Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ronggowarsito: Pujangga Terakhir Tanah Jawa (1802-1873)

Berbicara kesusastraan Indonesia pada umumnya, dan Jawa pada khususnya, orang tak bisa tidak harus mencatat nama pujangga agung dari Surakarta, Raden Ngabehi Ronggowarsito. Dialah pujangga besar Jawa, yang terkenal sebagai pujangga peramal yang sangat berpengaruh di Jawa dan juga sosok yang kontroversial. Ronggowarsito meninggalkan puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estetika yang menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya, dan teologi telah membuatnya dianggap sebagai pujangga paripurna di Keraton Surakarta pada akhir abad ke-19. Karena itu, tersebar keyakinan, khususnya dalam masyarakat Jawa, bahwa R. Ng, Ronggowarsito adalah Pujangga Jawa terakhir, sedang penulis sesudahnya dianggap sebagai "penulis" biasa atau sastrawan saja.

Ronggowarsito juga disebut-sebut sebagai pendobrak tradisi kesusastraan konvensional Jawa. Pada masa sebelum Ronggowarsito, apa yang dinamakan kesusastraan adalah karya-karya yang berbentuk puisi resmi atau "tembang" (yakni Macapat, Sekar Tengahan dan Sekar Ageng), yang berkaitan erat dengan seni gamelan, Ronggowarsito menerobos batasan konvensional ini. Perkenalannya dengan kesusastraan Barat (antara lain melalui persahabatannya dengan Gericke, Winter dan Palmer) mulai mempengaruhi orientasi kesusastraannya. Selain tembang, dia juga mulai mengarang prosa, dan sejak itu lahirlah babak baru dalam khazanah kesusastraan Jawa, meskipun pada awalnya masyarakat Jawa masih kesulitan menerima terobosan ini. Selain itu, menurut sebuah artikel karangan Dr. Th. Pigeaud yang terbit pada 1932, kepujanggaan Ronggowarsito juga diperoleh lantaran ia dapat membawakan pemikiran filosofis dalam bentuk syair yang indah menurut cita-rasa kesusastraan Jawa. Banyak karangan filosofisnya kelak menjadi pegangan hidup rakyat Jawa kebanyakan.

Meskipun Ronggowarsito banyak mengkritik kekuasaan dan menyoroti masalah sosial yang carut-marut pada waktu itu, tetapi kedudukannya sebagai abdi raja membuatnya juga harus menulis sajak yang mengagungkan penguasa (raja). Disisi lain, Ronggowarsito juga terkenal lewat syair ramalannya yang melegenda, ramalan "Zaman Edan" yang dimuat dalam salah satu karyanya, Serat Kalatidha (Zaman Keraguan), sebuah karya yang merupakan reaksi terhadap kemerosotan moral dan sosial masyarakat pada waktu itu, Bagian ramalan yang terkenal itu berbunyi:

Amenangi jaman edan, ewuh aya
ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni boya
kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilallah karsa Allah
Sakbeja-bejane kang lali
Luwib beja kang eling Ian waspada

(dari Serat Kalatidha, Bab 8: Sinom).

Terjemahan bebasnya: "Mengalami zaman edan, akan terasa sulit dan bimbang dalam bertindak dan bernalar. Ikut gila tidak tertahankan, tetapi jika tidak ikut tidak akan mendapat bagian rezeki dan akhirnya kelaparan. Tetapi sudah menjadi kehendak Allah, semujur-mujumya (orang) yang lupa (kepada Tuhan), masih lebih mujur (orang) yang ingat (Tuhan) dan waspada."

Ramalannya tentang masa Kalabendhu banyak dipercaya orang, khususnya bagi masyarakat Jawa. Dalam sebuah puisi sebelas bait yang berjudul "Kalabendhu" dia menuliskan renungannya tentang situasi "sosio-politik dan kebudayaan" pada zamannya. Sajak ini bagi sebagian orang bahkan dianggap meramalkan situasi kekacauan atau kalabendbu yang kelak akan menimpa Indonesia. Seorang dalang Jawa terkenal, Ki Manteb Sudarsono, mengatakan bahwa sajak "Kalabendhu" memuat apa yang disebut "suryo sengkolo" atau sandi tahun matahari, yang menggambarkan kapan situasi Kalabendbu itu akan terjadi. Kalabendbu atau Zaman Kutukan konon dimulai dari tahun Pandito Ambuko Wiwaraning Naroko (Pendeta Membuka Pintu Neraka) dan berakhir pada tahun Janmo Muluk Simo Kadulu (Manusia Terbang Hilang dari Pandangan). Menurut sang dalang, sebagaimana disampaikan Rendra (1999), pendeta adalah sandi angka 7, membuka adalah 9, pintu adalah 9, dan neraka adalah 1. Berdasarkan tradisi tahun penulisan tahun Jawa yang dibaca dari belakang, sandi itu merujuk ke tahun 1997 Masehi sebagai tahun permulaan Zaman Kutukan. Sementara batas akhirnya adalah Manusia (1), Terbang (0), Hilang (0) dan Pandangan (2), atau tahun 2001 Masehi. Entah itu kebetulan atau memang ramalannya ampuh, tahun-tahun itu mengingatkan kita pada masa-masa krisis nasional yang dimulai sejak pertengahan 1997 yang ditandai oleh kekacauan yang berdarah-darah. Terlepas dari validitas dan pro-kontra ramalan itu, banyak syair Ronggowarsito hingga kini masih dipercaya mengandung ramalan masa depan yang akurat —bahkan konon dia pernah meramalkan tanggal kematiannya sendiri meialui salah satu sajaknya dalam kitab Sabdajati.

R. Ngabehi Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada 1728 Jawa (14 Maret 1802 Masehi), putra dari RM Ngabehi Pajangswara, seorang carik di Kadipaten Anom. Ibunya, Raden Ayu Pajangswara, seorang keturunan kesembilan dari Sultan Trenggono yang pernah bertakhta di Kerajaan Demak. Kakeknya, RT Sastronagoro (atau Raden Ngabehi Yasadipura II), seorang sastrawan, terkenal dengan karyanya seperti Sasana Sunu, Dasanama Jarwa dan Wicara Keras. Kakeknya pula yang pertama kali menemukan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal.

Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk mengirim Bagus Burham, yang saat itu berusia 12 tahun, untuk nyantri ke Pesantren Gebang Tinatardi Ponorogo asuhan Kiai Kasan Besari sejak 1813. Sebagai putra bangsawan, Burham memunyai seorang emban bernama Ki Tanujoyo yang juga guru mistiknya. Karena kebiasaannya berjudi, Bagus Burham kehilangan semua bekalnya hanya dalam tempo setahun. Bersama abdinya, dia pergi meninggalkan pesantren dan berjualan. Belakangan dia kemudian kembali ke pesantren Kiai Besari. Namun, kenakalannya tidak kunjung mereda sampai akhirnya dia mendapat marah besar dari gurunya. Sejak itu. Bagus Burham mulai sadar, dan belajar dengan cepat —kecepatannya dalam belajar membuat guru dan teman-temannya sangat heran. Setelah keluar dari pesantren, dia dididik oleh kakeknya sendiri, dan darinya dia mendapat dasar-dasar pengetahuan kesusastraan Jawa. Dia kemudian diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata untuk mempelajari ilmu "Jawa-kawijayan" (ilmu kebatinan, Kejawen, serta ilmu kanuragan dan kesaktian untuk menolak kejahatan).

Merigingat luasnya pengetahuan Bagus Burham, pada Oktober 1818 Raja Surakarta Sri Pakubuwono IV berkenan mengangkatnya menjadi pegawai keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di Kadipaten Anom dengan gelar Rangga Pujangga Anom atau Rangga Panjanganom. Pada tahun ini pula dia menikah dengan Raden Ajeng Gombak.

Dia kemudian berguru ke Surabaya dan Bali, yakni kepada Kiai Tunggulwulung di Ngadiluwih, dan Kiai Ajar Wirakanta dan Kiai Ajar Sidalaku di Tabanan. Sekembalinya ke Surakarta, pada 1822 dia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka. Pada periode inilah Bagus Burham mulai menyusun buku pertamanya, Jayengbaya, yang memuat kisah tokoh Jayengbaya, seorang pengangguran yang konyol dan selalu berkhayal tentang pekerjaan. Ceritanya disusun dalam bentuk tembang Asmaradana sebanyak 250 bait.

Pada November 1821, Bagus Burham menikah dengan Raden Ajeng Gombak, putri Bupati Kediri Cakra Adiningrat. Dari pemikahan ini, dia dikaruniai enam anak. Ketika pecah Perang Diponegoro (1825-1830), dia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito. Pada masa ini, dia sudah menjadi guru dan banyak siswanya yang berasal dari negeri asing, seperti CF Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan sebagainya. Ronggowarsito juga bersahabat karib dengan Sri Mangkunegoro IV, raja dan sastrawan besar yang terkenal berkat karya seperti Serat Wedhatama dan Tripama. Bersama CF Winter Ronggowarsito membantu menyusun kitab Paramasatra Jawi. Winter pernah menawari Ronggowarsito untuk menjadi guru besar sastra Jawa di Belanda dengan gaji 1.000 gulden setiap bulan, tetapi ditolaknya. Ronggowarsito juga menjadi redaktur majalah Bramariani (Juru Martani) yang didirikannya bersama J. Portier. Setelah RT Sastranagara meninggal pada 21 April 1844, Ronggowarsito diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan menduduki jabatan sebagai pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat pada 1845. Pada 1852, Raden Ajeng Gombak meninggal dunia. Ronggowarsito kemudian menikah lagi dengan RMP Jayengmarjana, Mas Ajeng Pujadewata dan Mas Ajeng Maradewata.

Ronggowarsito meninggal dunia pada 24 Desember 1873 dan dimakamkan di Palar, Klaten. Sepanjang hidupnya, Ronggowarsito mengabdi kepada enam raja, yakni Paku Buwono IV (1788-1820), Paku Buwono V (1820-1823), Paku Buwono VI (1823-1830), Paku Buwono VII (1830-1858), Paku Buwono VIII (1858-1862), dan Paku Buwono IX (1862-1893). Pada 11 November 1953, Pemerintah Republik Indonesia memberi tanda penghargaan kepadanya dengan membuat tugu patung Ronggowarsito yang diresmikan di Perpustakaan Radyapustaka Sri Wedari Surakarta oleh Presiden Soekarno.

Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang mampu menuangkan suara zamannya dalam serat-serat yang ditulisnya. Baik jumlah keseluruhan dari karya-karyanya sendiri maupun karya sadurannya belum diketahui dan masih dalam penelitian. Namun, dalam Pameran Buku Ronggowarsito yang diadakan pada November 1953 ditampilkan sebanyak 47 buku karyanya yang berbentuk tembang (sajak) dan gancaran (prosa).

Sebagai seorang inteiektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang di antaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati, yang memuat ajawan tentang "manunggaling kawula-gusti" dan konsep Martabat Tujuh yang dijadikan sebagai dasar pemikiran untuk menjelaskan ajaran tentang Tuhan, asal usul kejadian manusia dan pertumbuhan janin dalam kandungan, pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan Ronggowarsito dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang dan Serat Sabda Jati. Karya lainnya yang terkenal adalah Pustaka Raja Purwa, berisi kisah para dewa dan lakon-lakon wayang; Sabdatama, berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah manusia yang tamak; Serat Cemporet, sebuah roman-liris yang banyak dipuji gaya bahasanya yang indah; Kitab Parama Yoga yang berisi kisah unik tentang asal usul manusia; Wedharaga; dan sebagainya. Belakangan terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli tentang karya asli Ronggowarsito. Sebagian kalangan menganggap bahwa Ronggowarsito tidak menulis sendiri karya-karyanya itu, tetapi ditulis bersama orang lain. Belakangan karya-karya Ronggowarsito yang menggunakan huruf tradisional Jawa mulai diterjemahkan ke huruf latin dan ke dalam bahasa lainnya. Salah seorang perintis penerjemahan itu adalah Ki Karkono Kamajaya Partokusumo.

Tri Wibowo BS, editor dan penerjemah freelance, sekarang penunggu Rumah Pustaka Yogyakarta
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 11/Juli 2004