Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Babad Kopi Parahyangan: Sebuah Novel

gambar
Rp.94.000,- Rp.75.000 Diskon
Judul: Babad Kopi Parahyangan: Sebuah Novel
Penulis: Evi Sri Rezeki
Penerbit: Marjin Kiri, 2019
Tebal: 358 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Segel)

Sejak kecil Evi Sri Rezeki sudah terbiasa dengan kopi, sebab terlahir dari seorang ayah penikmat kopi. Pun ibu Evi tidak pernah melarang untuk minum kopi. Dari kecil hingga dewasa kopi selalu lekat dengan kehidupannya. Meskipun begitu, tidak pernah terpikir olehnya untuk menulis novel tentang kopi. Berkat saran dari temannya, Evi menggali sejarah kopi Nusantara. Dari hobi minum kopi, diraciklah novel tentang kopi. Lahirlah “Babad Kopi Parahyangan.”

Berbeda dengan novel yang telah ditulis sebelumnya: novel remaja Marshmallow (2008) dan Cine Us (2013). Juga karya nonfiksi TwiTries:The Freaky Twins Diaries (2014) yang ditulis bersama saudara kembarnya, Eva Sri Rahayu. Lewat “Babat Kopi Parahyangan,” Evi menulis novel berlatar sejarah: perihal kopi dan tragedi kemanusiaan di Nusantara. Dari tanah Padang – Sumatra hingga ke pulau Jawa – pulau para penguasa. Memotret kondisi masyarakat terutama para petani di Parahyangan yang berjuang mempertahankan kehidupan di bawah kekuasaan kolonial Belanda melalui sistem tanam paksa.

Lebih jauh lagi, novel ini tidak hanya sibuk membicarakan soal kehidupan masyarakat di masa lalu, namun sangat relevan deng kehidupan hari-hari ini. Tertindas dan tereksploitasi. Begitulah gambaran kehidupan masyarakat di negeri bernama Indonesia.

Dengan tidak melebih-lebihkan, karakter tokoh dalam novel ini adalah realitas kehidupan yang harus dihadapi bangsa ini. Sebut saja karakter tokoh Satria, mandor perkebunan, memiliki karakter penjilat dan licik. Tokoh Satria akan melakuakan apapun demi memperoleh kekayaan – kekuasaan. Bahkan mengorbankan kerbat dekatnya, adik perempuanya dijadikan gundik kompeni demi mendapatkan kedudukan sebagai mandor perkebunan.

Rezim kolonial yang berkuasa secara membabi buta, hari ini seolah tengah dipertontonkan oleh rezim yang sedang berkuasa. Pun Kepolisian, di era kolonial digunakan untuk melindungi kepentingan penguasa. Kepolisian bertugas melakukan pengamanan lahan perkebunan milik petani demi kelancaran aktivitas eksploitasi. Melakukan tindakan kekerasan untuk meredupkan perlawanan para petani yang memperjuangkan keadilan.

Tereksploitasi
Lewat novel ini, potret tragedi kemanusiaan terjadi melalui eksploitasi sumber daya alam yang terbatas. Semenjak masa tanam paksa, lahan-lahan dibuka, hutan-hutan dibabat, dan pohon-pohon ditebang secara besar-besaran. Petani menjadi sasaran bagi penguasa untuk memperoleh keuntungan yang sebesarnya-besarnya, tanpa mempedulikan nasip para petani. Dengan “ajaran bahwa para petani adalah orang-orang malas yang mesti dipaksa bekerja demi kesejateraan sendiri yang dininabobokan oleh kemurahan alam raya.” (hlm 241)

Tidak dibukanya akses, menjadi penyebab suram dan terbelakangnya kehidupan masyarakat. Nyaris tidak memiliki masa depan. Seolah keterbelakangan akibat ekploitasi pihak penguasa menjadi takdir yang harus diterima dan dijalani dengan penuh keikhlasan. “Akibatnya, si kuat akan berbuat apa yang bisa mereka lakukan, sedangkan si lemah akan berbuat apa yang terpaksa mereka lakukan.”

Para petani disebut-sebut sebagai kaum bodoh. Petani mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari pihak penguasa kolonial. Hukum dibuat seberat mungkin untuk menakut-nakuti kaum miskin dan petani. Sehingga, masyarakat tidak dapat menikmati hidupnya walaupun hanya sebatas secangkir kopi. “Setiap hari sama saja. Bejuang bertahan hidup.” (hlm 271)

Kopi merupakan minuman elit, hanya dinikmati para kompeni. Seluruh biji kopi di Nusantara direguk habis oleh kaum kompeni. Kaum pribumi di Padang, untuk menghangatkan badan biasanya mengola daun kopi. Daun kopi tua kemudian dipanaskan di atas bara api sampai mengering. Jadilah kopi kawa daun. Sedangkan di tanah Sunda, buah kopi adalah lambang penaklukan dan penindasan. Petani dipaksa menanam kopi, lahan-lahan sawah digantikan dengan lahan kopi. Petani dipaksa bekerja tanpa upah yang layak. Bahkan untuk menikmati kopi, petani harus mengolah biji-biji kopi dari kotoran careuh bulan – binatang sejenis musang.

Betapa tragisnya kehidupan petani saat itu. Pertanyaan yang paling mendasar, apakah Indonesia hari ini sudah lebih baik? Bagi sebagian orang akan mengatakan ya sudah lebih baik. Namun, jika lebih spesifik menyoroti pengelolaan sumber daya alam, maka kita akan bersepakat bahwa Indonesia hari ini tidak jauh beda dengan penguasa kolonial Belanda. Petani selalu saja menjadi pihak yang dirugikan. Masih segar dalam ingatan kita beberapa kasus penggusuran lahan petani dengan dalil pembangunan. Sebut saja petani Kulonprogo yang lahan pertaniannya digantikan oleh pembangunan bandara Internasional Aiport Yogyakarta (IAY), juga para petani di Kalimantan yang tergususur akibat perusahan kelapa sawit dan batubara.

Semangat Muda
Di balik novel ini, tak luput juga kisah yang sangat meninspirasi yakni peran kaum muda. Anak muda adalah jiwa bangsa. Anak muda adalah kekayaan yang harus dirawat dan dijaga. Sebab di belahan dunia manapun, anak muda selalu menjadi pelopor perubahan. Teringat pesan Pramoedya “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa.” Lebih lanjut Pram berpesan kepada anak muda “Jangan berlaga tidak mengerti, kalian itu cukup mengerti apa yang harus kalian lakukan. Lakukanlah yang terbaik untuk Indonesia dan untuk diri kalian sendiri. Jangan berlaga bodoh! Kalian cukup pandai, kalian cukup punya keberanian, kalian cukup punya keahlian mempersatukan semua angkatan muda. Bergerak terus sampai tercapai tujuan.”

Keberanian adalah kekayaan yang dimiliki kaum muda. Namun, “keberanian bukan anugerah tapi hasil latihan hidup sehari-hari. Keberanian itu sama seperti otot manusia, kalau tidak dilatih dia akan menjadi lemah. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak tantangan. Latihan pertama adalah jangan lari! Hadapi semuanya. Itu cara untuk melatih keberanian.”

Lewat tokoh Karim mengisahkan kegigihan seorang – pemuda asal Batang Arau yang memperjuangkan mimpinya menjadi bandar kopi ternama. “Saya tidak memilih dari keluarga mana, namun saya dapat memilih takdir saya sendiri.” (hlm 198).

Lewat dongeng-dongeng pelaut, Karim – bujang dari darek mengenal dunia. Karim meninggalkan kampung halaman, memilih keluar dari zona nyaman. Mengejar kopi Parahyangan yang “rasanya manis, asam, gurih, dan sedikit pahit.” Kopi inilah yang diminum oleh para kompeni Eropa. Parahyangan adalah sarang mutiara hitam.

Di tanah Parahyangan, Karim menyaksikan penindasan atas manusia. Petani Parahyangan dipekerjakan tanpa upah, lahan-laan sawah berubah perkebunan kopi. Untuk mengisi perut yang lapar, petani mengolah akar pohon yang ditemui di hutan. Hal itu mengorek batinya. “Mengapa kita yang memiliki tanah ini hanya bisa menonton,” (hlm 161). Terlebi lagi, ketika tiga orang petani yang ditembak mati karena berusaha melarikan diri dari sistem kerja tanam paksa. Karim mengatur siasat untuk melawan penjajah. “Kita ini manusia, jang! Semut bila diinjak saja mengigit, apa kita sebagai manusia mau diam saja?!”

Karim melakukan penyeludupan kopi. Membujuk petani bertukaran kopi dengan beras. Biji-biji kopi itu dikelolah dan dijual kepda pembisnis kopi dari Tioghoa. Hasil penjualan kopi direncanakan membeli lahan untuk memenuhi kebutuan para petani. “Untuk melawan kompeni, kita mesti punya kekayaan sebagai alat perjuangan. Menguasai perdagangan berarti menguasai kekayaan dunia sehingga pada akirnya menguasai dunia. Oleh sebab itu tanah mesti kita kuasai balik, perdagangan harus kita pegang kendali,” (hlm 176).

Ketegangan pun terjadi. Karim harus berhadapan dengan Satria yang notabenenya adalah saudara sebangsanya sendiri yang bekerja untuk para kompeni. Sebagai mandor perkebunan, Satria selalu melakukan kekersan terhadap para petani. Sehingga membikin karim geram. Satria pun terbunuh di tangan Karim.“Pada akhirnya kita hanya mampu melawan antara bangsa sendiri.” (hlm 299). Inilah deretan peristiwa masa lalu yang begitu lekat dengan keidupan kita saat ini.

Secangkir Kopi Perenungan
Novel ini mejadi menarik, sebab tidak hanya mengandalkan kekuatan imajinasi melaikan didasari oleh tradisi riset yang kuat. Kepenulisan novel “Babad Kopi Parayangan” menghabiskan waktu selama enam tahun. Selayaknya sekangir kopi, untuk mengasilkan rasa kopi yang enak dinikmati harus melewati tahapan yang panjang, memilih biji kopi, mengatur takaran kopi, juga memahami lidah setiap para penikmat kopi.

Pada bagian yang lain, novel ini memiliki pesan-pesan yang kuat bagi kehidupan. “Darah sama-sama diaduk, daging sama-sama disayat, tanduk sama-sama ditusuk. Engkau saudaraku.” (hlm 62); “Burung terbang oleh sayap, manusia hidup karena akalnya” (hlm 181); “Kamu boleh memperjuangkan perdagangan, tapi tidak memperdagangkan perjuangan” (hlm 297).

Untuk itu, novel dengan ketebalan 348 halaman ini sangat layak dibaca bagi kalian para angkatan muda dan pencinta kopi. Terlebih lagi sebagai seorang perantau. Sebab novel ini adalah racikan kopi Evi Srirezeki yang menyuguhkan kopi dengan sensasi dan kenikmatan yang lebih panjang usianya. Babad Kopi Parahyangan sejatinya adalah secangkir kopi perenungan atas masa lalu dan penataan kehidupan di masa depan yang lebih beradap. Kombuk!
Pesan Sekarang