Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seni Cover Buku



Kalau Anda berkunjung ke toko buku dan hendak membeli buku-buku baru, apa yang pertama kali Anda lihat dan membuat Anda tertarik? Judul buku? Nama pengarang? Sampul depan? Sinopsis atau caption di sampul belakang?

Atau Anda akan meminta penjaga toko untuk melepas segel plastik dan membaca halaman-halaman pertama? Boleh jadi semuanya, kalau Anda termasuk pembeli yang jeli dan sensitif terhadap kualitas buku. Boleh jadi juga tidak.

Misalnya, jika Anda tertarik (hanya) karena kulit muka atau tampilan luarnya saja.

Suka atau tidak, buku kini hadir dengan wajah yang lebih estetis.. Kualitas sebuah buku terasa kurang klop jika tidak dibarengi dengan kualitas perwajahan yang anggun. Mengapa perwajahan amat penting?

Bagi pengelola rumah penerbitan, ini terkait dengan pertimbangan pasar. Tampilan yang memikat menjadi semacam "iklan" cuma-cuma untuk menggaet minat pembeli. Meskipun toh tidak semua buku berwajah apik dengan sendirinya bermutu, alasan ini masuk akal jika ditimbang dari logika ekonomi. Hanya saja jangan dilupakan bahwa "dunia perwajahan" juga punya logika lain, semacam logika estetis, yang tak sesederhana kita bayangkan.

Kekuatan yang Menggerakkan
Sampul buku yang menampilkan suatu karya seni rupa akan memancarkan aroma keindahan tersendiri. Ada bermacam jenis karya seni rupa yang bisa digunakan sebagai rangsangan imajinasi pembaca. Mulai dari dua dimensi (lukisan, drawing, fotomontase) sampai tiga dimensi (patung, seni instalasi). Tak soal mana yang lebih biasa dipakai, kedua jenis karya ini telah berandil besar bagi reka cipta image suatu buku.

Saya sendiri pernah membayangkan, andai bukan karena tampilan yang memikat, novel tebal Umberto Eco, The Name of the Rose, mungkin tak akan selaris sekarang. The Name of the Rose adalah novel luar biasa dengan ketebalan gigantik (mencapai 600-an halaman lebih) yang dicari-cari orang sejak terbit pada 1983 dengan judul asli Il nome delia rosa. Kini novel itu telah diterjemah ke belasan bahasa, dan Eco menikmati hasil royalti dari penjualan 10 juta eksemplar buku itu.

Meski agak telat, kita di Indonesia beruntung bisa membaca novel itu lewat dua versi terjemahannya yang diterbitkan Jalasutra dan Bentang pada akhir 2003. Kita juga sedikit mujur karena selain terjemahannya yang sama-sama bagus, kedua versi ini juga menyuguhkan visualisasi artistik yang menawan.

Dalam versi terjemahan edisi Jalasutra, efek visual dihadirkan dengan pemandangan Ghotik yang khas. Kubah-kubah melengkung yang menutupi kamar-kamar biara seperti membiarkan mata pembacanya berkelana. Sampul buku yang seluruhnya berwarna cokelat mengesankan bahwa novel ini memang berlatar abad pertengahan dengan suasana mistikal yang setengah pudar dimakan waktu. Versi terjemahan Bentang bersampul sebuah lukisan kiasik semi-sureal yang menggambarkan suasana kota-kota di Eropa abad pertengahan. Tampak beberapa pendeta yang menari berpesta-pora, dengan latar gereja dan menara yang nyaris runtuh. Sayangnya, ini sedikit kurang orisinal karena merepro sampul yang sama dari edisi Inggris.

Novel-novel Eco lainnya yang terbit di luar negeri rata-rata memakai lukisan bertema abad pertengahan sebagai sampul luar. Selain membantu memberikan gambaran awal tentang isi buku, lukisan yang terpampang benar-benar menyeret imajinasi pembacanya hingga batas-batas kesadaran. Saya merasakan hal ini dalam The Island of the Day Before, terbitan Penguin. Lukisan sampulnya menggambarkan suasana peperangan kosmis antara dewa-dewa yang memiliki bentuk tubuh aneh: setengah manusia, setengah malaikat, atau setengah binatang. Di antara dewa-dewa yang saling berseteru, tiba-tiba melintas dua kapal Nuh, dibayang-bayangi naga raksasa dan beberapa ekor beruang dan singa yang beterbangan di atas langit. Dalam The Name of the Rose sendiri, Eco pernah menulis bahwa imaji liar tentang sosok manusia berpostur aneh itu mudah sekali ditemui dalam kitab-kitab Mazmur yang dulu dibaca sebagai kidung peribadatan orang Kristen.

Saya tak habis pikir mengapa sebuah lukisan bisa membawa kita menukik begitu tajam ke kesadaran "lain". Tak henti-hentinya sekujur tubuh dan kelima indra seperti dipaksa memasuki dimensi yang tak lagi meruang dan mewaktu. Imajinasi seperti dilumpuhkan untuk sementara, lalu digantikan kekuatan baru yang datang tanpa ampun, seperti menyadarkan kita akan adanya suatu unreal reality. kenyataan yang tak benar-benar nyata, tapi begitu nyata seolah-olah tak nyata.

"Membaca" Sampul
Menghadapi tampilan luar sebuah buku, yang sering dilakukan pembaca adalah melihatnya sepintas lalu dan menilainya tak lebih dari sekadar hiasan dinding. Psikologi "menonton" masih mendominasi cara pandang kita terhadap suatu citraan. Kebiasaan mengabaikan hal-hal yang tampak di permukaan menumpulkan kepekaan kita untuk menyelami lebih jauh suatu fenomena. Psikologi semacam itu bisa diubah jika sampul juga dilihat sebagai medan "pembacaan" yang sama bernilainya dengan halaman-halaman buku. Nah, bagaimana caranya?

Bersentuhan dengan suatu karya artistik, yang pertama kali kita lakukan adalah meraba-raba unsur visual yang paling menonjol di dalamnya. Indra bekerja untuk menyesuaikan diri dengan "lingkungan" baru bernama gambar. Dalam semiotika, kita mengenal keadaan ini sebagai fase studium: di sini "pembaca" sampul masih mengasumsikan adanya jarak antara dia dan gambar. Menurut Roland Barthes (St. Sunardi, Semiotika Negativa, 2002: 187), dalam rentang jarak inilah kita bisa membaca adanya kode tertentu yang melatarbelakangi suatu gambar, misalnya kode kultural atau kode ideologis, yang biasanya berupa motivasi tertentu dari perupa atau pengarang. Kode itu tersembunyi begitu rapi di balik permukaan gambar, dan hanya bisa diusik dengan kacamata pembacaan yang lebih jernih.

Salah satu contoh yang dapat dikutip adaiah sampul luar karya monumental Edward Said, Orientalism, Pada edisi paperback tahun 1994, di sampul depan Orientalism terpasang lukisan terkenal Jean-Leon Gerome bertajuk The Snake Charmer, yang menggambarkan seorang anak kecil yang telanjang sedang memainkan ular dan ditonton oleh seorang raja yang dikawal oleh beberapa budak belian. Sang raja dengan tenangnya duduk dan menikmati "tarian ular" si bocah, dan di dinding istananya terpancang tombak, perisai, dan sebarisan kaligrafi Arab. Nuansa eksotis Arab, dengan segala irasionalitas dan aura magisnya, tampak ingin dipertahankan pelukis. Seakan-akan dengan memasang lukisan itu, Said berkata: "Beginilah cara Barat melihat Timur!"

Manipulasi representasi semacam ini menarik untuk dibaca dari suatu karya seni rupa. Gambar apa pun yang hadir bersama dengan teks (lebih-lebih buku) tidak sepi dari kode tertentu yang terkadang ingin memberi gambaran keliru terhadap pembaca. Di sini kita dituntut lebih cermat lagi. Kata Barthes, momen studium adalah field of cultural interests, lahan dari berbagai kepentingan yang ingin menggoda pembaca menuju penafsiran tertentu atas suatu budaya. Masalahnya sekarang, bisakah kita sedikit kritis?

Jika momen studium bisa kita lewati, barulah kita sampai pada kenikmatan sesungguhnya dari "membaca" sebuah gambar. Inilah fase punctum, fase yang mengantarkan pembaca buku benar-benar melihat buku plus sampulnya sebagai satu keutuhan yang tak terpisahkan. Buku terasa kurang "bergizi" jika tidak dilapisi dengan tampilan luar yang tak kalah memesona. Kenikmatan yang terasa pun ketika "membaca" gambar adalah rasa ketercekaman yang membawa kita pada satu titik terjauh yang membuat kita terpaku di hadapannya.

Buku yang Menyenirupa
Apresiasi atas karya seni rupa, syukurlah, mulai memasuki ranah perbukuan. Banyak penerbit mulai menyadari bahwa pesona suatu karya lukis ternyata bisa menarik pangsa pasar yang luas. Bahkan, kalau menengok performa perbukuan di Yogya, beberapa penerbit tidak hanya memasang karya seni rupa sebagai sampul, tetapi juga mulai memasangnya sebagai bagian inti dari teks buku.

Inovasi terbaru bisa dilihat dari buku Air Kata-Kata Sindhunata, yang memadukan prosa liris dengan lukisan belasan perupa. Strategi visual ini ternyata tidak sia-sia. Buku itu laris-manis, dan yang mereguk untung siapa lagi kalau bukan penerbit dan pengarang? Ah, lagi-lagi pasar!

Muhammad Al-Fayyadl, kolektor sampul buku, bermukim di Yogyakarta.
Majalah Mata Baca Vol.2, No. 12, Agustus 2014.