihnya. Nama itu iseng ditulis Irwan Bajang pada komen sayembara di facebook itu. Pergantian nama memang harus saya lakukan karena banyak sekali orang menyangka saya adalah pengagum Stalin, disangka simpatisan kiri dan lain sebagainya, saya agak terganggu, padahal nama itu hanya sebuah akronim saja.

Stok buku yang saya kumpulkan satu persatu itu, saat ini sudah menjadi 12 rak berukuran besar. Seingat saya tahun 2013 ketika dihitung total buku tersebut mencapai 12.000 eksemplar. Lumayan. Saya berharap kelak punya sebuah lapak buku yang asyik, ada ruang dan kursi untuk ngopi, ngobrol sesama pecinta buku. Kelak saya harus mewujudkannya. Buku telah memberikan banyak hal, teman, sahabat, sedikit uang untuk hidup, juga cinta.

Emrudy, Pecinta buku dan jalan-jalan 

www.pocer.co