Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Si Ong Harry Wahyu dan Desain Buku Jogja

Sejak tahun 90-an, buku Yogya (buku-buku yang diterbitkan sejumlah penerbit Yogya) muncul dalam ledakan fenomenal berakar konsep estetik yang kental. Dengan wajah yang khas, buku-buku Yogya seperti membuka cakrawala kesadaran segar betapa citra artistik adalah bagian vital yang membangun buku sebagai produk yang menarik dan bercitra. Ciri khas yang muncul dari sosok buku Yogya adalah desain sampulnya yang tak ubahnya karya rupa, dari objek visual, tipografi huruf, sampai tata-ruang. Hal ini, sebelumnya tak pernah dirambah oleh penerbit besar Indonesia. Kemudian, garapan artistik yang kuat dan unik yang tampak dalam kemasan buku-buku Yogya itu mulai dilirik oleh oleh banyak perancang desain sejumlah penerbitan buku di luar Yogya, hingga memunculkan trend yang menggairahkan yang tampak belakangan ini.

Fenomena ini, secara langsung atau tidak langsung ikut mendorong meledaknya kegairahan membaca dengan makin maraknya bermunculan penerbit-penerbit buku kecil di kota budaya ini (hingga saat ini hampir mencapai 100 penerbit), yang sebagian besar menampilkan garapan desain rupa sampul yang khas. Trend ini dimulai oleh Bentang Budaya milik Buldanul Khuri. Tak pelak, Bentang adalah penerbit “pelopor” trend buku Yogya yang memunculkan garapan rupa cover yang menjadi trend-setter itu. Selain Buldanul Khuri, nama Harry Wahyu, yang juga dikenal sebagai “Si Ong”, adalah sosok yang “bermain” di balik itu semua.

Desain (cover) buku bukanlah sekadar urusan kemasan yang indah dan menarik. Sebagaimana hakikat buku itu sendiri sebagai bagian dari dunia intelektualitas, sampul buku pun harus mampu menjadi sebuah karya seni yang cerdas, yang mampu membahasakan isi buku secara Estetis. Desainer buku juga harus memiliki wawasan dan pemahaman yang mencukupi atas bidang garapnya, bukan hanya sekadar persoalan estetika, tetapi juga interpretasi dan pengolahan tematik atas buku yang didesainnya.

Harry ‘Si Ong’ Wahyu, desainer buku terkemuka dari Yogyakarta menjabarkan proses pendesainan cover buku itu sebagai semacam kerja antropologis. Menurutnya, kreatifitas desain buku terutama dilihat pada interpretasi dan pengolahan estetis yang memiliki konsep. Ini bisa berjalan jika si seniman memiliki referensi, pengetahuan, dan keseriusan kerja. Jelasnya, seni rupa buku bukanlah cabang seni rupa kelas dua dibanding dengan cabang seni rupa yang lain.

Si Ong telah memulai penggarapan desain buku yang menabrak konvensi-konvensi umum cover buku Indonesia semenjak tahun 1983. Proses kreatif Si Ong mulai mewujud secara lebih serius di tahun sembilan puluhan bersama Buldanul Khuri dengan penerbit Bentang Budaya. Seiring dengan maraknya dunia penerbitan buku di akhir dekade itu, nama Si Ong berkibar sebagai desainer cover. Dengan style utama ala lawasan atau retro, Si Ong menjadi trend-setter dalam desain cover buku, yang kemudian diikuti dengan berbagai eksplorasi estetis yang terutama berkembang pesat di Yogyakarta. Cover buku yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit kecil Yogyakarta bahkan kemudian dianggap memunculkan karakteristik tersendiri dibandingkan dengan produk penerbit-penerbit luar Yogya, semisal Jakarta, Bandung, atau Surabaya.

Yogyakarta menjadi ladang subur dalam eksplorasi estetika seni rupa buku. Sebagai sebuah kota seni dan budaya, Yogyakarta memiliki banyak sekali seniman, dengan lingkaran pergaulan dan interaksi yang sangat kental. Sementara, dunia penerbitan di Yogyakarta sendiri bisa dikatakan berada di luar mainstream industrial. Pola kerja di antara seniman dan penerbit pun berjalan dalam kerangka pertemanan. Yakni bahwa penerbit memiliki semangat untuk melawan kemapanan penerbit besar yang konvensional dan industrial, mendasarkan diri sebagai gerakan berwawasan intelektual dengan alternatif dan pemberontakannya, sedang para seniman dan perupa menemukan tantangan dari media baru di bidang perbukuan ini.

Dalam pandangan Si Ong, cover buku bukanlah sekadar kemasan atau bungkus yang indah. Dunia seni rupa buku adalah juga kerja intelektual. Haruslah ada reasoning, suatu dasar dan alasan atau konsep jelas yang berjalan dalam penjadian suatu karya. Yang pertama adalah interpretasi atas teks yang hendak didesain. Sesudah itu adalah penuangan yang pas dalam desain yang indah dan estetis. Barulah sesudah tahapan ini, penyesuaian dan pengolahan lebih lanjut dilakukan sehingga karya desain itu muncul sebagai karya baru berupa buku sebagai satu keutuhan. Desain cover buku tidaklah sekadar didasari oleh keinginan menciptakan kemasan yang indah. Jika pun ada sementara seniman menganggap remeh dunia seni rupa buku, Si Ong lebih melihatnya sebagai kurangnya tingkat intelektualitas atau kurangnya kesadaran si seniman akan pentingnya berinteraksi dengan beragam cabang kesenian dan pengetahuan lain. Seniman yang memilih tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Seni Murni ISI Yogyakarta ini secara tegas menyatakan bahwa seni rupa buku bukanlah seni rupa kelas dua. Seni rupa buku adalah fenomena wajar dari perkembangan kesenian kontemporer.

Mengamati karya-karya Si Ong, kita akan segera menemukan kuatnya karakter dan style yang khas. Dikenal terutama dengan gaya lawasan atau retro, Si Ong menggali bahan-bahan lama untuk kemudian merevitalisasi dan menampilkannya dalam bentuk baru. Kita diberi kebebasan untuk mengapresiasi dan menafsirkan kembali; ataukah sebagaimana dalam konteks karya asal atau dalam tampilannya yang baru. Si Ong tidak mengambil secara mentah karya-karya rupa kuno, ia senantiasa memberikan ‘sentuhan estetis’ yang menjadikan karya-karyanya memiliki nuansa antropologis.

Si Ong telah memilih dunia desain buku ini sebagai sarana mengekspresikan jiwa kesenimanan sekaligus mata pencaharian hidupnya. Sudah sekian ratus judul buku diterbitkan dengan menggunakan desain cover yang dibuatnya. Kini penerbit-penerbit luar Yogyakarta, dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain, juga mulai mengejar sentuhan tangannya di buku-buku mereka. Jika pun beberapa waktu lampau ia harus berhadapan dengan para eksponen radikal yang secara membabi buta memprotes dan menterornya berkaitan dengan buku-buku kiri dan gender, itu adalah konsekuensi wajar dari sebuah pilihan hidup.

Sumber Majalah MataBaca, Vol.1/No.2, September 2002