Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Komik: Antara Seni Visual dan Ambisi Sastrawi

Komik adalah makhluk yang sangat jelas sosoknya, sekaligus sangat tidak jelas. Jelas, karena siapa yang kesulitan mengenali komik? Tapi cobalah mendefinisikan apa itu komik. Atau cobalah tetapkan, apakah komik itu seni rupa atau seni sastra.

Sekilas pandang, kebanyakan kita mungkin akan mengategorikan begitu saja komik sebagai seni rupa —lepas  apakah ada pengakuan atau tidak dari para otoritas seni yang berkuasa. Para ahli seni tentu tugasnya menyoal legitimasi kata "seni" jika membincang apakah komik itu seni rupa atau bukan. Sementara kebanyakan kita yang awam tentu akan menggarisbawahi kata "rupa" (visual) dalam soal ini. Bukankah komik itu lazimnya terdiri dan pictorial image yang disusun?

Bagaimanapun semua akan sukar menampik bahwa komik adalah sebuah medium visual. Tapi cobalah kita pinjam definisi Scott McLoud dalam Understanding Comics yang sudah diterjemahkan oleh Penerbit KPG. Menurut Scott komik adalah "juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequences, intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in the viewer." Komik, kata Scott, imaji-imaji gambar atau imaji lainnya yang dijajarkan dalam urutan yang disengaja untuk menyampaikan informasi dan/atau menimbulkan tanggapan estetis pada pembacanya.

Kalau kita membaca telaah Understanding Comics, kita bisa simpulkan bahwa pengurutan imaji-imaji secara sengaja itu adalah bercerita. Menurut novelis E.M. Forster dalam Aspects of The Novel, "cerita'' adalah narasi berbagai kejadian yang disusun dalam urutan-waktu". Dengan mekanisme pengurutan imaji gambar, jelaslah komik memang hendak bercerita. Apakah sebuah komik ingin menyampaikan cara membuat sablon ("menyampaikan informasi"), atau ingin menyampaikan absurditas alam mimpi ("menimbulkan tanggapan estetis"), atau lainnya, semua itu disampaikan sebagai cerita.

Tak heran jika Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (KPG, 1998) memakai istilah "sastra gambar" untuk komik. Lagi-lagi, kita bertemu masalah. Para otoritas sastra tentu akan menyoroti keabsahan penggunaan kata "sastra" dalam istilah ini. Namun dalam pengertian yang luas, setiap cerita punya kesempatan untuk mendapat perhitungan sebagai karya sastra (tinggallah soal apakah ia sastra buruk atau sastra baik). Ada sastra tulisan, ada juga sastra lisan. Lalu, mengapa harus tidak ada sastra gambar? Nah, yang jelas, sejarah membuktikan bahwa ada komikus-komikus yang ingin sekali mengoptimalkan potensi cerita dalam komik. Bahkan mulai banyak yang berambisi selayak para sastrawan. Misalnya, lewat komik mereka ingin menyampaikan kebenaran, ingin menyampaikan ide tentang manusia, atau ingin bereksperimen bahasa tulis dan bahasa visual. Begitulah yang bisa kita lihat, antara lain dalam karya Joe Sacco (Palestine dan Safe Area Gorazdeh), Art Spiegelman (The Shadow of No Towers), atau Setangkai Daun Surga (Taguan Hardjo). Para komikus itu memiiiki ambisi literer atau ambisi sastrawi. 

Ada fakta anekdotal soal sifat ganda komik (seni rupa dan/atau sastra-gambar). Ada dua orang muda yang bisa jadi bukti sifat ganda ini. 

Eka Kumiawan adalah sastrawan muda Indonesia yang sudah mengeluarkan empat buku di Gramedia (novel tebal Cantik Itu Luka, novel Lelaki Harimau, kumpulan cerpen Cinta Tak Ada Mati dan Gelak Sedih...). Sebelum dikenal sebagai sastrawan, ternyata dia adahah komikus dan aktivis komik di Yogyakarta, anggota kelompok Komikaze yang berdiri pada 1998.

Ade Darmawan adalah pelukis muda kita yang banyak melanglang mancanegara. Ia mendirikan komunitas Ruang Rupa, yangcukup aktif. Sebelum mendirikan Ruang Rupa, sewaktu masih di Yogyakarta, Ade membuat komik. Salah satu karyanya yang mencuat adalah buatannya bersama sebagian temannya, Ayam Majapahit.

Bukankah perjalanan karier mereka menunjukkan bahwa komik punya hubungan erat dengan sastra dan seni rupa?

Kalau di Amerika, penulis komik Neil Gaiman yang terkenal menciptakan seri Sandman (Vertigo/DC Comics) juga seorang novelis yang berhasil. Ia mengarang novel untuk orang dewasa maupun untuk anak. Novelnya yang berjudul Coraline, sebuah novel anak, sudah diterjemah oleh Penerbit Gramedia. Rekannya, yang banyak menggambar komik-komik Gaiman adalah Dave McKean. McKean, di samping seorang komikus, juga seorang desainer grafis dan pelukis yang pernah dipamerkan.

Contoh-contoh ini seakan mencolek kita dan berkata, hei... memang ada kaitan logis antara komik dengan sastra dan seni rupa. Tapi pengaruh dunia seni lukis pada komik tak sekuat pengaruh seni visual lain: film. Sebagai seni visual, film punya karakter yang serupa dengan komik, yakni sama-sama hendak bercerita. Artinya, film dan komik sama-sama hendak menangkap alur waktu yang membentuk sebuah cerita, sedang lukisan lebih hendak menangkap momen.

"Cerita" di balik sebuah lukisan (taruhlah misalnya daiam lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci) adalah kisah di balik sebuah momen yang ditangkap dalam sebingkai lukisan. Narasinya tercipta oleh pembicaraan tentang lukisan tersebut. Pada film dan komik, narasi itu lekat dalam keduanya. Bedanya, jika waktu atau kata cerita dalam film bergerak di dalam sebuah bingkai, waktu dalam komik bergerak dari satu bingkai ke bingkai lainnya.

Tak heran —untuk melanjutkan anekdot tadi— banyak penggemar komik yang kemudian menjadi sutradara atau insan film, misalnya Rizal Mantovani, Hari Dagoe, dan John Derantau. Di Amerika, nama-nama seperti Robert Rodriguez (Sin City), Kevin Smith (Clerks), dan Sam Raimi (Spiderman) merupakan contoh insan film penggemar fanatik komik.

Malah Kevin Smith diajak Marvel untuk menulis cerita komik Daredevil, dan oleh DC Comics untuk membuat cerita komik Green Arrow. Wachowsky bersaudara (trilogi The Matrix) jelas menyatakan terinspirasi antara lain oleh komik sehingga mereka juga menyelia pendalaman cerita The Matrix dalam bentuk komik.

Karena hubungan logis itu, film dan komik saling mempengaruhi. Dinamika hubungan antara film dan komik punya tiga bentuk: film menginspirasi komik, film mengadaptasi cerita komik, dan komik menginspirasi film.

Ada masa ketika yang dominan adalah film menginspirasi komik. Ini terutama terjadi pada 1940-1960-an. Di Amerika, kedua medium ini memang berkembang pesat pada era itu. Secara umum, film lebih dihormati daripada komik. Tentu keadaan ini ada prosesnya. Misalnya, fakta bahwa industri komik Amerika mengalami pukulan telak dari serangan Dr. Frederick Wertham dan senat pada 1950-an, yang menganggap komik sebagai perusak moral kaum muda.

Namun, di kalangan komikus Amerika sendiri, ada kekaguman khusus pada medium film. Mereka melihat film memberi banyak kemungkinan kreatif. Mereka menemukan, mungkin secara instingtif, film dan komik sama-sama menggunakan "jendela" frame. Apa yang dihasilkan oleh kamera dan kemudian tersaji di layar pada hakikatnya mirip dengan apa yang diguriskan kuas dan tinta pada sebuah panel di atas kertas.

Dengan kata lain, kamera dengan segala gerak-geriknya bisa dipinjam oieh komik. Bahasa atau logika kamera bisa diterapkan dalam bahasa visual komik. Jadilah komik kemudian menerapkan perubahan angle, atau gerak zoom in dan zoom out, juga teknik voice over (suara terdengar tanpa terlihat pembicaranya, mengiringi adegan yang terpampang di layar), dan sebagainya diterapkan untuk menambah efek dramatis dalam komik.

Para komikus besar macam Hal Forster (Prince Valiant), Burne Hogarth (Tarzan), Alex Raymond (Jungle Jim, Flash Gordon, Rip Kirby), dan Will Eisner (The Spirit), menerapkan logika kamera tersebut dalam panel-panel mereka. Mereka juga masih berpijak pada karakter gambar diam (still life) dari komik (kecuali Will Eisner yang terus mengembangkan tekniknya hingga akhir hayatnya —ia meninggal pada Januari 2005).

Dengan penekanan pada still life ini, teknik-teknik kamera tersebut diterjemah menjadi komposisi gambar di dalam panel. Teknik-teknik visual itu tak terlalu hendak menangkap gerak di dalam komik. Teknik angle dari atas, termasuk "pandangan burung" (bird view), digunakan untuk menangkap lanskap atau ruang yang luas —memberi konteks lingkungan pada sebuah adegan. Teknik close up membantu menekankan kehadiran sebuah ekspresi, atau menangkap detail sebuah benda.Teknik kamera menyorot dari bawah bisa menambah kesan magnitude atau kebesaran sebuah sosok. Semua itu membuat panel tak lagi seperti kamera statis yang menetap pada eye level, sepenyorotan mata kita yang sedang berdiri.

Jika para komikus di atas meminjam logika (gerak) kamera danmewujudkannya dalam komposisi adegan, ada beberapa komikus yang lebih terobsesi pada gerak yang menjadi karakter medium film. Obsesi pada gerak tersebut tampak dalam komik mereka. Salah satu yang terkenal adalah Winsor McCay (Rare Bit Friends dan Little Nemo in Slumberland).

Kebetulan Winsor McCay adalah salah seorang pelopor film animasi. Karyanya, Gertle the Dinosaur (1914) dianggap salah satu film animasi pertama. Malah karya berikutnya, The Sinking of the Lusitania (1918), merupakan film animasi drama pertama. Dalam kedua komik stripnya yang terkenal itu, menonjol dua hal yang menjadi obsesi McCay: obsesi pada gerak, dan obsesi pada fantasi-sureal.

Dalam Little Nemo..., McCay bercerita petualangan sureal Nemo di sebuah dunia fantasi —dan di ujungnya selalu berupa panel yang menggambarkan si Nemo terbangun dari mimpinya. Rare Bit Friends punya premis dan struktur cerita yang serupa, tapi versi orang dewasa. Nah, dalam kedua seri ini, McCay selalu bertumpu pada penerjemahan gerak ke dalam komik. Penerjemahan itu dicapai dengan pemilahan adegan dalam panel-panel. 
 
Misalnya sebuah cerita Rare Bit Friends yang menggambarkan tokohnya naik tangga, duduk kelelahan, terguling di tangga, terlontar keluar gedung, dan tenyata ia jatuh dari tempat tidur. Waktu terasa benar tertangkap dalam susunan adegan ini, karena McCay memusatkan perhatian pada gerak. Lihatlah contoh lain dari Little Nemo..., tergambar Nemo yang kaget karena ranjangnya punya kaki yang semakin memanjang, dan tiba-tiba berjalan bahkan berlari.

Teknik ini berkembang dalam bentuk yang beragam. Salah satu yang paling piawai menggunakan teknik merekam gerakan melalui breakdown panel-panel ini adalah Herge dalam seri Tintin.

Tetapi yang paling fenomenal dalam obsesi terhadap gerak ini tampak dalam karya-karya Osamu Tezuka, sang bapak manga. Dalam karya pertamanya, Treasure Island —sebuah adaptasi sastra klasik ke dalam setting jepang modern— Tezuka menggambarkan perjalanan mobil ke sebuah tempat sepanjang l5 halaman. Bahkan konon itu pun sudah diedit —aslinya, memakan puluhan halaman! Adegan mobil itu sepenuhnya mensimulasi gerak, karena digambarkan dari sudut pandang yang tetap seakan sebuah kamera ditempatkan di depan mobil itu. Kehadiran waktu lebih terasa dengan teknik ini.

Teknik ini praktis menjadi salah satu ciri terkuat manga. Teknik ini disebut Scott McCloud sebagai teknik moment to moment (Understanding Comics, 1993). Karena teladan Tezuka, komik Jepang kemudian berformat tebal. Mereka lebih leluasa mengeksploitasi gerak dalam teknik moment to moment tersebut. Buat sebagian orang, itulah sebabnya pengalaman membaca manga seperti menonton film; itulah mengapa manga disebut sebagai bersifat "sinematis".

Toh komik adalah komik, film adalah film. Masing-masing mengembangkan estetika, retorika, gramatika, dan semiotika mereka sendiri, Dalam perjalanan sejarah, komik kemudian menginspirasi dunia film. Bukan hanya dalam bentuk melimpahnya karakter komik yang difilmkan (komik sebagai inspirasi cerita), bahkan dalam hal percobaan bentuk.

Film Incredible Hulk karya Ang Lee, misalnya, mengadaptasi dengan cerdas panel-panel komik ke dalam medium film. Trilogi Matrix banyak menggunakan teknik gestur dan pose yang merupakan kelaziman dalam komik. Film Sin City bereksperimen dengan bersetia pada setiap panel komiknya sehingga adegan sering di-shoot menggunakan blue screen agar bisa disesuaikan dengan adegan dalam panel-panel komiknya.

Perkembangan mutakhir komik menunjukkan relasi lain: relasi dengan sastra. Yang paling mudah terlihat dari relasi ini tentu adalah praktik adaptasi karya sastra (biasanya klasik) ke dalam bentuk komik. Di Amerika, praktik ini hadir dalam bentuk penerbitan seri Classic Illustrated. Bentuk sejenis pernah nadir di Indonesia, berupa seri Album Cerita Ternama yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia pada 1977-1982.

Asumsi dari seri komik semacam ini bahwa anak-anak perlu dikenalkan kepada sastra klasik, dan komik adalah bentuk awal pengenalan itu. Di sini banyak sekali perangkap: adanya asumsi bahwa komik hanya untuk anak, dan bahwa komik adalah medium yang lebih rendah dari sastra (tulis). Dengan demikian, sastra klasik yang diadaptasi ke dalam komik selalu berupa penyederhanaan. Dengan kata lain, terjadi mutilasi teks yang mengorbankan kesastraan sang sastra klasik itu sendiri.

Namun, seri-seri semacam ini memang memenuhi fungsinya: mengenalkan sastra klasik pada anak. Jika dibaca sebagai komik saja, komik-komik macam Album Cerita Ternama tetap memberi keasyikan tersendiri. Kalangan komikus sendiri kemudian merasa tak puas dengan bentuk ini.

Salah satunya adalah Will Eisner. Ia sejak mula membuat komik (pada awal 1940-an), selalu percaya pada potensi naratif komik. Pada 1978, ia menerbitkan karyanya, Contract with God, dan menyebutnya sebagai "novel grafis". Sebutan ini sepenuhnya dengan kesadaran bahwa komik adalah sastra gambar. Dengan kata lain, Eisner memiliki sebuah ambisi sastrawi yang tinggi. Terbukti, ketika ia mengadaptasi karya-karya klasik macam Moby Dick (Herman Meaville) atau The Trial (Kafka), ia melakukan upaya penafsiran.

Harus diakui upaya tafsir Eisner itu kurang berhasil —adaptasi komiknya bernilai susastra di bawah karya aslinya. Tapi terobosan Eisner itu memancing gelombang penciptaan komik dengan ambisi sastrawi di Eropa dan Amerika. Salah satu bentuknya adalah dengan keberanian mengadaptasi karya-karya sastra kontemporer, dengan berangkat dari sebuah upaya penafsiran atas teks aslinya. Patut disebut di sini adalah rangkaian adaptasi opera klasik oleh P. Craig Russel (seperti Ring of Neblung karya Wagner dan Magic Flute karya Mozart); adaptasi Metamorphosis dan Give It Up! (Kafka) oleh Peter Kuper; dan terutama adaptasi novel Paul Auster, City of Glass oleh Paul Karasik dan David Mazzucchelli.

Dalam contoh tersebut, para komikus memahami kemampuan naratif komik yang berbeda dari prosa atau sastra tulis, dan mengembangkan susastranya sendiri. Semuanya berangkat dari tafsir atas teks aslinya, yang kemudian diolah sepenuhnya secara visual.

Maka apakah komikus harus mengejar obsesi visual, ataukah mengejar ambisi sastrawi?

Visualisasi komik ternyata beda dari medium visual lain macam lukisan dan film. Susastra komik pun jelas beda dari sastra tulis atau sastra lisan. Komik, sebermula, adalah makhluk hibrid. Komik terbaik agaknya sekaligus karya seni visual yang baik, dan karya sastra yang unggul.

Hikmat Darmawan, penulis, editor, penerjemah, dan pengamat Komik
Majalah Mata Baca Vol. 3, No. 11, Juli 2005