Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nulis Fiksi Awalnya Ngawur Juga Boleh

Sekitar 100 kursi yang tersedia hampir semuanya terisi. Para peserta pun beragam, dari pelajar SMA hingga kakek dua cucu. Mereka semua tersedot untuk mengikuti seminar yang membahas "Kiat Sukses Menulis Fiksi" di Istora Senayan, Jakarta beberapa waktu lalu.

Mengapa banyak orang -yang ingin mengikuti diskusi itu? Apakah karena Sapardi Djoko Damono dan Yudhistira Massardi sebagai pembicaranya? Ataukah karena Rieke Dyah Pitaloka yang lebih dikenal sebagai Oneng dalam lakon Bajaj Bajuri? Atau karena gratis dan diberi segelas minuman kemasan?

Salah seorang peserta yang mengaku bernama Ida menuturkan dia tertarik untuk mengikuti diskusi ini karena temanya. 'Temanya itu pas banget buat saya. Saya sudah berkali-kali mencoba untuk menulis cerpen kok mentok terus. Nah, dengan pertemuan ini saya mau belajar bagaimana sih tips membuat cerpen," paparnya lagi.

Nada yang sama dilontarkan Slamet, guru salah satu SMU negeri yang ikut dalam pertemuan ini. Dia ingin menimba dari diskusi ini sehingga dapat berguna kettka memberikan materi pelajaran kepada murid-muridnya. "Siswa saya sering mengeluh, susah mencari ide kalau diberi tugas mengarang."

Selain dua persoalan ini, pertanyaan lain juga diajukan para peserta kepada dua pembicara. Meski jawabannya tak selalu tuntas, para peserta cukup puas belajar dari kedua pembicara sekaligus mendengarkan celoteh cerdas dari Oneng.

Penguasaan Bahasa
Sejak awal dan selalu ditandaskan oleh Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, modal dasar seorang penulis fiksi adalah penguasaan bahasa. Penguasaan bahasa bagi seorang pengarang itu mutlak dan tak bisa ditawar-tawar. "Dengan penguasaan bahasa yang baik kita dapat menyampaikan gagasan kita," ujar Guru Besar Fakuftas Sastra Universitas Indonesia ini.

Penguasaan bahasa yang dimaksudkan bukanlah memahami teori kebahasaan atau hapal rumusan bahasa EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) melainkan dapat menggunakan bahasa dengan memikat sehingga pembaca ikut terlibat dalam kisah fiksi yang dibuat. Dengan demikian, bahasa yang dikuasai adalah bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Bukan bahasa yang terasa aneh saat dilafalkan di tengah masyarakat.

Penulis fiksi dituntut menguasai bahasa yang ada di tengah masyarakat untuk mengisahkan latar dan karakter dari tokoh yang diangkat. Untuk bahasa yang ada di pasar akan pas bila disampaikan dalam mengisahkan tokoh yang berjualan makan serabi di sudut pasar tradisional. Tentu aneh rasanya bahasa pasar tersebut dikenakan pada rapat komisaris perusahaan asuransi.

Sapardi mengingatkan sosok-sosok yang muncul dalam cerita fiksi tentu akan memunculkan dialog. "Nah dialog itu tentu harus sesuai dengan latar belakang, pendidikan, dan pengalaman sang tokoh," ujar sastrawan yang melanjutkan tradisi puisi lirik dan sajak empat seuntai ini.

Mencari Ide
Ketika seorang peserta mengeluh kesulitan dalam mencari ide, Sapardi mengingatkan fiksi adalah cerita rekaan. Apa saja bisa menjadi bahan cerita, seperti pengalaman, informasi dari koran, bisikan teman, nonton film, lihat tabrakan, patah hati, dan lain-lain. "Segala hal. Pengalaman sendiri dan orang lain dapat kita jadikan bahan cerita, Apa saja bisa jadi bahan. Imajinasi pengarangnyalah yang penting. Imajinasi itulah yang membuat cerita jadi menarik," tutur Sapardi lagi.

Penuturan Sapardi sejalan dengan pengalaman sastrawan Rusia Fyodor Dostoyevsky. Novel-novelnya banyak mengisahkan pengalaman di sekitarnya. Kemiskinan yang mendera dan kekerasan hidup yang dialami Fyodor Dostoyevsky menjadi sumber ilham untuk novel-novelnya. Pengalamannya sebagai pekerja paksa di Siberia telah memberikan masukan yang berharga ketika dia membuat model kisah rekaannya.

Tetapi tentu untuk dapat membuat kisah yang menarik tidak perlu kita menjadi buruh paksa di Siberia. Dapat disebut di sini pengalaman Seno Gumtra Ajidarma. Banyak cerpen Seno yang mengangkat isu-isu aktual dari media massa menjadi cerita menarik. Jurnalis dan cerpenis Indonesia yang terkemuka ini dijuluki oieh seorang pengamat sastra sebagai seorang yang sangat piawai dalam mengolah berita menjadi cerita, fakta menjadi dongeng, dan dongeng menjadi fakta.

Di sekeliling kita bertebaran banyak ide, prinsip ini dibenarkan oleh Yudhistira ANM Massardi. Dalam diskusi tentang fiksi ini, Yudhis mengambilkan contoh bunyi "gedubrak". Lewat satu kata ini setiap orang dapat berimprovisasi mengenai banyak hal. Misalnya, bunyi itu dibayangkan berasal dari sebuah genteng yang dilempar. Nah, kemudian dapat digali lebih lanjut dengan pertanyaan gentengnya siapa, lalu siapa yang melempar, bocor atau tidak, orangnya marah, dan lain-lain. "Teruskan dan teruskan imajinasi itu. Nanti akan terbentuk sebuah cerita," papar Yudhis.

Muntahkan Dulu
Setelah ide didapat, bagaimana memulai penulisan fiksi? Pertanyaan ini kerap menjadi kendala bagi penulis pemula. Ide cerita menarik, tetapi ketika berhadapan dengan komputer dan mesin tik bukan jari-jemari bernari di atas tuts melainkan malah bengong. Tak tahu mau mulai dari mana. Untuk persoalan ini, Yudhis berpesan jangan terlalu memusingkan masalah ini. Ketika memulai mengetik keluarkan apa saja yang ada dalam pikiran. Segala ide yang muncul ditumpahkan semuanya, setelah tuntas baru dibenahi. "Ayam dan telor mana yang lebih dulu, saya tidak peduli. Yang penting dikeluarkan dulu. Semua tulisan saya mulai dari A sampai Z," tukas Yudhis lagi.

Kemampuan teknologi komputer sekarang ini, menurut Sapardi sangat menunjang bagi seorang penulis dalam mengungkapkan ide-ide tulisan fiksi. Setelah semua ide dimuntahkan, penulis dapat memindahkan bagian-bagian tertentu agar alurnya menjadi lebih menarik. "Kita tinggal blok, copy, kemudian paste. Yang penting jangan takut. Ditulis saja, lama-lama kita akan bisa. Proses penulisan itu bisa dimulai dari yang ngawur."

Penguasaan bahasa, sudah. Ide, juga. Penulisan siap dimulai. Ada lagi yang harus dipikirkan? Ada, yaitu sasaran pembaca. Dalam makalahnya Sapardi mengungkapkan, masyarakat pembaca zaman ini terdiri atas kelompok-kelompok yang sangat berbeda cita rasanya. Hal itulah yang menyebabkan pengarang bisa "menetapkan" untuk siapa ia menulis. Lebarnya spektrum cita rasa pembaca dalam masyarakat modern menyebabkan diterbitkannya karya sastra mulai dari jenis yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer sampai yang ditulis oleh Freddy S. Hasil karya kedua penulis ini tidak perlu dipertentangkan. Baik Pram maupun Freddy menghasilkan fiksi, dunia rekaan yang pada dasarnya, sepenuhnya merupakan imajinasi pengarang.

Pram dihargai sebagai penulis dan mendapat pengakuan internasional, sedangkan Freddy berhasil menerbitkan buku-buku yang ditinjau dari segi jumlahnya mungkin tidak ada tandingannya dalam sejarah penulisan fiksi kita.

Masing-masing penulis tadi memiliki sasaran sendiri-sendiri. Tulisan Pram disukai oleh kelompok pembaca yang menyukai sastra elite. Sementara jenis buku yang ditulis Freddy termasuk sastra populer atau picisan memiliki penggemarnya sendiri.

Selain persoalan di atas, Sapardi melihat ada faktor di luar karya sastra yang bisa menyebabkan berhasil diterima khalayak ramai. Dalam zaman yang sepenuhnya dikuasai sistem kapitaiisme, faktor pemasaran menjadi sangat penting. Segala cara untuk memasarkan karya sastra sebagai komoditas ditempuh oleh berbagai pihak yang ada kaitannya dengan karya itu: pengarang, penerbit, dan penjual buku. Dengan demikian, keberhasilan karya sastra bisa saja merupakan hasil dari rekayasa pemasaran, tetapi bisa juga sepenuhnya berdasarkan nilai artistik yang dimilikinya. "Sekarang ini promosi penting. Meski penulisnya baik seperti apa pun, tapi kalau tidak diketahui oleh pembaca, ya percuma."

Menjungkirbalikkan
Yudhis memiliki pengaiaman menarik dalam "mencuri" perhatian publik. Kalau biasanya Arjuna dikejar-kejar oleh perempuan maka dalam novelnya Arjuna Mencari Cinta malah diciptakan sebaliknya. Dalam wayang Arjuna dicitrakan sebagai sosok satria yang kerap mencari kesaktian, tetapi di dalam kisah Yudhis malah mencari cinta.

Yudhis bukan tak mengetahui pakem dalam cerita wayang, pembalikan itu memang disengajanya, "Saya jahil. Suka mengusik hal-hal yang mapan. Saya ingin mengganggu hal-hal yang sakral. Lalu dengan Arjuna Mencari Cinta, saya jungkirbalikkan sehingga menjadi heboh," tambah Yudhis.

Kisah senada dilakukan pula oleh S. Mara Gd, penulis novel misteri. Pada pertengahan dekade 1980-an, dunia sastra Indonesia diramaikan dengan novel-novel yang didominasi topik-topik percintaan dan drama rumah tangga. Rupanya S. Mara Gd memiliki jiwa pemberontakan. Meski mengandung risiko ditotak oieh pasar, S. Mara Gd tetap nekad. "Saya ingin menampilkan sesuatu yang beda. Saya tidak hanya ingin mengalir mengikuti arus," tambah S. Mara Gd.

Ternyata karya-karyanya bisa diterima masyarakat. Setelah novel pertamanya yang berjudui Misteri Dian yang Padam menyusul novel-novel lainnya, seperti Misteri Sutra yang Robek, Misteri Gelas Kembar, dan Misteri Serial Kapten Polisi Kosasih-Gozali.

Tips-tips di atas mungkin dapat berguna bagi Anda yang ingin memulai menjadi penulis fiksi. Oleh karena itu, langsung saja duduk di depan komputer atau mesin tik lalu tumpahkan segala ide yang ada, sekalipun ngawur. Kalau hai itu itu tidak dtlakukan, ratusan tips yang Anda ketahui tak akan berguna, Selamat mencoba!

A. Bobby Pr
Majalah Mata Baca, Vol. 2 No.12 Agustus 2004