Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lukisan di Sampul Buku

Ada realitas penting yang terjadi dalam melihat perkembangan penerbitan, yaitu mengapa buku (dalam tulisan ini juga untuk majalah atau kitab suci) menjadi demikian laris, selain karena isinya yang penting dan menawan, atau pengarangnya yang terkenal dan ditunggu masyarakat? Adalah sampul buku yang ternyata menjadi bukti dan pendorong terogohnya kocek dari saku seseorang keluar untuk sebuah buku. Sampul buku macam apa yang membuat demikian menarik publik? Estetika macam apa ketika lukisan berada dalam sampul buku? Padahal sampul buku hanyalah satu pola kerja biasa dalam poros dan lingkaran pengerjaan buku itu sendiri.

Namun, rupanya sampul buku telah menjadi satu lahan menarik dalam tradisi perpaduan antara unsur pemikiran atau fantasi —baik pada buku fiksi maupun non-fiksi, yang kemudian terjalin dalam teks-teks di dalamnya— dengan pesona visual yang mewujud dari pola kerja "melukis" (dengan berbagai versi teknis pengerjaan) itu sendiri. Setidaknya dalam perspektif seni rupa, kehadiran sampul buku sebagai media "pamer" menjadi satu alternatif yang cukup memberi peluang-peluang.

Lukisan dalam ruang yang bernama "sampul buku" setidaknya memberi jalan imajinasi yang lebih terarah (karena ditemani oleh teks atau judul yang bersamaan) dibanding ketika kita menontonnya dalam ruang pamer (galeri, museum, atau ruang publik lainnya) dengan judul yang tersembunyi dan kadang terpisah, bahkan oleh sang perupa hanya ditandai dengan "Tanpa Judul" alias untitle. Judul pada buku bahkan seakan-akan menjadi tema teks yang akan dibaca, sekaligus dapat juga sebagai sebuah judul lukisan sampul itu sendiri, sekalipun sesekali juga ada lukisan sampul yang sama sekali tidak berhubungan dengan teks di dalamnya, terutama untuk maksud artistik semata.

Hal ini membuktikan adanya fungsi lain pada lukisan, yaitu membantu pembaca untuk memberi jalan terobosan dalam memahami dunia yang ditawarkan dan diwartakan penulis. Akhirnya, perupa dalam persoalan ini menjadi jembatan untuk menawarkan jalan cepat ataupun alternatif guna menemukan tawaran-tawaran penulisnya. Berbanding terbalik dengan pameran seni rupa, di mana peran penulis (seperti kritikus, pengamat, kurator, atau pemberi pengantar pameran) justru hanya menjadi jembatan guna memahami dunia imajinasi yang dilahirkan oleh perupa.

Mengapa lukisan kini menjadi demikian berpeluang menciptakan persepsi pembaca atas sebuah buku? Mengapa lukisan menjadi semakin mudah mempengaruhi imajinasi publik untuk memiliki sebuah buku? Semua itu tak bisa dilepaskan dari fungsi, esensi, dan aroma keindahan yang diciptakan lukisan itu sendiri. Lukisan yang lahir, sesungguhnya juga merupakan arena pembacaan perupa atas alam (dengan arti luas) yang melingkupinya, maka dari itu banyak lukisan yang tercipta karena arus perubahan alam yang terjadi di sekitar perupa. Lukisan, dengan berbagai ragam gaya dan jenisnya kemudian kadang-kadang hanya menjadi sekadar alat penyampai imajinasi dan ide-ide.

Berbeda dengan pameran lukisan yang muncul di galeri, di sana publik serta merta disuguhi ungkapan visual mulai dari ide yang sangat verbal (pemandangan atau lukisan bergaya realisme), sampai pada karya yang cenderung sulit (setidaknya perlu tenaga ekstra) untuk diapresiasi, seperti lukisan simbolisme, abstrak, atau karya-karya non-representasional lainnya.

Jika ditilik secara seksama, selama ini ada beberapa pola pembentukan karya dalam sampul buku. Pola pertama, dalam sebuah buku, tepatnya pada sampul, lukisan yang dikreasi oleh perupa bisa saja merupakan ruang "kedua", di mana pembacaan (alam) yang "pertama" dilakukan oleh penulis/pengarangnya sendiri. Dengan demikian, lukisan atau sampul buku merupakan pengejawantahan kembali atas pembacaan penulis oleh perupa. Sehingga dalam satu kemasan buku, seolah-olah penulis dan pembuat sampul (dalam hal ini desainer dan pemvisual/pelukis) menciptakan suatu wujud tertentu untuk membombardir indera pembaca agar pada akhirnya membeli. Mereka "bekerja sama" meskipun dari tempat dan waktu yang jauh terpisah.

Di samping itu, pelukis sampul buku setidaknya dibantu oleh bab-bab yang tertulis dalam daftar isi buku tersebut agar dapat membantu publik menikmati sajian buku yang ditawarkan. Di sana pembaca atau penonton lukisan seakan-akan terbantu untuk mengolah persepsi atas sebuah teks huruf dan teks visual pada sampul buku tersebut.

Pola kedua, bisa juga sang pelukis dan penulis memang tidak memiliki satu persepsi bersama temadap tema yang disodorkan, alias penulis buku dan perupa saling "tidak mengenal". Pola ini lebih mengarah pada pemahaman perupa yang kemudian dengan kecanggihan teknis yang dimiliki dapat membaca selera publik terhadap buku yang disodorkan. Di sini peran pelukis bukan saja memberi semacam tafsiran atas ide penulis, tetapi juga merangsang munculnya "permainan-permainari" yang disodorkan oleh pelukisnya sendiri. Dengan demikian, lukisan atau pelukis mendapat peran sebagai ruang pembacaan "pertama" atas gejala yang dilihatnya, di samping muncul pula anggapan seni "pesanan" atas pola semacam ini.

Buku seri/seleksi Gibran yang diterbitkan tahun 2003 oleh Bentang Budaya Yogyakarta: Spiritualitas Anak Cucu Adam, Spiritualitas Airmata, Spiritualitas Jalan Sunyi, Spiritualitas Anak Negeri, Spiritualitas Cinta, dan Spiritualitas Semesta memberi satu contoh gejala di atas. Dari 6 seri buku tersebut, terlihat si pelukis (Jumaldi Alfi Chaniago, 1973) mencoba menawarkan pola-pola repetitif yang sangat kuat dan dinamis. Wajah Gibran tetap muncul dan diletakkan di tengah, menguasai ruang, dan tetap mengeksploitasi unsur cahaya yang kuat. Akan tetapi Alfi, demikian panggilannya, berhasil mengorek esensi perbedaan-perbedaan ide dari setiap buku, setidaknya bersandar dari judul yang disodorkan oleh penulis dan penerbit.

Dalam Spiritualitas Anak Cucu Adam ia menyodorkan satu bahasa simbol yang diwujudkan dengan bebatuan yang berterbangan di wajah Gibran, dengan warna dasar merah muda. Di sisi lain dalam Spiritualitas Airmata, tergambarkan bagaimana wajah Gibran diramaikan dengan tetesan air berwarna biru dan berlatar garis tipis-tipis. Dalam Spiritualitas Jalan Sunyi tampak lebih mengerikan, di mana Gibran mengalami "kekerasan" dengan disimbolkan tusukan-tusukan jarum(?) atau kayu kecil(?) pada wajah, dibantu dengan latar belakang laut kemerahan dan langit yang mendadak sontak memilukan. Ada pun yang tampak biasa namun cukup mengena, yaitu pada Spiritualitas Cinta, di mana Alfi hanya menorehkan warna merah dan orange di bagian belakang wajah sang tokoh. Eksekusi yang cukup kuat bagi pembaca untuk menorehkan kesan cinta yang selalu membara dan menyala.

Pola ketiga, kepandaian yang dimiliki oleh editor atau bagian perancang sampul buku itu sendiri dalam mencari lukisan yang sangat cocok untuk dijadikan gambar sampul. Di sini perancang sampul sudah sangat mengenal medan seni rupa dan berbagai jenis genre atau setidaknya mengenal dan memiliki pengetahuan sejarah seni rupa yang cukup.

Dalam beberapa buku yang dibuat oleh Penerbit Bentang Budaya atau Hari "Ong" Wahyu misalnya, jelas mendendangkan pola semacam ini. Mereka rata-rata pandai mencari karya seni rupa yang notabene "sudah jadi" atau pernah dipamerkan, kemudian sebagian atau seluruh karya tersebut dipakai untuk keperluan sampul buku. Jadi, sang seniman dan pengarang buku sama sekali tidak terkait. Lihat saja pada buku Umar Kayam dan Jaring Semiotik (Pustaka Pelajar, 1998), Hari "Ong" Wahyu jelas mengambil ide dan mempersepsikan sikap dan citra Umar Kayam yang selalu terkait dengan kultur Jawa, sehingga lukisan yang muncul dalam sampul buku tersebut adalah lukisan genre Jawa tradisional yang biasanya berbentuk lukisan kaca dengan figur Petruk dan Bagong. Lihat pula buku Syekh Siti Jenar (Bentang Budaya, 1999) dengan lukisan kaca tradisional Jawa.

Demikian pula pada Senjakala Kebudayaan (Bentang Budaya, 1996), yang secara frontal menurut saya lebih terasa fungsinya pada aspek artistik daripada aspek filosofis, mengapa sampul buku yang dibuat oleh Buldanul Khuri menyodorkan karya tiga dimensi Edie Hara. Coba bandingkan pula dengan buku Zeffry J. Alkatiri, Dari Batavia Sampai Jakarta 1616-1999 (Indonsiatera, 2001) dan Eksotopi, Tentang Kekuasaan, Tubuh dan Identitas (Grafiti, 2002) yang mungkin secara artistik sangat kurang, namun pesona karya sketsa pelukis asing, C. Jackson (pada buku Zeffry) dan grafis perempuan perupa Jerman, Kathe Kollwitz, memberi sumbangan kuat atas pencernaan isi buku tersebut, sekaligus mengemukakan selera tulisan yang ditawarkan Zeffry J. Alkatiri ataupun Goenawan Mohamad.

Sementara dalam format majaiah, rupanya jurnal Kalam dan majalah Pantau menduduki porsi yang sangat baik untuk urusan sampul (kini keduanya mungkin sedang mati suri atau mati beneran ya?), pada pola ini. Mereka setiap saat mengundang semua perupa untuk tampil dalam setiap edisinya, sehingga terlihat bahwa konsep untuk tidak meninggalkan unsur seni rupa menjadi demikian kuat. Dengan sangat cerdas mereka mengemas terbitannya menjadi satu sajian yang tak melulu menawarkan teks tulisan, tetapi juga semangat visual menjadi utama. Karya-karya yang ditampilkan cukup representatif sebagai upaya untuk memberi ruang pada karya seni rupa sebagai bagian penting dalam pembelajaran publik. Bagi mereka yang malas membaca, cukup dengan melihat karya seni rupa yang disajikan di dalamnya. Berbeda sekali dengan Jurnal Seni yang notabene terbitan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. sekalipun cukup berwibawa, sayangnya minim gambar dan cenderung membosankan.

Inilah wujud "permainan-permainan" (teknis dan tematis) dan pola rencana lukisan sampul yang disodorkan oleh beberapa perancang (perupa atau desainer, ini juga perlu satu pembahasan lebih lanjut). Pada buku/majalah/jurnal lukisan menjadi pintu pertama dalam menerobos ribuan penawaran di hati pembaca (yang sekaligus penonton), juga di sela persaingan buku yang lain. Konon, dalam beberapa pembicaraan dengan para penggemar buku, sebab-sebab sampul buku-lah yang membuat dan menjadi salah satu aspek utama mereka membeli, ketika buku itu mulai dipublikasikan.

Setidaknya lukisan pada sampul buku memberi peluang terciptanya ruang berpikir baru dalam mencermati isi buku, isi pikiran penulis, dan isi kantong kita. Jika tidak mampu membeli lukisan seperti koletor-kolektor yang kaya di sebuah galeri, setidaknya kita bisa menjadi kolektor lukisan pada sampul buku, Tentu saja yang baik dan menarik.

Catatan:
1. Dalam pengertian pada tulisan ini adalah sebuah karya yang mungkin semula adalah bentuk karya dua dimensi (lukisan, drawing atau fotomontase) atau tiga dimensi (patung, seni instalasi atau seni kejadian) yang telah termaktub dalam bidang dua dimensi bernama sampul.
2. Baca Mikke Susanto, "lukisan Sampul Buku Alfi: Ruang: Pamer atau Isyarat Pasar Baru", Media Indonesia, 18 mei 2003.
3. Sebelumnya pernah pula Bentang Budaya menerbitkan karya Gibran dengan gambar sampul milik perupa Agus Kamal (lahir 1956). Di samping buku Gibran ada pula buku lain seperti Seni Tauhid (1999) yang juga diisi oleh karya Agus Kamal dengan menggunakan teknik kerok yang sangat realistik. Pada sampul buku Agus Kamal, ada kecenderungan hanya menggabungkan lukisan yang sudah jadi alias bukan pesanan, kemudian langsung dimuat oleh perancangnya, berbeda dengan Alfi yang cenderung membuat "pesanan" khusus untuk buku-buku Gibran ini.

Mikke Susanto, penulis seni rupa dan kurator independen.
Majalah Mata Baca Vol. 1 / No. 12 / Agustus 2003