Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Adam dan Puisi Pertama di Muka Bumi

Pembahasan mengenai kapankah puisi pertama ditulis mungkin bukan pembahasan yang menarik, jauh lebih tidak menarik daripada meributkan pemeran Minke dalam film, akan tetapi hidup di dunia ketiga yang seringkali masih nampak canggung dalam tradisi bahas-membahas, mau tak mau kita musti terbiasa meyakini ini: bahwa apa yang tidak menarik dibahas belum tentu tidak penting, apa yang ramai-ramai diributkan belum tentu penting.

Salah seorang sastrawan Indonesia yang pernah membahas hal ini adalah Yapi Tambayong (2012: 12). Ia mengatakan bahwa susastra paling tua dalam bentuk puisi adalah madah ratapan atas kematian Tammuz, dewa gembala, yang disusun oleh orang Sumeria dan kemudian dilanjutkan dengan epik Gilgamesh.

Sementara itu, dalam literatur Arab ditemukan juga kisah yang bersumber dari cerita lisan bahwa Adam yang dirujuk sebagai manusia pertama dikatakan melisankan puisi pada saat kematian putra pertamanya Habil. Jika memang benar demikian, maka bisa dikatakan itulah puisi pertama yang diciptakan manusia, karena epik Gilgamesh diperkirakan ditulis tahun 2300 SM (Cook, 2008: 265) sementara dengan merujuk pada tabel yang disusun oleh William Smith (2002: 774), kematian Habil diperkirakan terjadi pada tahun 3875 SM.

Selain penting sebagai bagian dari ranah filologi, maka menarik juga untuk melihat seperti apa sebenarnya puisi pertama yang diciptakan manusia di bumi ini. Selain Adam, dikisahkan juga bahwa dua tokoh lain menyusun puisi juga sebagai tanggapan: Hawa sebagai istri Adam, Iblis sebagai simbol sumber tipu-tipu yang menyebabkan keduanya terusir dari taman surga. 

Puisi-puisi Lisan

Puisi lisan lahir dari tradisi lisan (oral tradition), hal itu untuk membedakannya dengan jenis puisi yang tidak cocok untuk dibaca lantang di panggung dan hanya cocok untuk dibaca dalam kontemplasi sendirian. Dijelaskan oleh Cuddon (1999: 617) bahwa puisi yang lahir dari tradisi lisan merupakan jenis puisi yang “mendahului puisi yang ditulis”. Puisi lisan biasanya dinyanyikan dan seringkali dengan diiringi musik.

Sementara itu, berdasarkan teori Parry dan Lord sebagaimana dibahas dalam Teeuw (295-299), ada beberapa kriteria yang bisa ditemukan dalam puisi lisan: pertama, adanya berbagai variasi, kedua, metode pembuatannya adalah dengan penciptaan ulang, bukan hafalan, dan ketiga, adanya skema matra yang ketat, termasuk menyangkut suku kata dan caesura (jeda penggal).

Poin pertama. Puisi Adam, Hawa, dan Iblis bisa ditemukan dalam qisas al-anbiya’ (kisah-kisah para nabi)1. Qisas al-Anbiya’ merupakan suatu genre tersendiri dalam literatur islam yang bisa ditemukan dalam empat bentuk: hadits nabi, tafsir Alquran, tarikh (misalnya tarikh At-Thabari), dan suatu kompilasi khusus qisas tersebut misalnya dua yang paling terkenal susunan Ath-Thalabi dan Al-Kisa’i (Meisami, 1998: 465).

Karya Ath-Thalabi (diperkirakan meninggal 1035 M) berjudul Ara’is Al-Majalis fi Qisas al-Anbiya’ (artinya secara literal pengantin-pengantin wanita dalam pembahasan kisah para nabi). Meskipun demikian, dalam catatannya Walid A. Saleh (2003: 50) mengatakan bahwa tidak ada penjelasan yang pasti tentang judul karya ini karena tidak ada karya yang mengkritisi khusus hal tersebut. Meskipun karya Ath-Thalabi bukanlah karya pertama2 yang membahas perihal kisah para nabi akan tetapi gaya penulisannya yang sistematis menjadi model bagi banyak karya terkemudian.      

Karya Al-Kisa’i (diperkirakan hidup antara 250-350 H) berjudul Qisas al-Anbiya’ Alaihim al-Salam sebagaimana tercantum dalam edisi pertama dalam Bahasa Arab pada tahun 1923 di samping judul dalam bahasa Jerman Vita Prophetarum. Meskipun demikian, Bunder Fayhan al-Zayedi dalam penelitiannya, sebagaimana juga Brinner (Meisami, 1998: 453) menyebut judulnya sebagai Kitab Bad’u (Khalq) al-Dunya wa Qisas al-Anbiya (Buku tentang Penciptaan Dunia dan Kisah Para Nabi).  

Satu sumber yang lain yang juga bisa disebutkan adalah karya Ibn Katsir (1300-1373 M) yang berjudul Al-Bidayah wa al-Nihayah. Karya ini disebutkan sebagai sebuah penolakan atas gaya para pencerita qisas yang diwakili oleh Ath-Thalabi dan Al-Kisai. Keduanya dianggap sebagai memasukkan terlalu banyak kisah israiliyat (kisah yang bersumber dari Bani Israil, mencakup juga kisah yang bersumber dari Injil) dan pada kasus Al-Kisai gaya penceritaannya lebih merupakan padanan dari cerita rakyat dengan sumber yang tak dijelaskan. Karena itulah, meskipun menggunakan struktur yang sama dengan Ath-Thalabi, ada banyak perbedaan dalam detail penceritaan qisas versi Ibn Katsir dengan versi kedua penyusun sebelumnya3.

Pada ketiga sumber ini ditemukan perbedaan pencantuman puisi Adam. Dalam versi Ath-Thalabi, puisi Adam dicantumkan sebanyak tujuh baris Hemistich disertai dengan keterangan mengenai bantahan Ibn Abbas tentang Adam mengucapkan puisi. Selain puisi Adam, dicantumkan juga kemudian tanggapan Hawa dalam bentuk puisi sebanyak tiga baris Hemistich, dan tanggapan Iblis dalam bentuk puisi sebanyak empat baris Hemistich.

Sementara itu, dalam susunan Al-Kisai, dicantumkan tiga baris hemistich puisi Adam. Baris pertama dan kedua sama dengan versi Ath-Thalabi sementara baris ketiganya berbeda. Tidak ada ditemukan puisi tanggapan Hawa ataupun Iblis setelahnya.

Kemudian, dalam susunan Ibn Katsir, dicantumkan dua baris hemistich puisi Adam dan dua baris hemistich puisi Hawa. Dua baris puisi Adam sama dengan yang ditemukan pada versi Ath-Thalabi dan Al-Kisai akan tetapi dua baris puisi Hawa berbeda dengan yang ada dalam susunan Ath-Thalabi.

Puisi Adam versi Ath-Thalabi dalam terjemahan Indonesianya sebagai berikut:

Telah berubah bentang daratan dan manusia di atasnya

Muka bumi nampak berdebu dan buruk rupa

Telah berubah semua cita rasa dan wewarna

Surut sudah sekarang senyum di wajah yang manis rupa.

Qabil telah membuat Habil merasakan kematian

O betapa sedih kita berdua karenanya! Telah hilang kini si rupawan

Bagaimana bisa tak kucucurkan air mata sebanyak-banyaknya

ketika Habil dipeluk oleh kuburnya.

Air mataku membakar seperti nyala api, berbarengan dengannya

Ratapan memekik keras untuk Qabil dan Habil

Putra sang Nabi sudah dibunuh tanpa kesalahan laku

Dan hatiku terluka karena pembunuhannya itu.

Di samping kita mata yang tak pernah berakhir mengamat,

Seorang musuh yang tak pernah mati, karenanya kita tak bisa istirahat.

Versi Al-Kisai:

Telah berubah bentang tanah dan manusia di atasnya

Muka bumi nampak berdebu dan buruk rupa

Telah berubah semua cita rasa dan wewarna

Surut sudah sekarang senyum di wajah rupawan.

Qabil telah membunuh Habil saudaranya

O menyedihkan sungguh! (terjadi semacam ini) atas wajah manis rupa.

Versi Ibn Katsir

Telah berubah bentang tanah dan manusia di atasnya

Muka bumi nampak berdebu dan buruk rupa

Telah berubah semua wewarna dan cita rasa

Surut sudah sekarang senyum di wajah rupawan.

Puisi Hawa versi Ath-Thalabi dalam terjemahan Indonesianya sebagai berikut:

Tinggalkanlah laku mengeluh karena keduanya

Telah mati tanpa harga yang sepadan

Apa yang diberikan cucuran air mata bagi mereka

yang berkabung ketika orang dibawa ke pekuburan?

Maka aku berkabung atas jiwa dan menolak cinta akannya

Karena kau tak akan hidup kekal setelah pembunuhan ini.

Versi Ibn Katsir

O bapak Habil, telah terbunuh semuanya

Yang hidup telah menjadikan yang mati terbunuh

Kejahatan semacam itu menarik datang

Rasa takut yang membuatku menjerit lantang

Puisi Iblis versi Ath-Thalabi dalam terjemahan Indonesianya sebagai berikut:

Tinggalkan tanah ini dan penghuninya,

Sungguh, luas tetaman surga menyempit karenamu

Kau tinggal di sana bersama pasanganmu, hidup makmur,

Hatimu tenang dari segala kesakitan dunia.

Sungguh intrik dan muslihatku tidak bakal hilang

Sampai hilang darimu harga yang bernilai.

Jika bukan karena kemurahan hati Yang Maha Perkasa

Surga hanya tersisa untukmu sekadar aroma.

Poin kedua. Dalam kitab yang disusun oleh Ath-Thalabi diketengahkan bantahan tentang bahwa puisi tersebut dibuat oleh Adam dengan alasan bahwa Adam berbangsa Suryani sementara puisi itu sampai kepada kita sekarang dalam Bahasa Arab. Masih dalam kitab yang sama kemudian dicantumkan penjelasan tambahan bahwa setelah menyusun ratapan tentang kematian Habil, Adam berkata pada Syits untuk melisankan puisi tersebut secara turun temurun sebagai suatu warisan. Kemudian ketika sampai ke Ya’rab bin Qathhan bin Hud4, yang menguasai bahasa Suryani dan Arab, dialah yang kemudian menggubahnya dari jenis prosa berima menjadi suatu puisi (Thalabi, 2009: 44).

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa penyusun ketiga puisi tersebut dalam bahasa Arab adalah satu orang yaitu Ya’rab bin Qathan. Hal ini nampaknya yang menjadi alasan mengapa kemudian ketiga puisi itu memang memiliki pola yang sama. Apa yang dilakukan oleh Ya’rab bisa dikatakan merupakan satu metode penerjemahan. Setiap penerjemahan tentu mengandung aspek subjektif penerjemah. Meskipun demikian, sebagaimana dicatat juga oleh Ath-Thalabi, penerjemahan tersebut sama sekali tidak mengurangi makna dari puisi yang disusun.

Poin ketiga. Berhubung merupakan puisi awal yang lahir sebelum konsep prosodi puisi Bahasa Arab lahir, maka meski ketiganya ditulis dalam bahasa Arab akan tetapi ketiganya tak bisa dimasukkan ke dalam kategori struktur prosodi manapun dalam puisi Arab.  Satu hal yang penting untuk dilihat dari struktur ketiganya adalah adanya kemiripan dalam bentuk diksi yang dipilih di akhir tiap hemistich5.

Dalam susunan Ath-Thalabi (catatan kaki. 2009: 44) disebutkan bahwa semua puisi yang berhubungan dengan kisah Qabil6 membunuh Habil telah berubah (munhawal). Mereka yang meriwayatkan puisi-puisi tersebut tidak mengetahui puisi, foot (wazan), ataupun rima (qafiyah). Meskipun demikian, bertentangan dengan penjelasan Ath-Thalabi, dalam kitab susunan Ibn Katsir disebutkan7 bahwa puisi tersebut menggunakan bahr (matra) kamil.

Dalam praktiknya, sangat tidak pas mengkategorikan puisi tersebut sebagai puisi yang disusun menggunakan bahr kamil. Baris pertama (arudh) dari hemistich tersusun dari tiga feet: mufa’alatun mufa’alatun fu’ulun yang sama sekali bukanlah formula bahr kamil melainkan formula salah satu arudh bahr wafir. Akan tetapi baris keduanya (dharb) tersusun dari tiga feet: fu’ulun fa’ilatun fa’ilun atau fu’ulun fa’ilatun fa’ilan yang sama sekali tak memenuhi syart dharb untuk bahr manapun.

Dalam pembahasannya mengenai puisi Arab klasik, Roger Allen (2003: 85-119) menyodorkan tujuh jenis puisi berdasarkan bentuknya: madih (eulogy, panegyric),  Hija’ (lampoon, satire, invective), ritsa’ (elegy), wasf (description), ghazal (love poetry), khamriyyah (wine poetry), tardiyyah (hunt poetry), dan zuhdiyah (homiletic poetry). Berhubung ketiga puisi tadi ditulis dalam bahasa Arab, maka meskipun tidak bisa diklasifikasikan berdasarkan meter puisi Arab, akan tetapi tetap mungkin mengklasifikasikannya berdasarkan jenis puisi arab klasik, karena klasifikasi jenis puisi lebih fleksibel dan luas.

Jika dilihat dari bentuknya, maka puisi Adam bisa dikategorikan sebagai puisi ritsa atau elegi. Elegi dikenal juga sebagai lament, puisi jenis ini biasanya merupakan puisi yang subjeknya adalah kematian, perang, cinta, dan tema semacamnya (Cuddon, 1999: 253). Subjek tersebut dihubungkan dengan situasi berkabung. Sementara itu, puisi Hawa yang menanggapi Adam merupakan jenis puisi hiburan. Cara menghiburnya dilakukan dengan memberikan tekanan pada kenyataan bahwa kematian sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Tema semacam itu merupakan sifat dari puisi zuhdiyah (Allen, 2003: 119). Sementara itu, puisi yang dikemukakan oleh Iblis yang merupakan tangggapan terhadap keduanya merupakan jenis puisi lampoon atau ejekan. Nampak jelas dari isi puisi yang meremehkan keduanya dengan cara mengejek.   

Selain daripada itu, ketiga puisi yang dibuat oleh Adam, Hawa, dan Iblis itu merupakan jenis puisi yang saling menanggapi. Lebih tepatnya Hawa menanggapi Adam dan Iblis menanggapi keduanya. Berdasarkan isinya, maka puisi ketiganya bisa dikategorikan sebagai puisi dramatik atau puisi tamtsili. Dengan kata lain, jika dikategorikan berdasarkan bentuknya, maka ketiga puisi tersebut memiliki klasifikasinya sendiri-sendiri, sementara ketika dipandang sebagai satu kesatuan, maka ketiganya bisa dikategorikan sebagai puisi tamtsili karena adanya bentuk saling menimpali antara ketiga pelaku yang merupakan ciri khas puisi jenis ini (Hamid, 1995: 68).

Akan menjadi hal menarik untuk menelaah puisi-puisi lisan yang disematkan pada Adam, Hawa, dan Iblis tersebut dengan menggunakan teori sastra tertentu, misalnya Psikoanalisis. Dari sudut pandang teori ini konten puisi Adam dan Hawa bisa dikatakan mewakilli pandangan manusia tentang kematian orang yang mereka cintai. Sementara konten puisi Iblis menunjukkan represi sebagai satu mekanisme defensif dalam hubungannya dengan manusia dan Tuhan.

Berhubung tulisan ini hanya uraian singkat, semacam perkenalan akan puisi sebagai wujud sastrawi yang lahir pertama-tama dari geliat lisan, maka, sayangnya, pembahasan dan penjelasan yang lebih lanjut adalah pokok bahasan kali lain. Seperti tadi dikatakan di awal, masa-masa kini kita toh lebih suka membahas hal menarik ala literasi dunia ketiga yang minder akibat penis envy tapi berusaha menutupinya dengan berlagak penting yang sayangnya gagal pula sehingga justru malah membuatnya nampak kian canggung seperti pria bercelana warna-warni mencolok sebanyak 3 lapis dengan panjang berbeda-beda. Much ado about nothing: ribut-ribut soal receh.    

    

Referensi

Al-Kisai. 1922. Qisas al-Anbiya Alaihimussholatuwassalam. Leiden: Brill.

Allen, Roger. 2003. An Introduction to Arabic Literature. New York: Cambridge University Press.

Ath-Thalabi. 2009. Qasas Al-Anbiya: Al-Musamma ‘Arais al-Majalis. Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiah.

Cook, James Wyatt. 2008. Encyclopedia of Ancient Literature. New York: Facts on File, Inc.

Cuddon, J.A. 1999. The Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory. London: Penguin Books.

Hamid, Mas’an. 1995. Ilmu Arudl dan Qawafi. Surabaya: Al-Ikhlas.

Ibn al-Atsir. 1987. Al-Kamil fi al-Tarikh. Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiah.

Ibn Katsir. 2009. Qasas al-Anbiya. Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiah. 

Iyas, Muhammad bin Ahmad bin. Tt. Badaiuz Zuhur fi Waqai’id Duhur. Surabaya: Al-Haramain.

Meisami, Julie Scott and Paul Starkey (ed.). 1998. Encyclopedia of Arabic Literature. London: Routledge.

Saleh, Walid A. 2003. The Formation of the Classical Tafsir Tradition: the Qur’an Commentary of Ath-Thalabi. Leiden: Brill.

Smith, William. 2002. Smith’s Bible Dictionary. Massachusetts: Hendrickson Publishers, Inc.

Tambayong, Yapi. 2012. 123 Ayat tentang Seni. Bandung: Nuansa Cendekia.

Van Donzel, E.J. 1994. Islamic Desk Reference. Leiden: Brill Academic Publishers.

 

Catatan:

1. Qisas al-Anbiya’ terkadang disebut juga sebagai Qasas al-Anbiya’. Ketika dibaca qisas maka posisinya menjadi bentuk plural dari qissah bermakna cerita. Sementara ketika dibaca sebagai qasas maka posisinya menjadi verba yang bermakna menceritakan. Di Indonesia sendiri genre qisas merupakan genre yang populer untuk dikaji di pesantren-pesantren tradisional meski tidak sepopuler fikih, teologi, dan tasawuf. Biasanya kitab-kitab bergenre ini digunakan sebagai bagian dari bahan pengajian mingguan yang lazim diikuti oleh orang-orang tua atau oleh para mubaligh dengan tujuan memikat pendengar supaya tidak merasa bosan dan pada saat yang sama juga bisa mengambil pelajaran dari dalamnya. Dua kitab yang paling terkenal di kalangan pesantren klasik di Indonesia adalah Ara’is al-Majalis-nya Thalabi dan Badaiuz Zuhur, sebuah risalah ringkas yang sering dinisbatkan kepada sejarawan Muhammad bin Ahmad bin Iyas al-Hanafy. Badaiuz Zuhur sendiri banyak mengutip Thalabi dan Kisai sehingga bisa dikatakan bahwa kitab ini hanya ringkasan yang diambil dari dua kitab terdahulu. Kitab ini juga memuat puisi Nabi Adam dengan redaksi yang sama persis dengan yang bisa ditemukan dalam kitab karangan Thalabi, meski tidak mencantumkan puisi Hawa dan Iblis. Untuk Qisas karangan Ibn Katsir lebih terkenal di kalangan masyarakat muslim kota, terbukti dari banyaknya edisi terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Sementara itu, karangan Kisai cenderung tidak dikenal di Indonesia dan justru lebih terkenal di masyarakat Barat melalui terjemahan W.M. Thackston (1978).

2. Dalam penelitiannya untuk mendapatkan gelar Magister, Bunder Fayhan al-Zayedi mencatat penulis pertama genre ini adalah Ka’ab al-Akhbar dan menempatkan Ath-Thalabi di urutan kedua puluh. Jumlah total yang dicatat kitab dalam genre yang sama sampai rentang tahun 1306 H adalah 76 judul dari penyusun yang berbeda. Belum tercatat misalnya karya-karya yang lebih kontemporer seperti karya Hasan Ayub yang diterbitkan tahun 2006.

3. Sebagaimana Ath-Thalabi, Ibn Katsir pun merupakan seorang mufassir Alquran. Qisas al-Anbiya’ yang disusun keduanya sebenarnya merupakan suatu upaya interpretasi Alquran dalam urutan yang disesuaikan dengan kurun kehidupan para nabi. Dalam pengantar tafsirnya Ibn Katsir menjelaskan bahwa kisah-kisah Israiliyat dicantumkan dalam tafsirnya hanya sebagai konfirmasi dan bukan pendukung pentafsiran. Qasas al-Anbiya’ ibnu Katsir merupakan nukilan dari karya besarnya Bidayah wa al-Nihayah dan biasa dicetak tersendiri. Selain itu, ada juga kitab yang lain yang merupakan nukilan dari kitab yang sama dengan judul Qasas Al-Qur’an

4. Kemungkinan ada salah cetak dalam Qisas Al-Anbiya Ath Thalabi terbitan DKI 2009 ini, bandingkan misalnya dengan keluaran Maktabah Al-Jumhuriyah Al-Arabiyah (tt), hal. 47 yang menulis Ya’rab bin Qahthan, ataupun versi Al-Amirah al-Syarqiyyah, hal. 26 yang menulis Ya’rab bin Qahthan. Ya’rab bin Qahthan bin Hud adalah leluhur kerajaam Himyar, Yaman. Lihat dalam Islamic Desk Reference susunan E. J. Van Donzel hal. 483. 

5. Hemistich adalah bentuk umum puisi Arab klasik yang berupa satu baris puisi terdiri oleh dua baris dipisahkan oleh jeda. Baris pertama disebut arud dan baris kedua disebut dharb. Hal itu kemudian mempengaruhinya wazan pembuatan baris sendiri dan peraturan prosodinya (arud).

6. Qabil dipercaya sebagai putra pertama Adam yang lahir bersamaan dengan Iqlima. Dalam kitab Al-Kamil fi al-Tarikh (Ibn al-Atsir, 1987:37) disebutkan beberapa pendapat mengenai namanya yaitu Qayn, Qain, Qayin, dan Qabil. Dalam literatur islam namanya yang paling dikenal adalah Qabil sementara dalam literatur Nasrani lebih dikenal dengan Kain (Cain).

7. Tampaknya keterangan tersebut ditambahkan oleh editor. Sebagai tambahan keterangan, dalam kitab yang juga disarikan dari Bidayah an-Nihayah yang berjudul Qasas al-Qur’an, puisi yang sama dicantumkan juga, tanpa harakat, dan tanpa keterangan mengenai meter yang digunakan.

Cep Subhan KM, Penulis dan Penerjemah kelahiran Ciamis yang sekarang berdomisili di Yogya.

www.pocer.co