Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Negeri Senja (Seno Gumira Ajidarma)

gambar
Rp.75.000,- Rp.56.000 Diskon
Judul: Negeri Senja
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: KPG, 2017
Tebal: 264 halaman
Kondisi: Baru (Ori Segel)

Bila diminta menyebutkan sastrawan Indonesia dengan kemampuan luar biasa, maka nama Senoa Gumira Ajidarma tidak boleh dilewatkan. Kepiawaiannya dalam dunia susastra tidak diragukan lagi. Karyanya mulai dari cerpen, novel, hingga esai begitu dalam dan digandrungi banyak orang.

Seno Gumira Ajidarma pula yang mengudarakan istilah jika jurnalisme dibungkam, maka sastra bicara. Tagline tersebut tidak bisa dijauhkan dari pribadi Seno maupun karya-karya sastranya. Tak jarang, nada kritik bergema dari karya sastranya. Sastra bukan sekadar oase penyegaran wisata bahasa semata. Di tangan Seno, sastra bisa diubah menjadi pisau kritik pedas.

Lihat saja bagaimana Seno menelanjangi kekejaman konflik Dili dalam kumpulan cerpen Saksi Mata. Seno mengingatkan publik Indonesia akan kematian Munir melalui cerpen Aku, Pembunuh Munir. Sekarang, pembaca kembali disuguhi novel Negeri Senja, yang sarat akan kritik terhadap kerunyaman Orde Baru.

Lewat mata seorang pengembara, Seno mengajak pembaca singgah ke Negeri Senja. Pengembara yang sepanjang hidup penuh kesedihan merasakan ada secercah harapan saat dikabarkan akan singgah ke Negeri Senja.

Dalam kredo normal, senja adalah fenomena indah. Terlebih bila senja seolah tak hendak menjadi malam. Maka pengembara itu merasa yakin bahwa di sanalah, di Negeri Senja, pengembara akan menemukan arti perjalanan dan hidup tenteram. Namun, ternyata tidak. Karena di Negeri Senja tidak ada apa-apa, selain kemiskinan, kejahatan, dan penindasan. (hal.9)

Janji akan dimanjakan oleh keromantisan panorama senja mendadak berubah tegang karena kondisi sosial-politik-ekonomi di Negeri Senja. Dikisahkan bahwa sudah hampir beratus-ratus tahun, orang-orang di Negeri Senja menunggu kehadiran Penunggang Kuda Dari Selatan. Semangat mereka menunggu tak padam laiknya senja di Negeri Senja yang tak kunjung malam. Mereka yakin, terlebih Guru Besar di Kuil Matahari, pemuka agama, meyakini bahwa Penunggang Kuda dari Selatan akan menjadi ‘ratu adil’ sekaligus penyelamat akan carut-marut di Negeri Senja.

Separah apa kondisi Negeri Senja hingga banyak warganya menunggu sosok Penunggang Kuda dari Selatan yang belum benar adanya. Hanya noktah harapan bercampur genangan putus asa yang membuat orang menunggu sesuatu tanpa kepastian seperti penduduk Negeri Senja menanti Penunggang Kuda dari Selatan.

Kebahagiaan sesuatu yang semu di Negeri Senja. Kebahagiaan adalah saat-saat sesaat yang hanya terjamin abadi dalam kenangan. Sehingga hanya mereka yang mampu menghidupkan kenangan bisa mempertahankan kebahagiaan itu. (hal.22)

Pembunuhan di Negeri Senja begitu lumrah. Pentas pembunuhan tejadi di mana-mana. Kekerasan menjadi bahasa lazim di Negeri Senja. Apalagi adanya Komplotan Pisau Belati, gank pembunuh bayaran yang ditugaskan membinasakan orang-orang yang dianggap berbahaya di Negeri Senja. Organisasi misterius mirip samurai dan ninja yang hanya tahu pekerjaannya membunuh, tanpa tahu siapa partner kerja dan tak perlu mengungkap rahasia. Karena imbalannya adalah uang atau kematian.

Tokoh penguasa Negeri Senja adalah Tirana, perempuan buta yang keji sekaligus penindas. Sebagai pemimpin, Tirana melakukan pembersihan besar-besaran. Lawan-lawan politik dari semua golongan disapu bersih, nyaris tanpa sisa. Siapa pun bisa ditangkap, ditahan, dan dihukum mati dalam keadaaan apapun. (hal.68) Tirana adalah pemimpin tiran Negeri Senja. Selain membunuh lawan politik, dia juga mereka-reka sejarah, menghapus catatan sejarah lawas dengan baru yang kadang bertentangan hingga sejarah Negeri Senja kabur.

Di tengah kondisi sedemikian kacau, beberapa kelompok intelektual membuat gerakan bawah tanah. Tentu tanpa sepengetahuan Tirana dan para pengawalnya yang terkenal kejam. Meski demikian, tidak sedikit kaum intelektual harus menemui hukuman mati di tangan pengawal Tirana.

Mayat-mayat para cendekiawan bergelimpangan di berbagai pojok gelap dengan luka tusukan. Pisau melengkung menancap di dada, di punggung, atau merobek lembung sehingga usus, hati, empedu, dan ginjalnya berhamburan di jalanan. (hal.77)

Kekejaman Tirana membuat Negeri Senja tak seindah senja, namun membuat hidup di Negeri Senja terus dilingkupi kegelapan.

Ingatan Orde Baru
Beberapa bagian dalam novel Negeri Senja ini jelas membawa ingatan pembaca ke kondisi Indonesia di zaman Orde Baru. Ketika rezim Soeharto berkuasa dan menindas kebebasan intelektualitas. Banyak suara-suara protes di Orde Baru dibungkam paksa atau bahkan lenyap usai ada perintah ‘amanken!’.

Metafora senja dalam novel ini, bisa diartikan bahwa sejatinya negeri kita dilumuri keindahan dan keromantisan. Bahwa negeri ini adalah zamrud kathulistiwa dengan kekayaan alam, kesuburan gemah ripah loh jinawi. Namun karena di bawah pimpinan Tirana, pemimpin tiran dan kejam, keindahan beralih menjadi kegelapan, kemiskinan, dan penindasan. Benar-benar narasi fiksi dari sejarah bangsa ini.

Bila Orde Baru tumbang karena gelombang demonstrasi 98, maka kekuasaan Tirana di Negeri Senja digoyang oleh pemberontakan yang dipimpin Partai Hitam. Gelombang protes, penjarahan, dan pembantaian terjadi di seantero Negeri Senja. Tirana memang berkuasa seperti Tuhan, tapi dia bukanlah Tuhan. (hal. 198)

Novel ini menjadi sangat menarik selain kehalusan kritik Seno melalui ironi di Negeri senja, adalah bagaimana Seno membuat ending dalam novel. Seno kembali menarik diri untuk tidak terlibat terlalu jauh sebagai pengkritik cerewet. Seno justru kembali memosisikan diri sebagai penulis dan pengembara. Bahwa pengembara tidak berhak mengubah Negeri Senja karena dia hanya singgah sebentar. Sedangkan pribadi Seno sebagai penulis yang memandang dunia sebagai serangkaian cerita, tidak berkuasa mengubah Indonesia. Maka usai pemberontakan, pengembara kembali melanjutkan perjalanan dan senja belum juga berubah malam.
Pesan Sekarang