Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menelusuri Buku Kehidupan: Saya Melihat Ada Jembatan

"Who Moved My Cheese" pernah dijadikan topik pembahasan seminar di Jakarta dan Bandung pada Oktober 2001. Ya, siapa yang memindahkan "keju" kita yang dapat berupa kedudukan, uang, kesenangan, ketenteraman hati, kebahagiaan keluarga? Tampaknya segalanya cepat atau lambat berubah, tak ada yang tetap di tempat. Siapa atau apa yang mendatangkan perubahan? Takdir llahi, diri sendiri, atasan pemimpin atau pergantian zaman dan lingkungan? Bagaimana sikap kita masing-masing terhadapnya? Mendahului, mengantisipasi, menyesuaikan diri, acuh tak acuh, pasrah atau melakukan perlawanan? Sesungguhnya seminar itu diilhami oleh buku laris Spencer Johnson MD dengan judul serupa. Buku tersebut pemah bertengger selama 70 minggu di daftar buku laris New York Times.

Para pembahasnya dalam seminar di Jakarta adalah Hari Darmawan, pendiri grup Matahari. Dalam usia di atas 60 tahun, ia tampak masih energetik, penuh api, persis seperti dulu sewaktu ia masih muda. Ia seorang "petarung jalanan sejati" (the real street fighter) yang sanggup bertempur dari "pintu ke pintu". Dengan semangat besar, ia ingin come back membangun "kerajaan" Matahari jilid kedua, setelah yang pertama jatuh ke tangan kelompok Lippo. Ada yang menggelarinya sebagai Gatotkaca karena semangat juangnya yang pantang menyerah.

Pembahas yang lain adalah Gede Prama, konsultan, pembicara dan penulis produktif. Ia yang percaya pada keajaiban cinta dengan sikapnya yang teguh-terkendali itu lebih mirip seorang pertapa.

Hidupnya mengalir begitu saja mengikuti jalannya falsafah air. Dalam berdoa, menurut penuturannya, ia tak pemah minta-minta lagi kepada Tuhan. Yang ada hanya rasa syukur dan pasrah semata. Seandainya dipanggil setiap saat oleh Yang Mahakuasa, ia menyatakan sudah siap. Dia dijuluki sebagai Yudhistira dalam seminar tersebut.

Sementara saya sendiri selaku pembicara lainnya lebih merasa sebagai pengembara yang tengah dalam perjalanan melakukan pencarian. Hilir mudik berupaya menemukan sesuatu yang dinilai lebih benar sekaligus berharga. Ada beberapa butir mutiara yang berhasil ditemukan, tetapi tampaknya masih belum memenuhi kelengkapan. Ada tendensi, ada arah yang dituju, sementara yang sudah digenggam kadang-kadang masih dipertanyakan kembali. Agaknya pada diri seorang pengembara sejati memang ada kegelisahan senantiasa dalam mencari.

Shaman atau Sufi Korporat
Sepanjang perjalanan hidup ini saya telah menemukan sejumlah teman yang bersedia menggiurkan ide dan kebijaksanaan terbaiknya. Saya menerimanya dengan tangan terbuka, tetapi kemudian memilah-milahnya. Mana yang bisa diterima, mana yang setengah dipetik dengan catatan, mana yang perlu diendapkan dulu dan mana yang terpaksa ditolak, karena kurang sesuai dengan pandangan hidup saya. Sekalipun yang disebut pandangan hidup itu sendiri mengalami perkembangan dan perubahan. Sejujurnya sejumlah teman itu lebih banyak muncul sebagai pemikir, pengolah gagasan dan penulis. Secara pribadi dari dekat, banyak yang saya tidak kenal. Namun, lewat karya-karyanya saya dapat merasa amat dekat dengan beberapa buah pikiran mereka.

Sewaktu terombang-ambing antara dua dunia yang berbeda, bisnis dan spiritualitas, beberapa di antaranya menawarkan diri untuk mencari jalan keluar. Yang dilihat bukannya sebuah jalan kompromi, melainkan terobosan baru yang penuh makna. Sesudah abad informasi maka kelanjutannya kini disebutnya sebagai abad spiritualitas. Sehubungan dengan itu, saya hanya akan menyebut beberapa karya mereka. Seperti The Corporate Shaman karangan Richard Whiteley (sebelumnya dikenal dengan buku The Customer Driven Company), The Corporate Mystic oleh Gay Hendricks Ph.D. et.al dan The Inner Edge karya Richard Wedemeyer dkk.

The Corporate Shaman menuturkan shaman—asal kata bahasa Tungis di Siberia—sebagai penyembuh perusahaan yang "dapat melihat dalam gelap". Dalam kisah perumpamaan itu bisnis perusahaan Primetec inc. mengalami kekusutan dan kemunduran. Untung ada manajer Jason Hand, shaman modern yang berperilaku layaknya seorang eksekutif masa kini. Hanya bedanya, ia seorang penyembuh dengan sifat welas asih, tetapi sekaligus juga seorang pejuang yang melatih kekuatan (power). Kedua sifat yang seperti bertabrakan itu, berhasil diseimbangkan, sembari menekan rendah ego yang kerap merasa serba tahu. Walau Jason Hand berpengalaman puluhan tahun dan menyandang MBA dari Wharton, ia jujur mengakui untuk sejumlah hal ia merasa betul tidak tahu. Dari ketidaktahuannya itulah ia dengan rendah hati mau mencari jawaban. Agaknya di situ terletak kekuatan sejati seorang shaman korporat.

Samentara The Corporate Mystic atau "mistikus korporat" tak ada hubungannya dengan istilah "mistik" dalam arti klenik yang berkonotasi negatif itu. Kedua penulisnya, Dr. Gay Hendricks dan Dr. Kate Ludeman, setelah melakukan ribuan jam wawancara menyimpulkan, bahwa di perusahaan-perusahaan besar atau organisasi-organisasi modern kini mulai bemuinculan para mistikus atau sufi korporat. Apa ciri yang membedakan mereka dengan kaum lainnya? Mereka memiliki 12 sifat khas yang senantiasa coba diterapkan daiam pekerjaan setiap harinya. Di antaranya dapat disebut mereka menerapkan rumus unggulan yang memadukan kemampuan logika dengan kepekaan intuisi. Bekerja dengan dua tangan pasti lebih efektif dibanding kalau hanya dengan satu tangan. Kebanyakan kaum eksekutif kita lemah dalam hal intuisi karena untuk mernperoleh kepekaan perlu latihan semacam meditasi secara disiplin setiap harinya. Intuisi itu sendiri tidak sama dengan perasaan atau feeling yang kerap melengkapi pikiran atau datang bersama dengan pengalaman. Ia adalah suara dari lubuk hati kita yang paling dalam yang bukan dari hasil penalaran, perasaan atau pencerapan inderawi.

Hal lainnya yang perlu disebut adalah para sufi korporat itu mempunyai kejujuran tinggi (tak hanya dalam masalah uang, tetapi juga berani membeberkan kelemahan diri tanpa peduli dengan citra); visi rnerancang jauh ke depan, tetapi fokus perhatian pada bumi yang dipijak; bekerja efisien dengan memusatkan perhatian sepenuhnya pada rnomen sekarang (living in the present moment).

Dialog berikut ini cukup menarik untuk disimak bersama,

Manajer X: Saya adalah pekerja keras. Jika saya belajar meditasi, apakah hal itu tak akan mengganggu pola kerja saya?
Pertapa Zen: Tidak, tidak. Meditasi hanyalah akan membuat dirimu menjadi tenang, relaks. Siapa bilang bekerja itu harus dengan keras, tegang? (The Corporate Mystic, Gay Hendricks, Ph.D. dan Kate Ludeman, Ph.D.)

Bercermin kepada Jung
Perjalanan melewati sekian dimensi memberi banyak perubahan pada cara pandang saya. Ada orang yang semula saya hormati, tetapi dalam perjalanan waktu penghargaan saya menjadi berkurang terhadapnya. Sebuah contoh: Gus Dur. Sebaliknya, ada juga orang yang semakin didalami malah menimbulkan sikap kagum akan kedalaman dan keluasan wilayah yang pernah dijelajahinya. Pada saat saya tengah mengembara, ternyata ia sudah mendahului menyelam amat jauh dengan perjalanan dirinya. Salah seorang di antaranya ialah Carl Gustav Jung (1875-1961), seorang doktor psikiatri, psikolog, tetapi juga ahli metafisika dengan minat amat luas terhadap banyak bidang.

Sejak kecil Jung sudah menunjukkan diri sebagai anak introvert—melankonik, yang suka melamun, bermimpi dan berkhayal. Alkisah dituturkan dia kerap duduk sendirian di sebuah batu besar sembari bertanya dalam hati: "Apakah saya yang sedang duduk di atas batu atau saya adalah batu di atas mana dia tengah duduk?" Ungkapan sernacam itu menimbulkan analogi dengan pertanyaan Chuang-tse, seorang Taois terkemuka, setelah dia terjaga dari mimpinya. "Apakah saya tadi bermimpi menjadi kupu-kupu atau saya adalah kupu-kupu yang bermimpi menjadi Chuang-tse?" Suatu pertanyaan yang menyerempet masalah transformasi kehidupan.

Ada suatu periode (1907-1913) ketika Jung yang dua puluh tahun lebih muda merasa dekat dengan Freud. Kebetulan keduanya tertarik pada tafsir mimpi dalam hubungannya dengan wilayah ketidaksadaran (unconsciousness) manusia. Keduanya mula-mula saling menghargai dan pernah terpikir oleh Freud untuk menjadikan Jung sebagai "putra mahkota"-nya. Namun, dalam perjalanan waktu terkuak perbedaan mendasar di antara mereka, hingga perpecahan menjadi tak terhindarkan. Freud melihat "ilmu" eksoterik dan agama hanya ilusi, sedangkan Jung berpendapat aspek spiritual dari manusia adalah amat penting. Di mata Jung, Freud dianggap rnemberi tekanan berlebihan pada aspek libido seksualis; apa-apa senantiasa ditinjau dari kacamata seks. Sementara Freud menuduh Jung kurang rasional, karena memberi tempat kepada spiritualisme dan okultisme. Freud juga berpendapat, ketidaksadaran manusia itu didominasi oleh instink dan represi, sedangkan bagi Jung wilayah ketidaksadaran itu memiliki dimensi kreatif dan spiritual. Dua-duanya tokoh akbar di bidang psikiatri dan psikologi, tetapi dengan pendapat yang saling berlawanan.

Suatu saat sewaktu perdebatan antar-mereka memuncak, tiba-tiba Jung merasa wilayah sekitar uluhatinya (solar plexus) menjadi memanas dan mendadak terdengar letusan keras dari lemari buku. Lemari itu guncang dan ambruk, lalu Jung berseru "sebentar lagi akan terjadi ledakan kedua". Benar. Braakk! Dengan ini Jung ingin menjelaskan ledakan itu berasal dari energi psikis yang tak berhasil dikendalikan dan selama ini tak pemah dipercaya oleh Freud (Menarik untuk diteliti ada-tidaknya kesamaan pola antara bekerjanya energi psikis dengan bangkrinya tenaga dalam). Dalam kehidupan Jung peristiwa semacam ini (mind over matter) beberapa kali pernah dia alami sebelumnya.

Apayang menarik perhatian saya dari perjalanan hidup Carl Jung? Ternyata sebagai ilmuwan besar ia berani mempertaruhkan reputasinya untuk menyelidiki bidang-bidang kontroversial, seperti mistisisme, paranormal, alkimia, badan halus (aura), teka-teki UFO dan I Ching. Ia tidak bersikap apriori tertebih dulu, tetapi juga tidak serla merta langsung percaya begitu saja.

Sebagai peneliti ia tidak memelihara jarak, melainkan terjun langsung untuk mengalami sendiri, dengan semangat mau memahami (verstehen). Ia menjadi pelaku yang terlibat intens sebagai subjek-objek dalam sejumlah penelitian. Sepertinya untuk menemukan terapi terhadap pasiennya, Jung tidak keberatan menjadi "kelinci percobaan". Dalam keadaan mimpi dan setengah sadar Jung melihat bayangan khayali, fantasi-fantasi dan gambaran aneh-aneh. Mulai dari bangunan gelap tersembunyi bawah tanah, gua purba, ular hitam, burung pekakak yang baru mati, sampai makhluk-makhluk ganjil yang bermunculan.

Setema berbulan-bulan tampaknya Jung larut dalam perjalanan ke alam tak sadarnya sekaligus melakukan konfrontasi terhadapnya. Ia mengalami disorientasi, kekacauan dan gangguan batin karena keberaniannya menyelam sisi-sisi paling gelap dan terdalam dari jiwanya. Dari alam tidak sadarnya muncul sosok-sosok "roh", seperti Philemon, Eliyah, Anima, Ka yang mengajaknya bertukar pikiran.

Apakah Jung telah menjadi gila? Seperti ia mengalami guncangan-guncangan, tetapi akhimya setiap kali mampu lepas keluar dan pulih kembali:.Yang menakjubkan, dari ziarah batin semacam itu Jung memperoleh inspirasi untuk kelahiran karya-karya besarnya. Seperti penemuan utamanya berupa alam tak sadar kolektif (collective unconsciousness), kumpulan arketip (archetypes), keempat fungsi kesadaran (pikiran, perasaan, intuisi dan penginderaan) sinkronitas (ada yang menyamakan dengan "penyelenggaraan Ilahi") dan individuasi (perjalanan diri mencari keutuhan). Jung yang suka membaca Also Sprach Zarathustra karya Nietzsche—di samping Goethe dan Kant—pasti menyadari bahwa chaos (kekacauan) dalam diri itu perlu ada untuk memberi tempat bagi kelahiran bintang hidup yang menari berkilauan.

Saya coba menarik pelajaran dari ihwal Jung dan suka membatin sendiri. Tampaknya penemuan dan terobosan besar terjelma, kalau sebelumnya terjadi proses penempaan lewat kesakitan (psikis dan fisik). "No Pain; No Gain" (Tanpa Kesakitan, Tanpa Perolehan), agaknya merupakan semboyan yang rnasih berlaku. Justru di tepi chaos, kreativitas besar itu dapat lahir. Ini adalah pesan yang juga disampaikan oleh para penganut teori kompleksitas (complexity theory). Dalam keadaan serba tertib dan rapi jali, yang muncul hanya kemandulan. Tekanan dan persaingan eksternal dan internal senantiasa diperlukan untuk dinamika kelompok dan kemajuan. Siapa takut?

Mencoba Menarik Perbandingan
Menelusuri Jung, walau hanya selintas, membuat saya tercenung, sebab tanpa disengaja tampaknya ada juga kemiripan minat antara kami. Jung tertarik kepada gejala supranatural, parapsikologi dan metafisika. Selain yang sudah disebutkan terlebih dulu, juga terhadap mukjizat keagamaan, medium dan kesurupan, spritualisme, astrologi, kehidupan setelah mati dan sebagainya. Jadi, bidang jelajah Jung sungguh teramat luas. Sementara saya coba memusatkan diri pada aspek-aspek tertentu saja, seperti pernapasan dan energi vital (prana, chi), penyembuhan holistik, meditasi dan bawah sadar serta prakognisi. Menjadi ahli di satu bidang saja seperti prana sudah sulit, apalagi ingin mumpuni di banyak macam bidang. Namun, Jung melakukan itu semua sebagai ilmuwan dengan latar belakang ilmu kedokteran jiwa, psikologi, arkeologi, mitologi, mistisisme dan filsafat. Hasil telaah dan temuannya itu dituangkan dalam berjilid-jilid buku dan makalah. Gaya bahasanya penuh erudisi, serius dan ditujukan lebih untuk kalangan akademik. Sebaliknya tinjauan saya lebih merupakan kesan dan refleksi seperti seorang jurnalis. Jung seorang ilmuwan besar, sedangkan saya orang yang lebih pragmatis yang mencoba menarik manfaat dari apa yang diperlajari.

Akhir-akhir ini yang menarik minat saya adalah ditemukannya buku The Tao of Jung (1996) oleh David Rosen MD dan artikel John Ryan Haule "Jung's Practice of Analysis: A Western Parallel To Ch'an Buddhism" (Journal of Individual Psychology, 2000). Tanpa disangka di sana dibeberkan sejumlah kesejajaran antara ajaran Taoisme dan Zen dengan buah pikiran Jung. Apakah ini koinsidensi biasa atau kebetulan yang mengandung makna?

Memang kemudian hari Jung banyak mendalami I Ching dan Lao Tzu, tetapi saya tak mengetahui apakah itu yang mempengaruhi buah pandangannya. Atau sebenarnya sejak semula, sedari muda Jung memang pada dasamya seorang Taois. Kalau memang demikian halnya, tampaknya persamaan dan kesejajaran wacana dan kimiawi itu dapat terjadi di mana-mana. Antara manusia di Barat dengan insan lainnya di Timur tanpa mereka perlu saling rnengenal sebelum dan sesudahnya.

Di mata saya Jung dan beberapa yang lain (seperti penutls The Corporate Shaman dan The Corporate Mystic) telah berhasil membangun jembatan antara dunia-dunia yang berlainan. Antara ilmu dengan spiritualitas, antara fisik dengan metafisika, antara rasional dengan suprarasional. Saya dengan gembira meniti jembatan di atasnya dan hilir mudik bergerak dari tepi satu ke tepi lain serta sebaliknya. Ada rasa bahagia karena perjalanan hidup ini telah menuntun saya untuk tidak berhenti mengendap di salah satu tepiannya.

Indra Gunawan, pencinta buku dan tinggal di Jakarta
Majalah Mata Baca Vol. 2 No. 12 Agustus 2004