Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Semasa Kecil di Kampung (Muhamad Radjab)

gambar
Rp.80.000,- Rp.60.000,- Diskon
Judul: Semasa Kecil di Kampung
Penulis: Muhamad Radjab
Penerbit: KPG, 2019
Tebal: 240 halaman
Kondisi: Baru (Ori Segel)

Masa kecil merupakan momentum paling menentukan dalam tumbuh kembang seseorang di masa depan. Apapun tantangan yang dihadapi saat kecil, niscaya akan menjadi pelajaran berharga guna menjalani kehidupan sebaik-baiknya.

Maka dari itu, kenangan masa kecil bukan melulu berisi perasaan nostalgia akan kampung atau desa yang menjadi tempat seseorang lahir dan berkembang. Ada pergulatan dalam diri tiap anak yang disinyalir dapat membuat sensitivitas dan empatinya semakin terasah.

Menariknya, hal itu yang dituangkan oleh jurnalis masa silam, Muhamad Radjab dalam buku otobiografi berjudul Semasa kecil di Kampung (1950). Sebagai anak Minangkabau yang lahir dan besar di daerah sekitar Danau Singkarak, Radjab –-atau yang biasa dipanggil Rijal— mencoba menunjukkan pangalaman masa kecilnya (1913-1928) yang mengundang pandangan kritis terhadap terhadap semua hal.

Dalam hal ini, Rijal kecil tak cuma menghabiskan waktu untuk bermain-main saja. Melainkan dalam setiap kesempatan Rijal selalu mengutama rasa ingin tahunya sebagai pisau ukur dalam menggali banyak hal, terutama terkait perilaku sosial, pendidikan maupun agama.

Lantas, namanya anak juga kecil. Rijal yang tiap harinya dikenal nakal, aktif dan penuh siasat sering kali di anggap sebagai anak yang kerap buat pusing orang tua. Bahkan, dalam beberapa kasus, sikap rasionalnya menuntunnya mendapatkan gelar kafir dari guru ngajinya.

Pun karena pertanyaan-pertanyaan yang bersifat skeptis terhadap agama. Meski begitu, Rijal tak berhenti. Dirinya selalu belajar memahami dan mendalami banyak hal sehingga muncul hasrat sebagai anak minang untuk melakoni tradisi merantau yang dianggapnya akan membuka cakrawala berpikir.

Tercatat banyak hal menarik dalam buku ini. Mulai dari perdebatan terkait bentuk bumi, pentingnya belajar silat bagi orang Minang, tragedi gempa besar di Minangkabau pada 1926, dan poligami di desanya.

Perdebatan bentuk bumi
Perdebatan akan bentuk bumi itu bulat atau datar masih bergaung hingga hari ini. Namun, dalam buku ini tenyata perdebatan seperti itu telah lama ada. Bahkan, Rijal dengan sikap rasionalnya sering kali skeptis terhadap alibi daripada mereka yang menolak fakta bumi itu bulat.

“Lebai Saman inilah orang yang mula-mula mengatakan kepada saya bahwa matahari mengitari bumi, dan bumi datar, dipikul oleh seekor lembu, yang berdiri di atas sebuah batu, dan batu ini di atas seekor ikan, dan ikan di atas laut, dan laut di atas hawa. Hawa ini di atas apakah, Lebai Saman tidak tahu. Wallahu alam, katanya,” tertulis di halaman 39.

Lalu semasa Rijal mulai kelas empat SD, Rijal datang kembali kepada Lebai Saman dengan tujuan memberikan informasi bahwa guru yang mengajarinya, memberi tahu bahwa bumi itu bulat seperti telur. Dan bumi berputar mengelilingi matahari.

Akan tetapi, Lebai Saman tak mau menerima dan menyalakan jikalau guru yang mengajari Rijal salah. “Ajaran itu datang dari setan. katanya”

Belajar silat
Bagi orang Minang yang telah beranjak remaja, belajar silat merupakan hal yang wajib. Tak cuma bagi Rijal, namun belajar silat juga dilakonkan oleh hampir seluruh anak-anak di kampungnya.

Beruntung, yang menjadi guru silat Rijal ialah ayahnya sendiri. Rijal yang awalnya ogah-ogahan belajar, akhirnya mau belajar karena penjelasan ayahnya.

“Betul engkau tidak akan mencari sengketa. Tetapi seandainya ada orang gila-gilaan memukulmu dulu dan menantangmu berkelahi, engkau harus pandai mengelakkan dan membalas. Betapa juga engkau ingin damai; sebagai persediaan perlu kepadaian ini,” tertulis pada halaman 71.

Tragedi gempa besar 1926
Hidup di negeri Zamrud Khatulistiwa sudah pasti akrab dengan yang nama gempa bumi. Bahkan, momentum gempa sering kali menjadi pangalaman yang paling di ingat oleh sebagian besar anak-anak Indonesia, termasuk Rijal.

Dulu di dataran Minangkabau pada 28 Agustus 1926 pun tak luput dilanda gemba besar. Meski daerah disekitar danau singkarak tak banyak jatuh korban, namun karena gempa susulan yang sering kali datang setelah gempa pertama, orang-orang kampung beranggapan bahwa kiamat akan segera datang.

“Semua orang sembahyang, laki-laki dan perempuan, tiada terkecualinya. Di pasar-pasar laku betul kain putih untuk telekung perempuan dan kain pelekat tenun Silungkang. Pendeknya di seluruh Minangkabau orang bertambah taat beribadah. Dalam mara bahaya semua orang ingat Tuhan,” ada di halaman 142.

Untungnya, lama kelamaan orang menjadi terbiasa dengan gempa karena gempa susulan terjadi selama berbulan-bulan. Kelak, pada akhirnya dunia yang akan kiamat seperti diramalkan banyak orang di desanya, tidak jadi. Orang mulai berhenti sembahyang. Surau (masjid kecil) yang ramai sekali selepas gempa besar, kini mulai seperti biasa. Yang rajin dan taat saja datang setiap hari.

Parahnya lagi, dosa-dosa kecil kembali diperbuat, seperti main kartu, mengadu ayam, dan mempergunjing orang lain. Padahal, pada saat gempa masih membuat panik orang-orang di kampungnya, mereka hidup suci bak malaikat.

Kritiknya pada poligami
Dalam usia yang menginjak remaja, Rijal nampaknya cukup berani berpikir kritis melihat tingkah laku guru-guru agama di kampungnya yang notabene beristri lebih dari satu alias poligami. Tak cuma kepada guru agama saja rijal menghadirkan kritiknya, melainkan kepada pengikut agamanya.

Rijal melihat fenomena ini sering kali disebabkan oleh pengikut yang ingin mengambil berkah kealiman untuk masuk surga. Tak jarang mereka pun menjodohkan anaknya dengan guru agama yang bahkan sudah memiliki empat orang istri.

“Orang kampungnya dan orang kampung lain ingin bermantukan syekh itu. Tetapi menurut syariat Islam, penganutnya tidak boleh berbini lebih dari empat. Supaya orang lain mendapat bagian, bermantukan syekh yang diperebutkan, maka syekh terpaksa menceraikan lagi seorang, supaya jumlah bininya tetap empat,” tulisnya di Halaman 118.

“Tetapi, sayang bagi perempuan yang diceraikan: jarang orang lain mau mengawini janda itu, takut ketulahan. Banyak benar janda syekh yang tidak kawin lagi,” tambahnya.

Kiranya, begitulah seluruh rangkuman dari buku otobiografi Muhamad Radjab. Selebihnya, dengan Membaca buku ini niscaya Anda akan dibawa kembali kepada memori-memori indah semasa di kampung.

Beberapa di antaranya terkait momentum keseruan hidup tanpa gadget, menikmati udara segar, mandi di danau, berpetualang naik bukit, bermain petasan, dan bersenda gurau bersama teman di surau. Beruntungnya, kita bisa menikmati semuanya dalam buku Semasa Kecil di Kampung.
Pesan Sekarang