Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengarang dan Akarnya

Malam ini saya berdiri di sini di hadapan saudara-saudara sebagai seorang penerima penghargaan Khatulistiwa Literary Award, Indonesia's Best Fiction Award 2002-2003. Sebuah penghargaan tertinggi dan terhormat yang pernah saya terima selama 43 tahun perjalanan kepengarangan saya. Bagi saya, penghargaan ini merupakan pengakuan atas apa yang selama ini saya yakini dalam corak kepengarangan saya. Namun, saya tidak ingin mengambil kesimpulan dan menyebabkan saya dengan sangat tergesa-gesa menganggap bahwa saya telah mencapai pencapaian terbaik saya lalu terlena dan memandang apa yang telah saya hasilkan adalah puncak dari prestasi saya. Saya mengharapkan penghargaan ini menjadi dorongan perpanjangan usia kepengarangan saya, dan bisa memicu pencapaian yang lebih baik dan dia tidak menyebabkan saya terlena.

Perkembangan gaya tulisan dan aliran, sekarang ini sudah sangat maju dan luar biasa variasi pencapaian cara mereka menyuguhkannya. Sementara saya tetap terpaku pada corak kepengarangan saya; tetap pada jalur yang itu-itu juga. Tidak berubah, tetap terpatri pada penuturan menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan. Terkadang timbul rasa frustrasi pada diri saya karena tidak bisa berubah dari jalur kepengarangan saya yang konvensional itu.

Namun, saya berharap penghargaan yang sangat berharga ini bisa memicu api kepengarangan saya. Semoga saya bisa terus menghasilkan karya terbaik dan penting berikutnya. Semoga saya tidak terjebak hanya sekadar menghasilkan fotokopi dari apa yang pernah saya hasilkan. Semoga pula saya bisa terus melakukan proses kreatif, tidak hanya sekadar menjadi mesin atau tukang yang bekerja untuk memenuhi target. Saya juga berharap dan bermohon kepada Allah semoga kehidupan kepengarangan saya bisa menghasilkan karya-karya dengan nilai-nilai estetis, cerdas, orisinal dan bisa melekat lama di dalam hati pembaca. Semoga pula karya-karya yang kelak saya hasilkan bisa menjadi pengisi jiwa, pencerah kehidupan, alternatif solusi yang berharga. Yang berguna dan yang memenuhi apa yang dibutuhkan mereka, pembaca saya.

Saya tak tahu apa yang hendak saya katakan di sini. Namun, terpikir oleh saya tentang sebuah masalah yang rasanya perlu diluruskan. Walau sebenamya masalah itu tak perlu dipersoalkan. Karena masalah itu telah dilansir sejumlah media massa dan telah pula dikupas secara khusus oleh F. Rahardi, dalam kesempatan ini perlu rasanya saya gunakan untuk memperjelas apa sesungguhnya yang saya maksudkan.

Lebih kurang empat tahun lalu dalam pertemuan sastra di Makassar, saya mengatakan karya sastra itu mengandung kebohongan yang indah. Kenedi Nurhan, penyunting buku-buku saya, mengusulkan; saya setuju agar artikel ini dimuat dalam kumpulan cerita pendek saya Bibir Dalam Pispot; yang memenangkan Khatulistiwa Literary Award, Indonesia's Best Fiction Award 2002-2003.

Kebohongan yang indah yang saya maksudkan tidak dikutip secara utuh oleh media massa yang melansirnya. Padahal, di cerpen "Antena" sudah cukup jelas apa yang saya maksud dengan kebohongan yang indah itu. Namun, F. Rahardi tidak mau berdamai dengan apa yang saya maksud. Tulisnya: "... karya sastra memang beda dengan kebohongan. Bahkan karya sastra harus berusaha melawan kebohongan-kebohongan yang terjadi di masyarakat dengan mengungkapkan kebenaran." Saya setuju seratus persen pendapat itu.

Sementara, kebohongan yang saya maksud adalah sarana. Sarana yang dipakai untuk menyampaikan "melawan kebohongan-kebohongan yang terjadi di masyarakat dengan mengungkapkan kebenaran." Dia mengambil contoh cerpen "Bibir" itu. Memang pada waktu mengucapkan kata bohong itu, saya menjelaskan bahwa adegan membuka-buka pakaian dan menghapus bekas bibir itu adalah bohong belaka.

Di dalam kebohongan itulah disisipkan atau tersimpan pesan-pesan dan nilai-nilai. Inilah yang tidak dijelaskan oleh media massa yang melansir ucapan saya itu. Sebuah kebohongan yang indah. Seperti kebohongan yang dilakukan seorang dokter terhadap pasiennya. Kebohongan yang mengandung muatan terapi penyembuhan. Sama dengan kebohongan seorang pemimpin pasukan dalam usahanya menyemangati anak buahnya. Pesawat helikopter yang jatuh itu bukan ditembak lawan, katanya, tetapi jatuh karena kecelakaan. Begitu juga yang dilakukan para pengarang atau sastrawan. Mereka melakukan kebohongan hanya untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang hendak disampaikan. Di kebohongan itu pulalah terkandung nilai keindahan sebuah karya. Di kebohongan itu pulalah tercermin nilai sastranya. Maka saya bilang kebohongan jenis itu adalah kebohongan yang indah. Bila dalam sebuah karya sastra tidak ada kebohongan di dalamnya, tulisan itu adalah sebuah berita.

Jadi, jelasnya, kebohongan di dalam karya sastra adalah sarana yang dipakai untuk menyampaikan unsur-unsur nilai, pesan-pesan moral dan ide-ide. Bagi saya, sarana jauh lebih penting daripada tujuan. Tetapi, para penanggap, termasuk F. Rahardi, mengartikan kebohongan yang saya maksud adalah kebohongan yang berdasarkan apa yang dia baca pada kamus. Kebohongan yang mengandung unsur kriminal. Kejahatan.

Saya telah menyaksikan begitu banyak kepalsuan dan ketidakadilan di dalam masyarakat, yang mendorong saya untuk mengekspresikan respons pribadi dalam bentuk cerita pendek.

Saya merasa sangat berakar pada masyarakat kita, dalam pengertian saya sangat dekat dan dalam kenyataannya saya merupakan salah satu di antara anggota masyarakat itu sendiri. Namun, bersamaan itu pula, saya merasa tercerabut dari akar tradisi Tapanuli Selatan.

Karena saya tinggal di Jakarta, cerpen-cerpen saya tidak mengisahkan tentang lingkungan tradisional saya. Saya menulis tentang orang-orang Indonesia dan kelihatannya lebih banyak setting Jawa dan tokoh-tokoh Jawa yang muncul dalam cerpen-cerpen saya.

Salah satu cara saya agar dapat mengetahui apa yang terjadi di dalam masyarakat ialah dengan membaca koran secara cermat. Di samping itu, saya juga selalu bersentuhan dengan kepalsuan-kepalsuan dan ketidakadilan di dalam masyarakat lewat pergaulan langsung dengan para anggota masyarakat, mengunjungi tempat tinggal mereka, omong-omong dengan mereka, dan sebagainya.

Semua pengalaman, penghayatan, informasi, ekspresi, dan pergaulan yang saya dapatkan itu, kemudian melalui suatu proses transformasi di dalam pikiran dan hati saya akhimya menghasilkan gambaran (imaji) dan realitas baru.

Cerpen-cerpen saya merupakan perpaduan antara realitas nyata dan realitas baru dari kreativitas saya. Sebagai contoh, suatu hari saya baca di koran tentang seorang wanita yang dipaksa pencopet menelan kalungnya sendiri, karena pencopet itu marah setelah mengetahui kalung itu sebuah imitasi.

Berdasarkan peristiwa itu, kemudian saya pun menulis sebuah cerpen. Saya ingin menampilkan bahwa kemiskinan bisa menyebabkan orang berbuat nekat, tidak hanya terhadap orang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri.

Saya kisahkan seorang saksi yang melihat pencopet menelan kalung. Pencopet itu ditangkap polisi dan dibawa ke kantor polisi. Juga saksi dan wanita pemilik kalung diminta ikut serta ke kantor polisi.
Di kantor polisi, pencopet itu disuruh minum kastroli. Akibatnya, tiga kali polisi mengawal sang pencopet masuk WC, namun polisi tidak juga menemukan kalung itu.

Akhirya, wanita pemilik kalung jatuh kasihan pada si pencopet. Mungkin saya yang salah, katanya.

Barangkali bukan dia malingnya. Hal itu sama juga dikatakan oleh saksi. Polisi lantas membebaskan pencopet. Si saksi merasa menyesal karena telah memberi kesaksian pada orang yang tidak bersalah. Dia minta maaf pada pencopet; memberinya uang untuk membeli sesuatu yang bisa memulihkan kesehatannya yang telah terus-menerus ke WC, mengajaknya naik taksi, dan mengantarkan pencopet itu pulang ke rumahnya. Dalam taksi itu si pencopet trenyuh akan ketulusan dan kebaikan si saksi itu lalu dia merasa tidak tega kalau tidak berterus terang, lalu bilang pada si saksi: "Oh, Anda adalah saksi yang benar. Anda begitu baik hati menolong saya. Saya harus mengaku di hadapan Bapak, memang sayalah yang mencopet kalung wanita itu. Saya telan kembali sebanyak tiga kali kalung itu di WC kantor polisi."

Merasa sangat kasihan pada pencopet itu, si saksi cepat-cepat kabur bersama taksi, setelah lebih dahulu menurunkan pencopet itu di sebuah jalan. Dia takut kalau-kalau pikirannya berubah dan membawa kembali pencopet itu ke kantor polisi.

Dari satu sisi, saya telah tercerabut dari masyarakat tradisi saya sendiri, di sisi lain saya merasa berakar dalam masyarakat Indonesia yang baru, seperti yang kelihatan di Jakarta.

Saya merasa, saya cukup kreatif dalam masyarakat baru ini. Barangkali bisa saya katakan, seandainya saya tidak pindah ke Jakarta, sebagai pengarang saya tidak akan berkembang seperti halnya saya sekarang.

Saya sadari masyarakat tempat saya hidup sehari-hari ini bukanlah masyarakat yang sempuma. Itulah sebabnya saya menulis, untuk menunjukkan ketidaksempumaannya agar orang sadar akan ketidaksempumaan itu dan berbuat sesuatu untuk keadilan dan kebenaran.

Saya merasa, sebagai pengarang itulah peran dan tanggung jawab saya terhadap masyarakat.

Jakarta, 17 Oktober 2003
[Tulisan ini merupakan pidato yang dibacakan oleh Hamsad Rangkuti pada penerimaan Khatulistiwa Literary Award, Indonesia's Best Fiction Award 2002-2003.Tulisan ini telah mengalami pengeditan seperlunya]
Majalah Mata Baca Vol. 2/ No. 4/Desember 2003