Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-negara Muslim Asia Tenggara

gambar
Rp.65.000,- Rp.50.000,- Diskon
Judul: Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-negara Muslim Asia Tenggara
Penulis: Janet Steele
Penerbit: Bentang Pustaka, 2018
Tebal: 304 halaman
Kondisi: Baru (Ori Segel)

Buku ini menarik perhatian pertama-tama karena penulisnya yang memiliki kepakaran dalam bidangnya, Janet Steele, seorang Profesor Jurnalisme di George Washington University, sekaligus sebagai Director Insititute for Public Diplomacy and Global Communication. Pengalamannya yang panjang dalam bidang yang digelutinya itu menciptakan kesan bahwa buku yang dihasilkannya ini memang cukup otoritatif. Buku ini juga memiliki daya tarik yang kuat karena keseriusan pengarang dalam menuliskannya, setelah melakukan penelitian panjang tentang praktik jurnalisme oleh media-media Islam di Indonesia dan Malaysia selama 20 tahun. Artinya, informasi buku ini berbasis riset yang cukup panjang.

Penulisan buku yang menarik ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan pengarangnya tentang klaim yang sudah menjadi familiar dalam praktik jurnalisme di Barat, bahwa aktivitas jurnalisme merupakan “praktik sekular” karena jurnalisme dipandang sebagai perjuangan ekspresi demokrasi dan perlindungan hak-hak dasar manusia dan warganegara. Bentuk ekspresi itu muncul di Eropa akibat modernisasi dan suksesi pencerahan di Eropa, yang meninggalkan pengaruh agama dan budaya warisan abad pertengahan yang religius. Dalam hal ini, religiusitas tergeser oleh praktik-praktik rasional murni berdasar ilmu pengetahuan.

Penulis buku ini berhasil meyakinkan, bahwa fenomena tersebut hanya dijumpai dalam konteks masyarakat Eropa. Sebab di belahan dunia yang lain, khususnya negara Indonesia dan Malaysia, fenomena sejarah justru terbalik dari hukum sejarah pencerahan Eropa. Trayek modernisasi tidak secara otomatis diiringi dengan meninggalkan praktik-praktik dan norma-norma religius dari ruang publik. Melalui buku ini pula, Janet Steele melakukan pembuktian empiris, untuk menunjukkan praktik jurnalisme yang khas Timur, bahwa nilai-nilai agama Islam memiliki pengaruh yang kuat dalam ruang publik, sebagaimana tampak dalam praktik-praktik jurnalisme oleh media Islam di kedua negara tersebut. Di Eropa, menjadi wartawan tidak didasarkan pada motivasi keagamaan apapun, selain rasionalitas dan profesionalitas an sich. Namun di tempat lain, alih-alih agama tidak memiliki ruang dalam jurnalisme, agama justru memberikan basis nilai yang kuat (axiological motives behind actions) terhadap subjek seorang jurnalis. Praktik jurnalisme media Islam di Indonesia selama 20 tahun mengekspresikan nilai-nilai etika-religius Islam yang universal dengan cara yang beragam, tanpa harus terjebak pada “sekularisme”, dan juga tanpa harus bertumpu pada nilai-nilai “liberalisme” yang ekstrim. Melalui fenomena inilah tampak religiusitas dan profesionalitas jurnalistik menemukan titik temu.

Dalam buku ini, Steele menceritakan observasinya terhadap proses perkembangan jurnalisme di Asia Tenggara, khususnya terhadap lima media Islam di Indonesia dan Malaysia. Ia ingin membuktikan, bahwa praktik-praktik jurnalisme sesungguhnya mengekspresikan nilai-nilai keislaman (islamic values). Maka dari itu ia mengambil tajuk bukunya Mediating Islam (versi Inggris). Steele menyebutkan bahwa nilai-nilai yang lazim dijunjung tinggi dalam jurnalisme, seperti kebenaran, kejujuran, keseimbangan, verifikasi, independensi, keadilan, perjuangan bagi kaum yang lemah, sebenarnya juga menjadi etos dalam Islam, dan telah mewarnai etos para jurnalis di Indonesia dan Malaysia.

Meskipun mereka tidak menggunakan label-label Islam yang baku, tetapi toh praktik mereka didasarkan pada nilai-nilai sakral yang mereka perjuangkan berdasarkan pengalaman religius mereka, khususnya keadilan dan keberpihakan pada kaum yang lemah (marginal dan mustadhafin). Nilai-nilai tersebut dieksresikan dengan interpretasi masing-masing oleh media-media yang secara tegas mengaku sebagai media Islam atau media yang tidak tegas sebagai media Islam tetapi pada praktiknya diisi oleh orang-orang muslim yang memiliki pemikiran Islam yang bervariasi. Contoh lain, misalnya, di Indonesia dan Malaysia, peran pers sebagai pengawas dijalankan bukan dalam konteks demokrasi ala liberalisme, melainkan lebih kepada kewajiban seorang muslim untuk menghentikan setiap perbuatan jahat ketika melihatnya, dan melakukan perubahan terutama dengan lisan dan tangannya sebagai ekspresi keimanan (p. 26) Jurnalise yang islami ini tentu terwujud dalam praktik dengan berbagai macam bentuk.

Keanekaragaman ekspresi ini turut pula dipengaruhi oleh politik, ekonomi, dan khusunya interpretasi terhadap nilai dan norma agama. Dalam praktik jurnalisme khususnya, agama masih menjadi dasar nilai yang utama (core values), dengan ekspresi kultural yang beragam. Artinya, ada dasar-dasar kebenaran yang signifikan bagi kebebasan pers di dalam perspektif agama Islam, antara lain: “prinsip menyeru kepada kebaikan dan melarang kemungkaran, nasihat yang baik dan tulus, konsultasi, pertimbangan mandiri, hak untuk mengkritik pemimpin atau pemerintah” (p. 7), prinsip verifikasi yang selaras dengan prinsip isnad dan tabayun dalam tradisi Islam (p. 226).

Dalam observasinya terhadap 5 media Islam utama di Indonesia dan Malayasia, Steele melihat, mereka memiliki tekanan-tekanan yang berbeda dalam mengkontekstualisasikan Islam dan jurnalisme, dengan ekspresinya yang beririsan satu sama lain. Di Indonesia, tiga media mengekspresikan keislaman berbeda. Majalah islami Sabili mewakili Islam yang skripturalis literer, mendasarkan pemikirannya pada praktik salafu salih atau orang-orang salih terdahulu, berusaha menolak hal-hal yang meninggalkan prinsip salaf, dan tegas menolak liberalisme. Mereka secara tegas menyebut sebagai media “Islami” (p.37). Harian Republika, khususnya setelah lepas dari penaruh ICMI, mewakili Islam yang modern, memuat artikel-artikel tentang Islam, dan menjadikan muslim kelas menengah perkotaan sebagai pasar utamanya. Artikel yang dimuatnya selalu berusaha memikat masyarakat muslim, dengan menawarkan tentang “kesalehan populer” yang menarik hati (p.84). Majalah Tempo dipandang sebagai media mewakili Islam kosmopolitan, yang menonjolkan “rasa Islam” tanpa harus memakai simbol-simbol Islam. Mereka konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan, dan mengekspresikan praktik-praktik jurnalisme yang lebih beroreintasi “kosmopolitanisme”, tanpa harus terjebak dalam “liberalisme” dan “sekularisme” (p.191) Adapun di Malaysia, dua media yang dilihat adalah Harakah dan Malaysiakini. Harakah menyuarakan aspirasi Partai Islam. Mereka berusaha untuk menyeimbangkan prinsip-prinsip jurnalisme, ajaran Islam, dan kepentingan elit partai yang silih berganti (p.116). Sementara Malaysiakini, berjuang untuk menyeimbangkan wacana ras dan agama, sekaligus menyediakan liputan kritis tentang pemerintah (p.156). Sampai pada taraf tertentu, karakter kosmopolitan juga masih tampak pada kelimanya (p. 242).

Jadi, sebagaimana persepsi penulisnya sendiri, buku ini dapat disebut buku tentang jurnalisme, juga sekaligus buku tentang Islam, khususnya praktik jurnalisme keislaman kaum muslim, tetapi bukan membicarakan teologi Islam (Islamic theology) yang doktriner (p. 34). Lebih tepatnya mungkin etika jurnalisme Islam (Islamic journalism ethics), dan sebagian menyebut secara lebih ideologis dengan jurnalisme profetik (prophetic journalism). Steele melihat jurnalisme keislaman (Islamic journalism) bukan melalui diktat defintif sebagaimana yang diajarkan di universitas, tetapi melalui pengalaman praktik yang dilakukan para jurnalis muslim yang digali melalui penelitian etnografis dan pengalaman empiris yang kaya.

Oleh sebab itu, berdasarkan temuannya, Steele menyimpulkan bahwa jurnalisme tidak bisa dipahami secara monolitik, dan tidak bisa semata-mata memakai lensa Barat untuk mengklaim bahwa jurnalisme dan ilmu pengetahuan jurnalistik harus bebas dari pengaruh agama. Bagaimanapun, fenomena jurnalisme di Asia Tenggara berbeda dengan jurnalisme Barat yang rasionalistis maupun jurnalisme Timur Tengah yang semi-otoritarian. Terlebih dengan kebebasan pers yang relatif terbuka pasca reformasi, kebebasan pers di Indonesia dapat tumbuh subur dan dirayakan tanpa harus menimbulkan ancaman yang serius kepada otoritas agama.

Secara umum kelebihan buku ini terasa karena penulis berhasil menggali dari berbagai informan yang otoritatif sekaligus menggunakan data-data sekunder yang cukup padat. Namun, tulisan ini tidak bebas dari kekurangan khususnya karena Janet Steele hanya mengambil tiga media untuk diobservasi dari sekian banyak media Islam di Indonesia. Selain itu durasi yang diulas di setiap media cenderung tidak seimbang sehingga objektivitas buku ini layak dipertanyakan. Lepas dari itu, keuletan, keseriusan, kejelian dan ketajaman penulisannya dalam menjalin tulisan menjadikan setiap informasi dalam buku ini tidak boleh terlewatkan untuk dinikmati
Pesan Sekarang