Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Linda Christanty Ber-"politik" Lewat Cerpen

Selain seks, politik kerapkali menjadi hal yang dianggap tabu untuk diungkapkan perempuan. Dalam karya tulis, khususnya cerpen, hal ini malah menjadi tabu untuk tidak diungkapkan. Paling tidak, hal ini bisa disimak dari cerpen-cerpen yang ditulis perempuan pengarang seperti Linda Christanty yang memilih politik sebagai setting dari kebanyakan cerpennya yang termuat daiam antologi Kuda Terbang Maria Pinto.

Tak heran, bila dalam petikan komentar yang terdapat pada kulit belakang buku antologi Kuda Terbang Maria Pinto, Nirwan Dewanto mengatakan bahwasanya pada cerita pendek Linda Christanty, kita mendapatkan ampuhnya suara politik justru karena yang politis itu sekadar hadir sebagai kilas balik dari laku dan wicara para tokoh.

Dalam sebuah kesempatan wawancara di Taman Ismail Marzuki, Linda Christanty pun bercerita cukup banyak perihal karya, diri, dan obsesinya kepada MATABACA.

Apa yang sebenarnya menjadi inspirasi bagi karya-karya Anda sehingga karya-karya tersebut banyak menyinggung soal kemanusiaan yang berkaitan dengan politik?
Aku menganggap sumberku dalam berkarya adalah kehidupan sehari-hari. Realitas ini sendiri. Bisa saja orang kemudian berimajinasi ada makhluk di Mars atau apa, aku pikir itu sah saja. Tapi untuk karyaku, aku berpikir memang sumbernya adalah kehidupan kita sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari ini, banyak sekali peristiwa. Misalnya, ketidakadilan terhadap orang kecil, pembunuhan, penganiayaan, atau perampokan. Hanya gara-gara, misalnya, orang itu tak punya uang, (maka orang itu) rela merampok dan membunuh untuk uang sekitar dua puluh ribu. Ada pemulung yang dibakar. Ada orang yang harus hilang tiba-tiba karena diculik. Dan itu realitas daiam masyarakat kita. Sering kali pelaku itu orang biasa dan korbannya juga orang biasa. Menurut saya, itu hal yang menyedihkan dan itu akibat dampak dari sistem politik kita. Pemerintah masih belum bisa menangani kehidupan masyarakat bawah, masyakarat kecil. Saya juga melihat, dalam situasi masyarakat kita seperti ini, sekarang ini, apa yang orang-orang alami saat ini, pasti berkaitan dengan sistem politik kita, berkaitan dengan sistem pemerintah kita yang sudah terjadi selama puluhan tahun. Kebijakan-kebijakan politik pemerintah salah satunya seperti (diungkapkan dalam cerpen) "Makan Malam". Cerpen ini bercerita tentang seorang anak yang tidak punya konsep ayah dalam hidupnya. Karena situasi politik tertentu, ayahnya pergi ke luar negeri dan tidak bisa pulang (karena) kemungkinan dia orang komunis. Nah, situasi seperti ini banyak dialami tetangga kita atau saudara kita. Banyak yang mengalami hal yang sama. Cuma ada situasi tiba-tiba orang ini harus membisu, bungkam, dan tidak bisa mengatakan itu kepada satu sama lain dan menjadi rahasia. Ternyata, (dalam) sebagian masyarakat kita pasti ada yang mengalami kekerasan atau karena politik tadi. Saya katakan itu, nggak ada salah seorang dari kita sama sekali terlepas dari sistem politik atau perilaku politik yang terjadi selama puluhan tahun ini. Ada orang yang anaknya diculik. Ada yang keluarganya hilang, yang bila kita pikir-pikir tadinya hal itu biasa. Tapi, bila kita renungkan lagi, gila ya ternyata begitu kekuasaan politik yang (selama ini) kita anggap sangat jauh dari kita. Kita selalu perdebatkan politik secara konseptual. Kita selalu berpikiran politik itu berhubungan dengan parlemen, ternyata tidak. Politik real yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari korbannya adalah orang-orang biasa dan itu yang mengilhami sebagian besar cerita pendek saya. Misalnya, realitas yang dialami Yosef Legiman dalam Kuda Terbang Maria Pinto. Dia tentara. Dia prajurit kecil. Prajurit biasa. Dia orang desa yang orang tuanya punya kebanggaan kalau dia jadi tentara. Padahal, kalau ada petani yang tanahnya digusur, ternyata anaknya juga yang harus menggusur dan menembaki orang-orang kampung. Jadi, kepedihan-kepedihan orang seperti kita itu terjadi dalam situasi yang seolah-olah absurd.

Berapa lama biasanya Anda menyelesaikan cerpen-cerpen yang termuat dalam buku kumpulan cerpen Kuda Terbang Mario Pinto?
Yang paling cepat dua jam ("Makan Malam"—red.), tapi ada juga yang berbulan-bulan, seperti "Pesta Terakhir" (pernah dimuat di Koran Tempo) karena bingung akan ending-nya.

Kendala yang biasa Anda alami saat menulis dan menyeiesaikan sebuah cerpen?
Kesulitan saya mungkin dlalami juga sama penulis lain, karena sebagian besar penulis kita itu autodidak, jarang yang khusus sekolah menulis di luar negeri trus tiba-tiba menjadi penulis. Meskipun di kampus diajarkan bikin outline segala macam, tapi begitu menulis fiksi tidak pernah bagian pertama itu pembukaannya, lalu ada pseudoric, ada klimaks dan antikiimaks. Jadi, saat menulis cerpen itu duduk. Apa yang dipikirkan waktu itu dan dirasakan ditulis saja. Nah, itu ternyata problem, iya kalau memang idenya terus mengalir dan energi kita langsung bisa menyelesaikan dalam sekali duduk. Sering kali, di tengah jalan tokohnya mau dibawa ke mana, ending-nya gimana. Hal seperti itu kadang saya alami. Tapi ketika sedang betul-betul mood, semangat, dan asyik, saya merasa cerita ini betul-betul menyatu dengan diri saya. Misalnya, "Makan Malam". Cerpen itu saya selesaikan dalam waktu dua jam. Saya tidak pernah menulis cerpen sekali tulis walaupun banyak penulis lain (setelah) menulis, tidak dibaca lagi, langsung kirim. Saya tidak bisa seperti kayak gitu. Saya akan teliti lagi logika dan bahasanya.

Bisa ceritakan proses penerbitan buku kumpulan cerpen Kuda Terbang Maria Pinto yang memuat beragam cerpen Anda yang sebelumnya dipublikasikan di berbagai media?
Saya pertama (aktif) menulis cerpen sekitar tahun 1990. Sampai 1994, saya masih produktif menulis fiksi yang dimuat di harian Media Indonesia, Suara Karya, Pelita, Kompas, Bisnis Indonesia dan majalah kampus. Ada masa saya mulai jarang menulis fiksi (sekitar 1997) karena lebih berkonsentrasi ke penerbitan internal. Saya waktu itu ikut organisasi yang agak radikal. Kemudian, tahun 2000, saya bergabung dengan majalah Pantau dan menurut saya, ini adalah titik awal kedua bagi saya untuk menulis karya fiksi. Jadi, tahun 1990-an adalah titik awal pertama dan menyurut pada 1997. Saya melihat tahun 2000 adalah titik awal kedua saya untuk mulai menulis fiksi dengan gaya bertutur dan penguasaan bahasa yang sudah berkembang dari sebelumnya dengan tema yang lebih beraneka ragam. Tema mulai bergeser. dari tema-tema cinta beralih ke tema sosial dan politik. Tahun 2000 juga saya mulai memublikasikan kembali cerpen saya di Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, dan Jurnal Prosa. Kemudian, Sitok Srengenge menawarkan bagaimana kalau karya saya sebelum tahun 2000 dibukukan. Namun, untuk membukukan tahun 1990-1997 perlu waktu khusus ke perpustakaan karena saya sama sekali tidak mendokumentasikan dengan baik. Waktu itu saya berpikir akan rumit prosesnya. Jadi, saya serahkan sama Mas Sitok untuk proses selanjutnya. Misainya, aku tidak tahu harus ke penerbit sendiri, waktu itu dia (Sitok Srengenge) masih di Metafor (Metafor Publishing milik Richard Oh). Karyaku mungkin dianggap buku terlalu serius, sedangkan mereka (Metafor—red.) lebih ingin buku-buku yang Iebih populer meskipun mereka juga tidak menutup diri menerbitkan karya sastra serius. Hingga Mas Sitok bilang harusnya jadwalnya bulan ini Lin, ternyata mundur dan terus mundur. Akhirnya, saya tidak peduli lagi. Tiba-tiba, suatu hari Mas Sitok menelepon saya (saya lagi di Lombok waktu itu). Dia bilang, "Linda, saya mau keluar. Saya ingin karyamu menjadi buku pertama yang kami terbitkan." Saya bilang, wah jangan Mas, saya nggak enak nih kalau hanya gara-gara Mas Sitok nggak enak buku itu ditunda terus. Dia tetap bilang begitu dan dia bilang bagaimanapun mungkin dari segi laku atau laris itu adalah hal penting buat penerbit. Tapi dia bilang harus tetap ada karya sastra yang mungkin serius, berat, atau yang tidak langsung mudah dicerna orang, bukan sesuatu yang ringan yang bisa dibaca ketika kita duduk, tapi mungkin harus merenung, itu perlu juga diterbitkan di samping buku-buku lain. Dia kasih semangatnya begitu. Dia bilang karena saya tidak yakin juga buku saya bakal laku karena serius. Maksudnya, perang, politik nggak asyik untuk sebagian besar orang, mungkin ya. Akhirnya, diterbitkanlah (Penerbit KataKita) dan launching tanggal 26 Maret 2004. Memang ada kekurangannya karena buku pertama. Jadi, tidak diinformasikan di setiap cerpen itu pernah dimuat di mana tahun kapan.

Linda Christanty dilahirkan di Pulau Bangka tahun 1970. Setelah menyelesaikan sekolah dasar dan menengah (pertama dan atas), Linda sempat kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Selama ini dia telah mempublikasikan karya-karyanya (baca: cerpen) di berbagai media massa dan mendapat pujian serta perhatian dari sejumlah pengamat sastra. Pada 1989, cerpen karya Linda bertajuk "Daun-Daun Kering" memenangkan salah satu penghargaan lomba menulis cerpen yang diselenggarakan Kompas yang kemudian dimuat di harian yang sama pada 5 Agustus 1990, Saat itu, Linda memperoleh juara harapan bersama sembilan penulis cerpen lainnya, seperti Bre Redana, Satyagraha Hoerip, dan Putu Wijaya. Apa yang telah dicapai Linda yang saat ini bekerja di Common Ground Indonesia sebagai penulis naskah radio bertajuk "Menteng Pangkalan" (150 episode) tak lepas dari kebiasaan masa kecilnya yang suka menulis dan membaca yang beberapa bacaan di antaranya dianggap belum saatnya dibaca anak-anak seusianya. Misainya, buku-buku politik milik kakeknya.

Sejak kapan Anda suka menulis?
Saya sudah menulis sejak usia delapan tahun. Pemicunya, sebuah buku catatan harian yang diberikan oleh Kakek. Dia berkata kepada saya, "Kalau kamu merasa sedih, senang, gembira, cobalah ditulis di sini." Pada waktu masih kecil, saya kan bingung bagaimana untuk mengungkapkan kesedihan itu. Kalimatnya seperti apa kira-kira. Mungkin, Kakek juga agak bingung kalau harus mendiktekan kalimat seperti itu, karena ia juga tidak tahu apa yang saya rasakan. Dia bilang begini, sekarang ini Juan Carlos, Raja Spanyol dan Putri Sofia sedang datang ke Indonesia. Jadi, pembukaan catatan harianmu tuliskan saja bahwa pada hari ini tanggal sekian bulan sekian tahun sekian Raja Juan Carlos dan Putri Sofia datang ke Indonesia. Saya buka catatan harian saya dengan kalimat itu. Selanjutnya, saya sudah mulai menulis tentang apa saja. Jadi, buku itu pun diberikan Kakek sebetulnya bukan tanpa sebab. Saya kan anak yang sering kali kalau dalam konteks orang tua kolot atau konvensional dianggap menentang. Ya, saya sebetulnya sering berdebat dengan Ibu. Saya tidak bilang menentang atau melawan, tapi sering berdebat dengan Ibu tentang hal apa pun. Tentang agama. Ibu bilang, Linda kamu salat! (Saya muslim meskipun nama saya Katolik.) Salat itu gunanya apa? Ibu menjawab, ya kita harus beribadah kepada Tuhan untuk mengucapkan syukur. Tuhan itu seperti apa bentuknya? Di mana Dia? Lagi ngapain Dia? Ibu mungkin tidak mau berdebat panjang. Dia langsung (berkata) sudah kamu menurut saja dan itu menjadi bahan pertengkaran.

Diari Anda masih ada?
Tidak ada. Ibu sering kali membaca (diari) diam-diam dan saat mengobrol hal (yang dibaca) itu diungkit-ungkit sehingga sering menjadi bahan perdebatan. Suatu hari, saya mengambil buku (berwarna merah) itu, merobek-robeknya. Kemudian, menguburnya di samping kolam di belakang rumah. Ada rasa luka. Pada waktu itu, sedih sekali. Buku itu rahasia hidup saya "sebagai anak-anak".

Mulai kapan dan bagaimana Anda mengasah keterampilan menuiis cerpen?
Saya memang sejak kecil menulis. Kemudian, mulai menuiis fiksi dalam bentuk cerpen waktu SMP di mading (majalah dinding). Ketika SMA, saya menulis juga. Tahun 1989, ada lomba (menulis cerpen yang diselenggarakan harian Kompas). Sekitar 4.000 lebih naskah masuk ke redaksi Kompas. Waktu itu, cerpen saya berjudul "Daun-Daun Kering" memenangkan juara harapan (pemenang harapan sekitar sepuluh orang). Nah, karya pemenang kemudian dipublikasikan. Saya (sejak itu) mulai terpacu secara serius untuk menulis fiksi. Caranya, saya membaca banyak buku. Kebetulan, saya orang yang suka belajar diam-diam. Jadi, lebih asyik kalau belajar diam-diam itu lewat buku baik karya sastra dunia maupun karya sastra Indonesia. Masa itu, saya suka pengarang-pengarang Jepang, seperti Yasunari Kawabata, Yukio Mishima, Ryonosuke Akutagawa, Yuniciru Tanijaki. Para pengarang Jepang menceritakan hal sederhana dengan cara yang begitu halus dan juga puitis. Terutama, (Yukio) Mishima, saya terkesan sekali sama salah satu novelnya tentang seorang anak kecil miskin dari keluarga nelayan yang mencintai seorang gadis secara diam-diam. Mereka tinggal di sekitar mercusuar di pantai. Itu indah sekali. Tapi, pada masa-masa kemudian bacaan saya berkembang. Saya mulai baca juga Milan Kundera, Miguel Asturias, Isabel Allende, Carlos Fuentes. Terus, saya baca juga buku cerita anak-anak karena untuk imajinasi dalam cerita anak-anak itu gila-gilaan. Yang agak menyedihkan dari kita kalau usia kita makin tua adalah kadang-kadang imajinasi kita tidak seliar saat anak-anak itu. Dengan membaca buku cerita anak-anak itu, saya jadi pulih lagi imajinasi saya yang liar dan polos.

Apa obsesi Anda saat ini atau akan datang?
Sebenarnya cita-citaku luhur (ha... ha... ha...). Aku ingin menulis novel, tapi (sayang) kurang mendisiplinkan diri. (Keinginan Linda terasa semakin kuat mengingat beberapa cerpen Linda memiliki materi kuat untuk dijadikan novel). Cerpen itu kalau sudah sampai 3.000 kata dan itu tidak mau berhenti, kita jadi bingung. Bagaimana yah menyetopnya, karena kalau halaman koran itu maksimal 2.500 kata karena ada gambar/ilustrasi. Sementara itu, aku melihat kecenderungan karakter yang ada dalam cerpen-cerpenku (Linda mengaku sering menilai, mensinisi, dan mengevaluasi dirinya sendiri) adalah karakter-karakter yang harusnya lebih berkembang dan itu tidak mungkin hanya dalam satu halaman dengan sekian ribu kata (karakter). Yang diprediksi bisa berkembang, tapi dibatasi kendala teknis ini. Aku melihatnya sayang. Memang akhirnya ada tokoh yang terpaksa aku korbankan menjadi cerpen dan karakternya terpaksa dibunuh.

Goess
Majalah Mata Baca, Vol. 2 No. 12 Agustus 2004