Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah dan Sepak Terjang Penerbit Bentang Budaya Sebelum Bangkrut

Suatu hari sebuah andong berhenti di depan sebuah toko buku. Andong itu membawa serombongan bocah dan seorang muda yang kemudian turun dan berebut masuk ke toko buku. Dengan penuh kegembiraan, mereka melihat-lihat, membuka, dan membaca sekilas buku-buku dan majalah yang tertata rapi di deretan rak-rak buku. Yang membuat mereka lebih bersemangat lagi, mereka boleh memilih buku yang mereka sukai untuk dibawa pulang. Hari itu kawan-kakak-senior, seorang muda yang ada di antara mereka, akan membayari buku-buku yang mereka pilih dan sukai.

Kejadian itu terjadi di akhir tahun 1970-an. Toko buku itu adalah Toko Buku Gunung Agung, terletak di pojok perempatan Tugu di kota Yogyakarta. Anak-anak itu berasal dari sebuah kampung di daerah Kota Gede, sepuluh kilometer arah tenggara Yogya. Siapakah anak muda yang memiliki kepedulian besar terhadap minat baca anak-anak itu? Ia adalah Darwis Khudori, ketika itu mahasiswa arsitektur UGM, penulis, dan pekerja sosial yang cukup dikenal di lingkungan kreatif Yogyakarta. Hari itu ia menerima uang hadiah penghargaan suatu lomba penulisan. Dan ia menyediakan separonya untuk membelikan buku bagi anak-anak yang biasa bermain dan belajar di rumahnya.

Darwis Khudori mulanya adalah sosok yang aneh dan asing bagi anak-anak kampung itu. Mereka bisa melihatnya dari jendela kamar yang selalu terbuka, yang memperlihatkan dirinya yang selalu khusuk dengan buku dan mesin ketik. Bocah-bocah itu biasa mendengar cerita bahwa anak muda itu adalah orang pandai, mahasiswa dan penulis yang layak dikagumi. Dalam istilah sekarang, anak muda itu adalah seorang intelektual. Satu-dua di antara mereka kemudian mencoba belajar dari anak muda itu, melihat-lihat apa yang dilakukannya. Ia kemudian memberi kesempatan kepada anak-anak itu untuk membaca buku-buku koleksinya, sebagian besarnya buku-buku sastra ‘serius’. Begitu melihat antusiasme anak-anak itu, ia kemudian menyediakan juga buku dan majalah anak-anak untuk mereka. Acara ke toko buku ini menjadi sesuatu yang istimewa, yang membuat mereka semakin mencintai buku dan bacaan.

Seorang di antara bocah-bocah itu adalah Buldanul Khuri, ketika itu adalah pelajar sekolah menengah pertama. Buldan kini dikenal sebagai pendiri dan sekaligus pengelola penerbitan Bentang Budaya Yogyakarta. Peristiwa di atas diceritakannya kembali untuk mengungkap bagaimana ia mengelola penerbitannya dengan satu paradigma dasar: kecintaan terhadap buku. Sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Buldan, apa dan bagaimana Bentang adalah manifestasi dari obsesi pribadinya. Sosok seperti Darwis Khudori, yang memperkenalkannya pada buku dan bacaan dan bahkan menyediakan taman bacaan untuk anak-anak di lingkungannya, disadari atau tidak telah membentuk sebagian dari pribadi seperti dirinya. Buldan masih bisa mengingat bagaimana ia membaca novel-novel Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, dan Mochtar Lubis—yang meskipun ketika itu membingungkannya— membuat dirinya merasa dekat dan mencintai karya-karya sastra dan buku.

Di Bawah Lampu Merkuri
Kegemaran terhadap bacaan dan kesenangan terhadap karya-karya sastra tersebut ternyata menumbuhkan minat dan keinginan yang terus berkembang. Beranjak remaja, mereka yang ada di seputaran buku-buku Darwis Khudori ini sempat menerbitkan antologi puisi kecil, dengan judul yang cukup necis untuk konteks masa itu, yakni Di Bawah Lampu Merkuri. Judul buku ini diambil dari satu puisi salah seorang di antara mereka, yang sedikit banyak menjadi respons atas dikenalnya lampu penerang jalan jenis baru yang dipasang di kampung mereka. Ini bisa jadi merupakan petunjuk betapa lingkungan mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan jiwa seorang anak.

Buldan sendiri kemudian menemukan ruang ekspresi dan jati dirinya, yakni desainer dan penerbit perbukuan. Keluarga Buldan memiliki usaha percetakan kecil-kecilan yang dikelola oleh kakak-kakaknya. Salah satu kesempatan yang diperoleh Buldan ketika itu adalah ikut menangani buku tahunan dari satu perkumpulan remaja, yakni sebagai pengisi ilustrasi. Dari sini, ia kemudian menemukan pilihan masa depannya dengan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI), yang kemudian berganti nama menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta, jurusan Desain Komunikasi Visual.

Setelah menyelesaikan studi, Buldan kemudian mendirikan satu biro desain grafis kecil-kecilan, bernama Aula Graphic Design. Lingkungan kerja yang banyak berhubungan dengan dunia cetak-mencetak ini menyegarkan obsesi Buldan pada dunia perbukuan dan penerbitan. Mula-mula Buldan menjalin interaksi dan kontak dengan beberapa penerbit yang sudah ada ketika itu, antara lain pada aspek penataan artistik buku. Para penerbit buku pada waktu itu, terutama di Yogyakarta, tidak cukup memiliki perhatian atas aspek artistik dari produk-produk mereka, baik pada desain cover, setting, lay-out, maupun tampilan buku secara keseluruhan. Dari sini, Buldan beranjak lebih jauh lagi dengan mencoba menjajaki kemungkinan menerbitkan kumpulan tulisan dari beberapa penulis, antara lain Emha Ainun Nadjib, yang karya-karyanya cukup layak untuk disebarluaskan ke tengah masyarakat. Satu-dua naskah sempat ditanganinya, mulai dari pengumpulan bahan, pengetikan, editing, lay-out, dan perancangan tampilannya, yang kemudian diserahkannya kepada penerbit yang ada ketika itu.

Sejalan dengan itu, pada 1992, Buldan mendirikan PT Bentang Intervisi Utama bersama tiga sahabatnya. Perseroan ini dikerangkakan bergerak di bidang desain grafik, percetakan, dan penerbitan. Dengan sinergi tiga bidang kerja yang saling berkaitan ini, ada harapan bahwa apa yang sudah dikerjakan oleh Buldan dan kawan-kawannya bisa berkembang lebih maju dan terarah. Karena satu dan lain hal, dalam bahasa Buldan dunia bisnis yang ruwet, perseroan ini mengalami perpecahan. Buldan kemudian berdiri sendiri dalam menangani bidang penerbitan, dengan tetap membawa nama Bentang yang dicetuskannya.

Membentangkan Perbukuan Yogyakarta
Berdiri pada 1994, Bentang dapat dicatat sebagai pelopor berdirinya penerbit-penerbit alternatif di Yogyakarta. Dalam satu kesempatan, Taufik Rahzen, seorang pemerhati perbukuan, menyatakan betapa Buldanul Khuri dengan penerbitannya ini menjadi katup pembuka bagi banyak orang akan kemungkinan pendirian suatu lembaga penerbitan. Apa yang dikemukakan oleh Taufik Rahzen ini bisa lebih dipahami dengan melihat sekilas dunia penerbitan pada era sebelum kemunculan Bentang. Sampai awal era 90-an, dunia penerbitan memiliki wilayah yang ‘sakral’, berayun di antara modal-kapital dan intelektualitas-komunitas. Gramedia, Gunung Agung, Pustaka Jaya, Kanisius, Grafiti, Sinar Harapan, dan sekian penerbit mapan lainnya adalah nama-nama yang mau tidak mau bisa membuat keder banyak orang. Gramedia dan Gunung Agung dengan kebesaran modal dan sejarahnya; Pustaka Jaya dengan kekuatan intelektualitas para sastrawan terkemuka; Kanisius dengan ruang lingkup khususnya; demikian pula dengan penerbit-penerbit lain yang memiliki latar belakang keunggulan masing-masing.

Bentang bagaimanapun melulu bersandar pada diri Buldanul Khuri dan obsesi pribadinya di bidang perbukuan. Ia—sebagai pribadi maupun keluarga—tidak memiliki modal-kapital cukup, tidak berada dalam lingkungan kelompok intelektual terkemuka, sebagai desainer visual juga belum banyak dikenal. Kenyataannya, Bentang tidak termasuk dalam fenomena yang terjadi pada gerakan dan lembaga alternatif dan independen pada umumnya, yang biasanya sekadar jadi letupan kecil untuk kemudian padam, yang berkobar-kobar pada awalnya untuk kemudian hilang entah ke mana. Pertanyaannya kemudian adalah, apa formulasi yang membuat Bentang bisa bertahan dan berkembang hingga sekarang ini? Dalam ungkapan Buldan, Bentang bisa bertahan hanya karena keberaniannya untuk malu dan menanggung segala risiko. Ini dikemukakannya dengan melihat kenyataan betapa sampai 1998, berarti dalam jangka waktu empat tahun, Bentang senantiasa berada dalam belitan hutang yang terus bertumpuk. Bisa dikatakan, Buldan adalah jaminan satu-satunya atas setiap tagihan Bentang, baik dari percetakan, distributor kertas, penulis, bank perkreditan, dan banyak pihak lain. Tak ada pilihan lain jika kemudian gaji karyawan yang sekian gelintir, yang sebagian adalah kawan keseharian Buldan, juga termasuk yang terbengkalai. Bisa dipahami jika kemudian satu per satu dari mereka keluar dari lembaga yang tengah berada pada masa perintisan ini. Dengan demikian, bisa dimaklumi pula jika dalam perkembangan lebih lanjut Buldan benar-benar menjadi penentu tunggal segala aktivitas Bentang.

Angin segar baru dapat dirasakan oleh Bentang pada kisaran 1999, seiring dengan terjadinya booming dunia perbukuan Indonesia. Pada masa ini terjadi fenomena yang sampai sekarang belum dibahas kritis kaitannya, yakni krisis moneter yang berlanjut dengan keruntuhan rezim Soeharto dan pertumbuhan luar biasa penerbit-penerbit kecil yang diikuti dengan penyerapan pasar yang meningkat tajam atas produk-produk perbukuan. Bentang dan penerbitan buku di Yogyakarta cukup layak dicatat dalam fenomena ini. Yogyakarta, sebuah kota menengah di Indonesia, kota pelajar dan wisata, berkembang drastik menjadi kota penerbit buku. Jika semula penerbit buku tidak lebih dari hitungan jari tangan, setelah tahun 1999 berkembang sampai sekitar delapan puluh penerbit, bahkan ada yang mencatat lebih dari seratus penerbit. Dalam konteks Bentang, booming perbukuan ini memberikan dukungan finansial dengan larisnya buku-buku Kahlil Gibran dan buku-buku Kiri, dua tema perbukuan yang juga menjadi tambang uang bagi banyak penerbit kecil di Yogyakarta.

Personalitas dan Elan Vital Kreativitas
Bentang Budaya adalah suatu lembaga penerbitan yang memilih tema-tema utama di seputar seni-sastra-budaya-filsafat. Apa yang diharapkan dari pilihan tema yang tidak cukup menjanjikan keuntungan material—setidaknya dalam asumsi umum di bidang perbukuan yang diamini banyak pihak—ini? Buldan punya jawaban yang menarik. Dengan cukup berapi-api, ia menandaskan bahwa pilihan aktivitasnya di dunia perbukuan tidak pernah diniatkan untuk tujuan bisnis. Apa yang diterbitkannya melalui Bentang adalah berdasarkan pada minat dan impian-impian personalnya, demikian juga dengan keseluruhan segi dari keberadaan lembaga penerbitan ini. Dari semenjak pemilihan naskah, keredaksian, artistik, percetakan, sampai paskaproduksi, kesemuanya dikonsep dan diimplementasikannya sendiri. Dalam pemilihan naskah, misalnya, kenangan dan kesenangannya membaca karya-karya sastra, budaya, dan filsafat membuat dirinya memiliki semacam standar subjektif atas laik-tidaknya suatu naskah dipilih untuk diterbitkan. Pegangannya adalah apakah ia suka atau tidak, merasa cocok atau tidak, terhadap satu naskah. Miinat dan kesukaan ini bisa dikarenakan orisinalitasnya, nilai pentingnya, inovasi dan kontekstualitasnya, atau bahkan keklasikannya. Baginya, selera personal semacam ini bukanlah sesuatu yang ganjil dan terasing; ia meyakini bahwa akan ada orang lain, banyak orang lain yang juga memiliki selera yang sama. Setidaknya, ketika suatu naskah bisa terbit dalam bentuk buku, ia bisa memiliki kepuasan dan kebanggaan bagi dirinya sebagai pribadi.

Di bidang keredaksian, ia melihat betapa dunia akademik dan teoretis, bangku perkuliahan, tidak cukup signifikan untuk dijadikan pegangan atas kemampuan seseorang. Ia lebih percaya keahlian di bidang ini hanya bisa diperoleh dalam praktek di lapangan; dengan kata lain, koreksi, editing, penyuntingan, dan hal-hal yang berkaitan dengan keredaksian ini berkaitan dengan ketekunan dan keseriusan dari mereka yang menggelutinya. Tanpa ketekunan dan keseriusan, kecintaan terhadap profesi, seorang korektor atau editor hanya akan menjadi tukang, sesuatu yang mesti dihindari di dunia perbukuan yang kental dengan nilai intelektualitas dan estetika.

Menelaah Bentang mau tidak mau harus menyebutkan satu pencapaiannya yang paling teruji dan menjadi ikon dari penerbitan ini, yakni desain cover. Aspek artistik buku ini bisa jadi merupakan salah satu aspek terpenting yang membuat Bentang bisa bertahan dan berkembang sampai sekarang. Buldanul Khuri, bersama Si Ong Harry Wahyu, adalah nama yang telah berkibar tinggi sebagai perancang sampul mumpuni. Sebagaimana telah dibahas pada Matabaca Vol.1/No.2/September 2002, dua orang ini, terutama melalui buku-buku terbitan Bentang, telah membuka cakrawala yang menyegarkan dengan menempatkan desain artistik sebagai bagian penting yang membuat buku menarik minat pembaca dan menciptakan citra khusus terhadap penerbit. Meski secara jujur Buldan menyatakan bahwa apa yang telah dilakukannya dalam pengolahan desain cover ini diilhami oleh kekagumannya atas sampul buku-buku Pustaka Jaya di era 1970-an, dalam konteks kekinian Bentang dapat dicatat memunculkan trend desain cover khas Yogyakarta. Ciri khas buku dari penerbit-penerbit Yogya, dan bahkan merambah ke penerbit-penerbit di luar Yogya, adalah desain sampul yang tak ubahnya karya rupa, dari objek visual, tipografi, huruf, tata-ruang, maupun tampilan buku sebagai keseluruhan.

Pada akhirnya, Bentang Budaya dan Buldanul Khuri adalah dua nama yang harus disebut dalam satu tarikan nafas. Pilihan-pilihan yang diambil oleh Buldan dalam mengelola Bentang bisa jadi adalah sesuatu yang jauh dari ilmu-ilmu manajemen masa kini. Akan tetapi, patut pula dihargai apa yang sudah ditempuh oleh Buldan dengan segala resiko yang ditanggungnya. Dengan penuh kesadaran, Buldan mengatakan betapa dirinya sama sekali tidak berpretensi mencapai sesuatu yang melampaui batas-batas kemampuannya sebagai pribadi. Ia bahkan menandaskan bahwa jika ternyata dirinya sudah tidak peka, tidak kreatif dan mandeg, berhenti dalam proses belajar yang terus-menerus di dunia perbukuan ini, ia telah siap menerima resiko bahwa Bentang akan pudar digerus zaman. Buldan percaya bahwa setiap orang memiliki eranya masing-masing, dengan kreativitas dan gagasan baru mereka, yang lebih segar dan berharga bagi masyarakat.

Sumber: Majalah Matabaca Vol.1/No.6, Januari 2003