Komik Gugat
Pada awal 1970-an, Hector Oesterheld dan Alberto Braccia berduet membuat komik biografi Che Guevara. Setelah itu, mereka meluncurkan seri Eternaute, sebuah seri sci-fi yang bersifat avant garde. Dalam kedua karya itu, keduanya menyusupkan kritik keras atas rezim militer di Argentina. Mereka menghujat sistem sosial dan politik yang sedang berlaku saat itu.
Pada l976, rezim menyerang balik: Hector diculik, dan jadi salah satu dari ribuan "orang hilang" yang tak pernah lagi jelas nasibnya —kemungkinan mati, setelah mengalami siksaan di penjara. Kata rekannya, Braccia, "Ia disiksa bersama dua putrinya, dan dibunuh dalam situasi mengerikan." Braccia sendiri berhasil meloloskan diri ke luar negeri, setelah mendapat ancaman kematian serupa (Time, 1 November 1993), Kini Braccia dikenal sebagai salah satu komikus besar dunia, dan terutama berpengaruh di Eropa, di samping menjadi salah satu pelopor kuatnya tradisi komik Amerika Latin.
Rasanya belum ada komikus kita (atau di belahan dunia lain) yang mengalami nasib seperti Hector; mati sebagai pejuang politik gara-gara komiknya. Paling-paling komikus Ganes TH pernah diinterogasi polisi gara-gara kebetulan bekerja sebagai karikaturis di harian komunis Warta Bhakti. Bukan berarti para komikus umumnya melempem. Kritik politik dalam komik rupanya bisa mengambil berbagai bentuk.
Herge, misalnya, lewat serial Tintin, banyak melontarkan kritik kepada fasisme dan kedegilan politik di berbagai penjuru dunia (baca saja Penculikan Calculus, Negeri Emas Hitam, atau Tintin dan Picaros). Tapi kritik itu dilontarkan dalam bentuk parodi. Ini tentu serupa dengan modus yang dianut oleh Dwi Koen (lewat seri Panji Koming) dan Libra (lewat seri Timun). Kritik-krittk itu sering lantas tak terbatas pada perilaku politik penguasa, tapi pada berbagai segi kehidupan masyarakat sekitar mereka. Itulah yang dengan baik dilakukan oleh Beni dan Mice lewat seri Lagak Jakarta mereka.
Apapun bentuk dan gaya kritik tersebut, pada hakikatnya komik-komik itu sedang menyoal realitas. Kritik dalam bentuk komik humor atau parodi hanyalah salah satu bentuk kritik terhadap kenyataan. Kritik tersebut bisa juga mengambil bentuk eskapisme, seperti yang dicontohkan oleh komik-komik fantasi dan roman, termasuk komik silat.
Belakangan, di Eropa, Jepang, ataupun Amerika (dan Kanada), mulai muncul kegandrungan di kalangan komikus untuk membuat komik yang mengangkat masalah hidup sehari-hari. Sering kali bentuknya berupa komik-komik autobiografis, yang ditulis dan digambar sendiri. Beberapa yang menonjol adalah Joe Matt (I Never Liked You), Marjane Satraapi (Persepolis), Dan Clowes (Ghost World), dan, tentu saja Harvey Pekar (American Splendor).
Pekar adalah seorang komikus pelopor pendekatan hiper-realis dalam tema. Ia bukan penggambar. Ia hanya menulis naskah dalam bentuk semacam storyboard, dan mengundang berbagai penggambar komik untuk menggambarkan ceritanya. Ia terutama meletakkan dirinya sendiri dalam amatan mikroskopik sang pengarang. Dengan mengambil subjek dirinya sendiri serta dunia yang ia tempati, ia mencoba menampilkan kenyataan sebugil mungkin.
Ambisi literer ini—keinginan untuk mencapai "kebenaran" kenyataan dunia secara optimal— membuahkan semacam kepercayaan diri bahwa komik bisa mengungkapkan apa saja; bahwa komik mampu mengungkapkan sekaligus menanggapi realitas sama baiknya dengan sastra tulis atau film. Untuk bisa mencapai itu, sang komikus harus memberdayakan dan mengolah potensi-potensi naratif komik yang khas dalam medium ini.
Nah, apakah ambisi semacam ini ada dalam komik Indonesia? Sejauh sejarah komik kita —yang masih terlalu sedikit dituliskan itu— terhampar, seakan umumnya komikus kita cenderung menghindari realitas sebisa mungkin. Realitas seakan mesti dibungkus oleh humor, parodi, atau fantasi.
Realisme dalam komik kita seakan hanya leluasa di bidang gaya gambar. Itu pun, belakangan, agaknya diemohi juga oleh kebanyakan komikus muda yang lebih nyaman mengambil gaya manga atau kartun atau avant-garde.
Bukan berarti komik hanya mampu menyoal realitas jika menggunakan gaya realis. Kadang justru pendekatan dengan gaya kartun dalam gambar sebuah komiklah yang menyaringkan ide realitas dalam komik tersebut. Hanya harus kita akui, masih terlalu sedikit komikus kita yang mencoba pendekatan ini. Beberapa dari yang sedikit itu adalah komik Si Jampang dan Tuan Tanah Kedawung karya Ganes TH (lihat artikel JJ Rizal tentang ini), Tekyan karya Ma'il dkk, dan Selamat Pagi Urbaz karya Beng Rahardian.
Apakah ini berarti komik kita akan semakin kehilangan daya gugatnya? Semoga tidak.
Hikmat Darmawan, pengamat komik
Majalah Mata Baca Vol. 3 No. 11 Juli 2005
Majalah Mata Baca Vol. 3 No. 11 Juli 2005