Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Komik: Anak Haram atau Angsa Bertelur Emas

Arswendo Atmowiloto menyitir sebuah ungkapan menarik dalam pameran komik Indonesia di British Council pada 2004 lalu. "Ada yang bilang, kalau Anda mau bohong," katanya, "cukup bilang saja bahwa Anda tak pernah membaca komik."

Komik saat ini bernasib mendua. Di satu sisi, lazim benar orang meremehkan komik. Di sisi lain, seperti tersirat dalam ungkapan di atas, boleh dibilang tak ada orang yang tak terpajan (terekspos) oleh komik. Komik hadir di mana-mana, dalam berbagai bentuk. Buku komik, komik strip, komik pendidikan,di majalah ataupun di koran, bahkan secara on-line. Siapa tak kenal Batman, Peanuts, Tintin, Asterix & Obelix, atau Dora Emon?

Dari sudut industri, komik adalah bisnis besar. Hal ini terjadi sejak awal sejarah komik modern. Pada akhir 1800-an, saat industrialisasi sedang memapan di Inggris dan melahirkan latar kuat bagi cerita-cerita Dickens dan teori Marxisme, komik menciptakan revolusinya sendiri. Tabloid hitam-putih berisi komik Ally Sloper's Half Holiday terbit pada 1884, seharga satu penny. Segera saja tabloid ini jadi sensasi dunia penerbitan. Tokohnya, Ally Slopper, adalah sosok kelas pekerja yang mengisi liburnya dengan mabuk-mabukan.

Mudah ditebak, sosok ini segera populer di kalangan buruh Inggris saat itu. Tabloid komik ini menjadi bacaan wajib kelas pekerja dalam perjalanan kereta ke tempat kerja. Pada 1890-an, Slopper tumbuh sebagai industri merchandise, dengan melimpahnya mug, poster, dan boneka berdasar karakter ini.

Di Amerika, komik juga bertanggung jawab pada sebuah revolusi besar di bidang penerbitan surat kabar. Ketika William Randolph Hearst pada 1896 membeli The Yellow Kid karya Richard Outcault untuk korannya, The New York Journal, terjadilah persaingan keras antara Hearst dan Joseph Pullitzer. Kedua konglomerat media ini memperebutkan komik karena halaman komik meningkatkan penjualan koran secara signifikan.

Nah, seri The Yellow Kid-lah yang menciptakan halaman berwarna dalam koran untuk pertama kalinya. Pullitzer tak mau kalah dari Hearst dan membeli seri komik lain, berwarna juga, dan menggulirkan roda penerbitan koran berwarna. (Pullitzer punya cita-cita mereproduksi lukisan bermutu tinggi dari Eropa dalam rangka mengenalkan kebudayaan tinggi kepada massa pembaca—dan komik hanya batu loncatan saja).

Persaingan dua raksasa ini menciptakan standar industri penerbitan komik Amerika di kemudian hari. Komik bisa mencapai readership jutaan orang, Untuk mengakomodasi bisnis ini, diciptakanlah mekanisme sindikasi yang masih bekerja hingga kini. Salah satu sindikat terbesar adalah King Features Syndicate, yang sukses menerbitkan Tarzan (Hal Foster, Burne Hogarth, dll.), Flash Gordon (Alex Raymond), Peanuts (Schultz), hingga Calvin and Hoboes.

Industri komik Amerika mendapat darah segar ketika pada 1939, dua anak ABG Jerry Siegel dan Joe Shuster menciptakan Superman dan terbit pertama kali dalam Action Comics #1. Komik ini menciptakan genre superhero yang kini jadi genre utama di Amerika. Pada 1940-an, komik ini mempunyai sirkulasi hingga di atas satu juta eksemplar per bulan. (Saingannya, Captain Marvel, juga terjual di atas satu juta kopi per bulan.) Tak heran jika karakter Superman ada di mana-mana: sandiwara radio, film seri, animasi, kotak makanan, snack, dan sebagainya. Dengan kata lain, Superman (juga superhero lainnya, khususnya Batman) menjadi ikon nasional Amerika hingga kini.

Pada periode 1940-an, di Eropa, sefial Tintin juga sedang memapankan popularitasnya. Sejak pertama kali diciptakan oleh Herge pada 1929, seri ini telah terjuai jutaan eksemplar dan praktis menciptakan tradisi komik Bandee Dessine (BD) di Prancis, Belgia, dan Belanda. Hingga kini, seri ini terjual kurang lebih satu juta eksemplar setiap tahunnya di seluruh dunia. Sukses serupa juga dialami oleh seri Asterix & Obelix (Gosciny dan Uderzo).

Tapi revolusi lain menguak dengan awal sederhana di Jepang. Pada 1947, seorang dokter menerbitkan Shin Takarajima (The New Treasure Island). Dokter itu bernama Osamu Tezuka. Segera saja komik yang kemudian dikenal berjenis manga ini meledak, dan Osamu Tezuka meniti jalan yang membawanya pada posisi sebagai "the god of manga". Tiga tahun kemudian, ia menciptakan Jungle Taitei atau Kimba The White Lion yang kemungkinan besar dijiplak oleh studio Walt Disney pada 1990-an menjadi The Lion King.

Pada 1951, Tezuka menciptakan tokohnya yang paling terkenal, Atom Taishi yang kemudian diubah menjadi Tetsuwan-Atom. Dunia mengenal tokoh ini sebagai Astro Boy. Salah satu revolusi penting bagi komik Jepang dari seri ini adalah penciptaan modus tandem komik dan anime (animasi Jepang). Dengan modus ini, basis pembaca komik Jepang dapat tercipta secara efektif dan mencapai angka gigantik jutaan pembaca sebagai standarnya. Sejak Astro Boy, hingga Dora Emon, Candy-candy, Dragon Ball, Ranma 1/2, Akira, dan banyak lagi, modus ini meluaskan pasar manga dan anime hingga ke Eropa dan Amerika.

Sebagai gambaran gigantiknya bisnis komik di Jepang, angka rata-rata per tahun menunjukkan bahwa 40% industri penerbitan di Jepang diisi oleh komik. Retno Kristy, vice editor in chief Elex Media Komputindo, bercerita pengalamannya ke pameran buku Jepang, "Wah, kalau di sana,yang namanya pameran buku itu penuh gambar-gambar warna-warni... wong stan-stan kebanyakan menawarkan komik kok."

Ia juga bercerita tentang reading habit masyarakat Jepang yang memungkinkan kuatnya industri komik Jepang. Di sana, rata-rata orang membaca saat naik kereta. Begitu sampai di tujuan, buku-buku komik yang setebal buku telepon itu akan diletakkan saja di bangku atau dibuang ke tong sampan. Komik-komik itu memang dirancang untuk jadi bacaan sesaat belaka—dicetak murah, dengan kertas dan tinta murahan. Apabila nanti terbukti sebuah seri laku, tentu dibuatkan edisi untuk dikoleksi, dengan mutu produksi lebih bagus. Seri terbaik biasanya akan dibuatkan edisi luksnya, dengan hard cover segala.    

Dalam situs japan-zone.com, industri komik Jepang bernilai 5 miliar yen per tahun. Menurut Frederick Schodt, dalam Dreamland Japan, pada 1995 saja 1,9 juta buku dan majalah komik terjual di Jepang dan pendapatannya mencapai 9 miliar dolar AS. Untuk lebih menegaskan besaran ini, Schodt (seperti dikutip Seno Gumira dalam artikel Dalam Bayangan Manga) menggambarkan komunitas semacam komik indie di Jepang, komunitas Dojinshi. Komunitas ini bisa menghasilkan sampai 50.000 eksemplar komik per tahun.

Beberapa tahun belakangan, industri komik Jepang memang terganggu. Pendapatan industri manga sempat turun, menurut Retno, karena melimpahnya HP yang mengganggu reading habit masyarakat Jepang. Jika biasanya orang Jepang membaca komik di kereta, kini mereka lebih asyik ber-SMS-ria. "Lha, di sana kan HP dijual sampai ke warung-warung pinggir jalan," kata Retno, Tapi, menurutnya, kini industri komik Jepang mulai stabil lagi. Lama-lama orang sana bosan juga hanya menghibur diri dengan SMS.

Bagaimana dengan industri komik lndonesia? Siapa yang menganggap industri komik di sini loyo jelas keliru. Industri komik kita termasuk yang paling tinggi sejak 1990-an hingga kini. Hanya, industri itu diisi oleh produk-produk manga.

Yang loyo adalah industri komik lokal. Dalam arti, komik yang dibuat oleh orang Indonesia sendiri. Itu pun jika dibandingkan dengan kondisi di masa silam. Pada masa awal boom komik lokal, komik R.A. Kosasih konon bisa mencapai angka penjualan hingga 30.000 eksemplar. Ini sebuah angka yang tinggi, bahkan untuk ukuran penerbitan buku saat ini sekalipun. Faktanya, komik-komik wayang dan komik-komik silat sempat diproduksi ulang selama beberapa dekade sejak 1950-an hingga akhir 1970-an.

Sukar memang meraih kembali kejayaan itu. Arswendo mengurai peliknya soal ini. Dalam pameran komik Indonesia di British Council itu, ia bercerita bahwa komik lokal memang ngos-ngosan mengejar manga. "Lha, bayangkan," katanya, "Dora Emon saja saat dibeli sudah tersedia naskahnya sampai lebih dari 60-an judul, yang masing-masingnya sekitar 200-an halaman." Jadi, sudah lebih murah biayanya (karena tinggal menerjemah saja), ketersediaan produknya juga terjamin, ini tentu lebih menguntungkan penerbit, dan ini tak bisa disalahkan.

Padahal, di masa kejayaannya, komikus kita sanggup menjawab soal ketersediaan itu. Seperti diakui Arswendo, memang susah: masih belum ada formula yang pas bagi komik lokal untuk menjawab tantangan industri yang telah berubah ini. Semua —komikus, penerbit, juga pembaca— masih harus mencari formula pas itu.

Ada satu soal besar yang harus diperhitungkan: industri komik bagaimanapun terkait dengan industri buku secara umum. Industri buku di Indonesia memang kecil, bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura yang berpenduduk lebih sedikit dari Indonesia. Perbandingan kasar saja: standar penerbitan kita adalah 2000-3000 eksempiar sekali cetak. Di Malaysia, buku bisa terjual hingga ratusan ribu eksemplar.

Dengan kata lain, minat baca yang rendah pada masyarakat kita adalah sebuah kendala besar yang harus dihadapi industri komik lokal kita.

Hikrnat D., penulis dan pembicara tentang komik untuk berbagai media dan seminar/diskusi
Majalah Mata Baca Vol. 3, No. 11, Juli 2005