Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Andai Saya Guru Bahasa dan Sastra Indonesia

Seandainya saya guru bahasa dan sastra Indonesia, saya akan menunjukkan siswa bagaimana menulis puisi, cerpen atau novel. Sehingga, ketika mereka lulus Aliyah (SMA) mereka sudah menghasilkan puisi-puisi, cerpen-cerpen, atau novel-novel. Hanya sayang, karena kebanyakan (?) guru bahasa dan sastra kita tidak bisa menulis, siswa pun ikut-ikutan tidak bisa menulis. Sebagaimana gurunya: hanya bisa membuat daftar novel klasik yang mereka sendiri belum tentu pernah membacanya.

Seandainya saya guru bahasa dan sastra Indonesia; apa yang akan saya lakukan?

Prolog
Di rumah saya banyak buku anak-anak yang saya dapatkan dari SD. Kebanyakan buku itu adalah buku-buku cerita yang saya curi ketika saya masih SD. Sekarang saya kuliah semester 6. Jadi, buku itu sudah ada sejak 9-10 tahun lalu. Beberapa memang sudah hancur, tapi kebanyakan masih bisa dibaca. Masih menyisakan kenangan bagaimana saya mendapatkannya ketika pulang sekolah.

Hampir setiap hari saya dengan teman-teman SD membaca buku di perpustakaan sekolah yang satu ruangan dengan ruang kepala sekolah. Waktu membaca hanya ketika istirahat. Bagi saya, saat itu, dunia itu luar biasa. Karena dunia dilihat lewat buku, aktivitas membaca menjadi sangat luar biasa. Saya banyak tahu sesuatu yang jauh, sesuatu yang tidak mungkin terjangkau, bisa saya ketahui hanya dengan membaca. Terus terang, saya sangat senang ketika bisa mengeja dan menuliskan sesuatu. Guru SD kami menyuruh, setiap kali menemukan kertas apa saja, koran misalnya, harus dibaca. Dan memang, bisa membaca itu hebat!

Tetapi masalahnya rumah kami di kampung. Bapak ibu kami petani dan pedagang kecil. Tidak mampu membeli buku. Kalupun ada uang, ke mana kami harus membeli buku. Di kampung saya tidak ada toko buku bacaan. Paling saya hanya bisa meminta ibu membelikan saya TTS dan komik Tatang S jika sedang pergi ke pasar. Hal itu saja yang bisa dilakukan. Sementara setiap hari kebutuhan membaca terus melonjak, buku-buku tidak punya, jalan keluarnya meminjam buku ke perpustakaan SD itu.

Sehari dua hari, terasa kalau memunyai buku bacaan itu asyik. Kemudian terpikir, kalau tidak dikembalikan apakah pihak sekolah pada tahu? Maka dicobalah buku-buku yang dipinjam tidak dikembalikan. Terbukti, tidak ada yang menghukum karena tidak ada yang tahu. Saya, mungkin teman saya juga, hingga kini tidak pernah punya perasaan bersalah.

Suatu hari sepulang sekolah, saya melihat teman-teman membawa buku dengan tidak lapor dulu kepada penjaga perpustakaan. Saya bertanya kepada kakak yang dua tahun lebih tua, dua kelas lebih tinggi. Kata kakak saya, kalau ingin buku, ketika istirahat, masuk saja ke perpustakaan, pilih buku yang kamu suka. Nanti masukkan ke celana, bajunya keluarkan. Seperti itu kakak saya memberi trik bagaimana mencuri buku. Alhamdulillah, beberapa kali mencuri buku saya selamat.

Lulus SD saya meianjutkan ke Tsanawiyah. Meski buku di perpustakaan tidak banyak, tapi di perpustakaan itu saya sempat membaca Salah Asuhan, Deru Debu dan lain-lain. Lama-kelamaan terbangun kesadaran bahwa penulis itu hebat. Luar biasa. Saya masih ingat bagaimana herannya ketika SD, saya sering menemukan koran yang dijadikan bungkus sayuran, jika ibu berbelanja. Saya tahu, koran itu terbitnya setiap hari. Terapi masalahnya, bagaimana koran sebanyak itu ditulis bisa selesai dalam sehari. Saya tidak sempat berpikir, kalau penulis koran yang sekarang saya tahu mereka wartawan menulisnya tidak sendirian.

Deru Debu dan beberapa antologi puisi itulah yang menyebabkan saya meminta ibu membelikan saya buku tulis yang bagus. Di buku itu, saya menulis puisi. Puisi-puisi itu awalnya saya tulis di mana saja. Setelah dianggap bagus, baru dipindahkan ke buku itu. Dan, sebagaimana juga buku-buku puisi saat ini, saat itu saya hanya membolehkan satu halaman untuk satu puisi. Sampai halaman-halaman buku tulis yang saya katakan tadi habis. Kumpulan puisi itu saya beri nama dengan sebuah judul puisi. Namanya: Duri Durian.

Tahun 1997, saya sekolah Aliyah di Menes Pandeglang, buku Duri Durian itu tidak dibawa dan ketika dicari sudah tidak ada. Seandainya saja sekarang masih ada, bagaimana perkembangan saya menulis puisi bisa diketahui. Kesadaraan baru muncul: dokumentasi itu sangat penting!

Di Aliyah semuanya berubah. Kebiasaan menulis cerpen dan puisi tidak pernah dilakukan, sirna. Semua waktu dihabiskan untuk membaca buku-buku pelajaran. Tidak begitu, saya bisa tidak mendapatkan rangking. Pola pikir kami dibentuk untuk bersaing. Siswa yang mendapatkan nilai bagus adalah siswa hebat; siswa yang mendapatkan rangking adalah siswa yang cerdas. Kehebatan dan kecerdasan semuanya diukur dengan angka. Sekolah menjadi lembaga penuh persaingan, bukan kerja sama. Sekarang hasilnya mana? Angka-angka itu ternyata tidak bisa menolong saya! Hingga akhirnya saya menemukan kesadaraan baru tentang belajar setelah membaca The Accelerated Learning Handbook, meski secara praktis sudah sangat lama. Bahwa belajar bukanlah mengumpulkan informasi secara pasif. melainkan mengumpulkan pengetahun secara aktif; bahwa kerja sama di antara pembelajar sangat membantu meningkatkan hasil belajar.

S3 dan Rumah Dunia
Tahun 2000 saya lulus Aliyah. Merasa tidak punya uang, saya memutuskan untuk tidak kuliah. Saya hanya akan meneruskan mesantran saja. Belum saya katakan, jarak kampung saya dengan Menes tempat saya sekolah bisa ditempuh dalam waktu 3-5 jam perjalanan mobil yang mengebut. Karena itu, di Menes saya mesantran. Jadi, saya akan mesantran saja. Hingga saya menemukan brosur pendidikan komputer D1 dengan bonus 6 bahasa Asing. Saya bilang ke orang tua, saya ingin kuliah meski hanya satu tahun. Saya ingin orang tua mau membiayai saya. Orang tua setuju walau agak keberatan dengan alasan... tidak punya uang.

Saya kuliah satu tahun di Tangerang. Ternyata, lembaga pendidikan itu bullshit. Janji doang. Enam bahasa yang dijanjikan tidak pernah ada. Bahasa Jepang yang diberikan beberapa pertemuan pun setelah saya ojok-ojok, setelah beberapa kali saya diintrogasi dan diancam akan dikeluarkan karena banyak ngomong.

Di Tengerang saya mesantran juga, seperti ketika sekolah Aliyah di Menes. 

Tidak sampai lulus, saya pergi ke Serang. Tidak bilang kepada siapa-siapa kalau saya mau kuliah S1 di Serang. Tahun pertama kuliah, saya masuk Lembaga Pers Mahasiswa. Tahun kedua saya jadi sekretaris umumnya. Mulailah kemampuan menulis dilatih dengan harus terus menulis buletin mingguan dan berita mingguan. Tahun ketiga, saya bergabung dengan Sanggar Sastra Serang (S3) yang diasuh oleh penyair Toto ST Radik. Di sana saya kembali belajar menulis puisi dan cerpen. Tidak lama saya mendapatkan informasi baru, selain S3 ada juga Pustakaloka Rumah Dunia (PRD) yang mengajarkan bagaimana menulis. Sekarang PRD berubah nama menjadi Rumah Dunia (RD). Kini, Rumah Dunia memunyai Sekretaris benama: Ibnu Adam Aviciena—yaitu saya. Di sana saya belajar menulis jurnalistik, fiksi dan skenarioTV.

Seandainya saya guru bahasa dan sastra Indonesia, akan saya tunjukjkan bagaimana menulis puisi dan cerpen (novel). Bagaimana saya menunjukkannya? Seperti Toto ST Radik di S3 dan Gola Gong di Rumah Dunia menunjukkan saya bagaimana menulis puisi, cerpen (novel) dan skenario TV. Sebuah metode belajar yang sederhana, gampang dan tidak melayang-layang di angkasa. Melainkan menapak di bumi! Bisa dipraktikkan dan bisa dibuktikan. Tidak seperti ketika saya Aliyah belajar bahasa dan sastra Indonesia, yang dipelajari tidak beranjak dari fungsi imbuhan, majas, dan menghapal daftar novel klasik beserta ceritanya! Hingga saya keluar Aliyah, hingga terasa tidak menemukan mana hasilnya mempelajari itu selama tiga tahun!

Rasanya, kalau belajar bisa lebih cepat dengan hasil lebih berkualitas dan ada buktinya, kenapa mesti memilih belajar yang hanya mampu memberi angka-angka?

Teori yang Menapak Bumi
Belajar teori pada prinsipnya untuk mengetahui yang ideal, yang seharusnya. Bisa dikatakan, teori sebagai gambaran abstrak dari yang praktis. Jadi, dengan teori diharapkan praktik terus menuju yang ideal lewat gambaran abstrak itu. Ketika teori tidak pernah bisa disentuh oleh hal-hal yang praktis, proses belajar bisa dianggap gagal. Contoh sederhana, kakak saya bilang waktu mengajari saya naik sepeda. "Naik sepeda itu pinggang harus stabil dan imbang..." Sekalipun kalimat ini terus dijejalkan ke dalam otak saya dan begitu paham maksud kakak saya lewat pernyataan itu, proses belajar akan tetap dianggap gagal ketika saya tidak bisa menaiki sepeda. Begitu maksud saya dengan paparan teori dan praktik. Singkatnya, teori tidak melayang-layang tak terjangkau. Teori harus bisa menapak di bumi, bisa dirasakan.

Kenyataan ini disadari betul oleh pengelola S3 dan Rumah Dunia. Dalam proses belajar menulis puisi, cerpen (novel) dan skenario TV di kedua sanggar itu, prinsip "teori yang menapak ke bumi" begitu diperhatikan. Teman-teman yang belajar minggu pagi di S3, setiap pertemuan harus mengumpulan puisi atau cerpen. Puisi atau cerpen itu dibahas setelah mempelajari teori: apakah puisi, bagaimana menulis puisi dan sebagainya. Teori-teori yang dipelajari itu, pada saat pembahasan dijadikan kacamata untuk menilai puisi-puisi itu. Karena dari awal, teori dipahami sebagai "alat" dan tujuan ideal, bahwa menurut teori anu, puisi itu harus begini dan harus begitu.

Tidak hanya sampai di situ, puisi-puisi (di S3, fokus belajar pada puisi) yang sudah dibahas, jika menurut "kacamata" kurang bagus, harus diperbaiki dan minggu depan harus dikumpulkan dengan puisi baru. Baru setelah dipandang ok disarankan untuk dikirim ke koran lokal, jika ke koran nasional belum berani, belum pede. Puisi dimuat, penulisnya harus membacakan, selain menjelaskan bagaimana puisi itu bisa lahir. Orang bilang proses kreatifnya.

Banyak metode belajar yang digunakan Toto ST Radik untuk menunjukkan jalan menulis puisi. Dikatakan menunjukkan jalan karena menurut presiden S3 ini, menulis tidak bisa diajarkan. Salah satu metode yang dipakai, yaitu dengan meminta setiap anak sanggar menyumbangkan satu kata—apa saja. Kata-kata yang terkumpul secara ramai-ramai dibuat puisi. Kata dasar yang disumbangkan boleh ditransformasi ke bentuk lain dengan menambah imbuhan. Hasilnya, sebuah puisi yang indah. Meski ini tentu tidak lahir dari sebuah ide yang menggatalakan kulit otak. Puisi lahir dari konstruksi kata-kata. Metode belajar seperti ini pernah juga disampaikan Jamal D. Rahaman dari majalah sastra Horison.

Berharap puisi dimuat tiap minggu di koran lokal tidak mungkin, mengirimkan ke media nasional belum berani, solusinya, S3 memilih membuat media sendiri. Yang dilakukan pada masa-masa awal, yaitu saat kerja sama dengan Horison bernama Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSS1) menerbitkan jurnal Ketika; pada program Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI), jurnal lain juga akan dibikin, Nama yang sedang dirancang adalah Koran Sastra.

Menurut Totot ST Radik, penyair memang gila. Orang lain cari untung, ini mencari rugi. Menerbitkan jurnal itu butuh tulisan, tulisan dibuat sendiri. Jurnal didesain sendiri, dicetak dengan uang sendiri, dijual dengan tenaga sendiri, tidak laku dibagi-bagikan sendiri. Kemudian kami menerbitkan lagi dengan segala-galanya sendiri. Lalu, di sanggar kami menertawakan diri kami. Kami bilang, "Di sini kami ada dan berbahagia."

Menjelang zuhur, kami pergi ke Rumah Dunia untuk mengikuti pelajaran berikutnya, tentang jurnalistik, fiksi dan skenario TV. Apa yang dikerjakan di S3 juga harus dikerjakan di Rumah Dunia. Tiap peserta setiap pertemuan harus menyerahkan tulisan. Di sini lebih fokus ke cerpen. Cerpen-cerpen itu dibaca dan dikritik oleh instruktur, terutama Gola Gong. Cerpen-cerpen yang dianggap memenuhi standar dikumpulkan untuk dijadikan antologi. Angkatan pertama sudah membuahkan hasil: antologi cerpen Kacamata Sidik, yang diterbitkan Senayan Abadi Publishing. Buku kedua sedang menunggu keputusan penerbit.

Lebih jauh ke depan, Rumah Dunia juga sedang mempersiapkan media sendiri. Kalau S3 berupa jurnal, Rumah Dunia entah apa. Pengelolanya sedang mempersiapkan uang untuk membeli komputer desain grafis.

Harapan yang berkali-kali dilontarkan, Rumah Dunia ingin membangun paper community. Memang saat ini juga sudah ada media berupa buletin. Tetapi itu hanya berfungsi untuk menampung informasi yang tidak tersebarkan lewat jurnal mingguan. Buletin ini terbit sebulan sekali.

Di S3 dan Rumah Dunia, kami menyadari teori belajar itu harus dari pengalaman. Kami mengatakan telah belajar menulis skenario kalau kami pernah menulisnya. Kami belum mengatakan sudah belajar jika hanya baru bermain-main pada wilayah teori. Teori tidak boleh terbang. Teori harus menapak di bumi bersama praktik.

Inilah!
Seandainya saya guru bahasa dan sastra Indonesia, saya akan menunjukkan siswa bagaimana menulis puisi cerpen atau novel. Sehingga, ketika lulus Aliyah (SMA), mereka sudah menghasilkan puisi-puisi. cerpen-cerpen, atau novel-novel. Bukan menunjukkan judul-judul novel yang pernah ditulis oleh novelis masa lalu. Saya akan meminta kelas membentuk kelompok. Masing-masing kelompok lima atau sepuluh orang, misalnya memerankan sebuah komunitas yang terdiri dari penerbit koran/buku, editor, penulis, pembaca, pembicara dalam diskusi bedah buku dan sebagainya. Tiap-tiap mereka bergiliran memerankan peran-peran itu. Masing-masing mereka harus bertanggung jawab terhadap kesuksesan teman-temannya. Kalau perlu, siswa diwajibkan membawa mesin tik ke sekolah. Kelas menjadi ruang redaksi, ruang penerbitan! Bukan tempat siswa mendengarkan guru ceramah tentang fungsi imbuhan me-, di-, dan teman-temanya, yang kemudian siswa diminta memberikan contoh.

Saya andai seorang guru bahasa dan sastra Indonesia, tidak akan mengulangi "kesalahan" yang sudah terjadi pada pembelajaran yang diberikan guru bahasa dan sastra Indonesia saya ketika Aliyah. Saya bersama teman-teman lain, dan mungkin sedang berlangsung pada siswa-siswa yang sekarang masih Aliyah (SMA), telah belajar bahasa dan sastra Indonesia selama enam tahun: hasilnya nihil. Kalaupun ada satu dua anak Aliyah (SMA) yang mampu menulis novel, secara nasional sistem pendidikan tetap dianggap gagal. Bandingkan angka yang mampu menulis dengan seluruh siswa Aliyah (SMA). Perbandingan yang terlalu jauh. Pembelajaran masih dianggap gagal meski perbandingan yang mampu dan tidak mampu 1:1. Maka, bagi saya untuk menjadi pengarang tidak mesti kuliah di fakultas sastra, atau memang tidak mesti kuliah di mana pun. Gola Gong bilang, dia berhenti kuliah karena perguruan tinggi tidak menjamin dirinya untuk menjadi pengarang!

Jika saya seorang guru bahasa dan sastra Indonesia, akan saya katakan kepada siswa saya bahwa penulis itu hebat. Sebagaimana anehnya saya ketika masih SD membaca koran. Bagaimana teks koran yang begitu banyak bisa diterbitkan setiap hari. Seperti juga kekaguman saya kepada yang bisa menulis buku. Betapa hebatnya mereka mampu memberikan pencerahan; mampu menggerakkan saya untuk tetap sekolah walau orang tua hanya petani kecil. Pikiran saya bilang, tuh tokoh anu dalam buku anu juga menjadi orang sukses. Padahal dia orang melarat!

Hal lain yang bisa dilakukan oleh seorang guru bahasa dan sastra Indonesia adalah dengan menjadikan menulis antologi puisi/cerpen sebagai syarat bisa mengikuti ujian atau kelulusan, umpamanya. Guru bisa membagi kelas dalam kelompok-kelompok. Masing-masing kelompok diberi tugas untuk membuat antologi puisi/cerpen, dicetak di percetakan. Atau jika masih juga kesulitan, bisa menerbitkan edisi fotokopi. Ide yang menarik saya kira. Buku-buku kumpulan puisi itu selain menjadi kenangan, bisa didokumentasikan di perpustakaan pula. Adik-adik kelasnya bisa membahas sejauh mana kemampuan kakak kelas berkarya sastra.

Di sebuah SMA di Serang, ide ini sudah dilaksanakan. Guru bahasa dan sastra Indonesia mewajibkan kelas tiga untuk membuat antologi puisi. Mereka bilang, mereka terinspirasi oleh terbitnya antologi puisi Sembunyi Sampai Mati yang diterbitkan oleh Sanggar Satra Serang dan Rumah Dunia, yang kebetulan, tiga dari penulis puisi pada buku itu anak kelas tiga SMA tersebut. Namun, ketika S3 dan Rumah Dunia memestakan—istilah kami untuk mendiskusikan—antologi itu, guru bahasa dan anak SMA yang hadir hanya beberapa orang. Padahal, buku yang mereka buat hingga delapan judul, delapan kelompok. Sialnya, menurut Firman Venayaksa mahasiswa S2 Sastra Ul yang menjadi pembahas, beberapa puisi pada antologi itu adalah puisi penyair terkenal. Anehnya, guru bahasa dan sastra Indonesianya, sepertinya tidak tahu. Selayaknya, si guru yang memberi tugas itu, sekalian menjadi "editor", siapa tahu ada puisi orang yang diaku muridnya. Sialnya (lagi), pengatasnamaan puisi milik orang ini terjadi.

Ide ini, ide yang bagus. Pantas saya (kita) lakukan jika saya (kita) menjadi (atau tidak) menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia (sekalipun). Tentu yang perlu menjadi catatan, menulis puisi atau cerpen sebagai syarat kelulusan bukan beban. Melainkan pekerjaan yang mengasyikkan, pekerjaan yang menanamkan kesadaran bahwa menjadi penulis berarti menjadi orang hebat!

Menanamkan kesadaran bahwa menjadi penulis berarti menjadi orang hebat, atau mentradisikan menulis, tentu bukan hanya kesenangan yang bisa dilakukan oleh seorang guru bahasa dan sastra Indonesia saja. Maka, kalaupun bukan guru bahasa dan sastra Indonesia, saya akan membangun tradisi menulis, tradisinya orang-orang hebat!   
        
Ibnu Adam Aviciena, mahasiswa STAIN Serang pada Program Studi Pidana dan Politik Islam, Menjadi Sekretaris Rumati Dunia dan belajar menulis junalistik, fiksi dan skenario TV di sana. Dwilogi novel Proposal untuk Tuhan yang ditulisnya dalam proses penerbitan. Sekarang sedang menyelesaikan penulisan novel berikjtnya.
Majalah Mata Baca Vol. 2/No. 11 Juli 2004.