Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hak Cipta dalam Penerbitan Buku

Tulisan ini ditujukan untuk melengkapi tulisan Anwar Holid yang berjudul "Jangan Abaikan Halaman Hak Cipta" yang muncul di MATABACA Vol. 2/No. 10/Juni 2004, hlm. 39-40. Tulisan Anwar Holid mengulas soal pentingnya halaman hak cipta (tanggung jawab penerbit—pen.). Tulisan ini menjadi ajakan bagi pembaca (yang ingin mendalami hukum dalam penerbitan) untuk mengenali lebih jauh soal hak cipta dalam penerbitan buku. Referensi yang digunakan adalah buku Hukum Hak Cipta UUHC No. 19 Tahun 2002 karangan Prof. Dr. Eddy Damian, S.H. (Penerbit Alumni: 2004). Buku tersebut selain mengulas soal hak cipta (sejarah, perkembangan dan undang-undang) juga secara khusus membahas persoalan hak cipta dalam penerbitan buku. 

Halaman hak cipta (copyright page) adalah halaman pada buku yang memuat informasi, seperti nama penerbit (hak penerbitan), nama penulis (pemilik hak cipta/pemegang lisensi), desainer kulit muka (hak cipta desain), ilustrator, tahun penerbitan, ISBN, nama percetakan, edisi, logo penerbit, judul, undang-undang dan berbagai informasi/identitas lain. Untuk pencantuman nama desainer (juga ilustrator, fotografer) saat ini ada penerbit yang mencantumkan nama desainer di halaman lain. Sebagai contoh Penerbit Grasindo, mencantumkan nama desainer (buku-buku fiksi) di kulit muka belakang. Penulisan ini masih dalam kaidah hak cipta (moral rights).

Menurut Anwar Holid, sebuah buku tanpa berbagai keterangan di atas ibarat surat kaleng. Sebuah buku tanpa keterangan pada halaman hak cipta menunjukkan tanggung jawab penerbit yang rendah. Dalam kacamata kebudayaan (buku sebagai produk budaya) penerbit tersebut kurang bertanggung jawab dalam membangun civil society.

Hak cipta dibuat untuk memberi perlindungan baik secara moral maupun ekonomi kepada pemiliknya masing-masing. Hak cipta merupakan salah satu jenis hak yang terangkum dalam HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual/ Intellectual Property Rights). Istilah HaKI merupakan istilah baku yang secara resmi dipakai dalam Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2002 yang menggantikan UUHC 1997. Di dalam hak cipta (copyright) terkandung hak eksploitasi atau hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Seorang pencipta memiliki hak atas kekayaan yang dimiliki. Oleh karena itu seorang pencipta memiliki hak untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, seperti melesensikan hak ciptaan karya tulis kepada penerbit. Di lain pihak, orang lain/pihak lain berkewajiban untuk tidak melanggar hak-hak yang dimiliki pencipta (hlm. 35).

Dalam hukum hak cipta juga berlaku hak eksklusif yang dimiliki seorang pencipta. Seandainya hak cipta penulis sudah diserahkan kepada pihak lain (misalnya penerbit), penulis masih memiliki hak eksklusif: menerbitkan karyanya dalam bentuk lain, seperti film dan komik. Hal ini tentunya dengan perjanjian yang disepakati oleh pihak penulis dan penerbit. Pihak yang diserahi hak cipta oleh penulis pun memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi karya, tapi tetap dengan persetujuan antara penulis dengan penerbit tadi. Jadi, ada kesepakatan antara penulis (pencipta) dengan penerbit (pihak yang diserahi hak cipta).

Dalam dunia penerbitan buku berlaku hukum yang mengatur hak cipta yang bersangkutan dengan hak cipta lain. Contoh, perancangan kulit muka buku. Jika seorang desainer dipesan untuk merancang kulit muka sebuah buku, hak cipta kulit muka dimiliki oleh desainer tersebut. Hal tersebut disebabkan desainer tidak berada dalam satu lembaga dengan penerbitan. Akan tetapi, jika desainer merupakan bagian dari penerbit (misalnya staf desain) maka hak cipta dimiliki oleh penerbit tersebut.

Dengan demikian, makin jelas pentingnya perjanjian kerja antara pihak pencipta (penulis, desainer, ilustrator, dan fotografer) dengan pihak penerbit. Pentingnya perjanjian tersebut disebabkan seorang pencipta memiliki hak ekonomi atas hasil karyanya. Singkatnya, sebuah karya sah untuk dieksploitasi dalam bentuk lain dan tujuan lain. Mengenai pentingnya hak moral dapat dilihat dari peristiwa berikut.

Sebelum mesin cetak ditemukan, berdasarkan suatu catatan kuno ditemukan data tentang sebuah perkara hak cipta tahun 567 AD. Pada tahun tersebut, seorang biarawan Columba secara diam-diam menyalin tanpa izin kitab Mazmur yang merupakan ciptaan gurunya Abbot Finian. Saat itu, Raja King Diarmid mengetahui hal tersebut dan memerintahkan Columba menyerahkan kitab Mazmur yang disalinnya tanpa izin kepada Abbot Finian dan melarang melakukan lagi. Raja pun mengucapkan: "To every cow her calf, and to every book its copy." (terjemahan bebas: sapi betina punya anak sapi, sebuah buku punyasalinannya). Menurut Eddy Damian (hlm. 46), pernyataan to every cow her calf, and to every book its copy mengisyaratkan bahwa sebelum kelahiran undang-undang hak cipta pertama, telah ada kesadaran untuk melindungi ciptaan seorang pencipta berdasarkan alasan moral (moral impulse). Dengan demikian, sebelum ditemukan mesin cetak, alasan moral menjadi dasar untuk melindungi hak cipta seorang pencipta.

Pada pemerintahan King Richard III (Inggris) pada 1483, Inggris membuka pintu bagi peredaran buku-buku dari luar negeri. Pada akhir abad ke-16, dalam memenuhi kebutuhan buku dalam negeri, hak paten diberikan kepada penemuan baru di bidang industri, termasuk penemuan mesin cetak. Tahun 1518, kerajaan memberikan monopoli mencetak pada Richard Pynson, pimpinan badan usaha Percetakan Kerajaan bernama Stationers Company. Hal tersebut menyebabkan percetakan dan penerbitan buku hanya dimiliki perusahaan tersebut atau percetakan lain yang terdaftar sebagai anggota Stationers Company. Dalam arti lain, pencipta atau penulis, hak-haknya untuk memperbanyak karya tulis sama sekali diabaikan. Hak perbanyakan hanya ada pada percetakan (hlm. 49).

Tahun 1695, sistem monopoli di Inggris tersebut berakhir disebabkan maraknya pembajakan pelbagai barang cetakan yang dimonopoli kerajaan. Untuk mengatasi hal tersebut, lahir undang-undang hak cipta pertama di dunia, yaitu Statute of Anne. Undang-undang ini mengubah status pencipta menjadi pemilik eksklusif karya ciptanya, seperti hak khusus dan kebebasan mencetak (hlm. 50). Sejak itu, berkembang berbagai undang-undang hak cipta, seperti Konvensi Bern (1886), Konvensi Hak Cipta Universal (1955), Konvensi Roma (1961), Konvensi Jenewa (1967), dan TRIPs (1994).

Selain mengulas soal hak cipta, terutama hubungan penulis dengan penerbit (seperti perjanjian kerja, contoh surat perjanjian), buku Hukum Hak Cipta juga mengulas tentang (hak) perwajahan buku (typographical arrangements), hak waris atas suatu ciptaan (jika diketahui penciptanya sudah meninggal), lisensi, batas-batas hak cipta dan peraturan lain yang berkaitan dengan hak cipta.

Sampai saat ini, Indonesia termasuk negara yang berada dalam tingkat pelanggaran hak cipta yang besar (priority watch list), salah satunya pelanggaran hak cipta atas buku (buku-buku luar negri). Jika maraknya buku-buku penerbit baru (penerbit alternatif) yang menerbitkan buku terjemahan dengan dalih karena pentingnya memberi referensi (ilmu pengetahuan) kepada masyarakat, dengan menelusuri lebih jauh soal hak cipta, paling tidak diharapkan penerbit berpikir lebih dalam melakukan kerja budaya, yaitu menerbitkan buku dalam kaidah/hukum yang disepakati bersama dalam menciptakan proses belajar yang baik bagi masyarakat. Di sisi lain, alasan (beberapa) penerbit era 1990-an (para penerbit alternatif) menerbitkan karya terjemahan tanpa melalui perizinan disebabkan peran pemerintah yang kurang mendukung dalam mermbuat kebijakan bagi dunia perbukuan nasional saat itu. Hal ini lebih tepat jika dilihat dari kacamata sosiai-politik-budaya dibanding dari sudut hukum (karena dalam hal ini hukum dilihat sebagai perangkat pemerintah Orde Baru). Tak bisa dipungkiri bahwa maraknya buku terjemahan oleh para penerbit alternatif menyebabkan beredarnya wacana kritis bagi masyarakat yang sedikit banyak berkaitan dengan proses pencapaian reformasi.

Perkembangan media seperti internet menjadi media altematif masyarakat dalam mencari ilmu pengetahuan atau sekadar mencari informasi dan hiburan. Dalam konteks tata tertib hukum, hal ini bisa diartikan bahwa bukan internet yang dapat menggeser peran buku sebagai media informasi (ilmu pengetahuan), tapi tingginya kesadaran masyarakat (pembaca) tentang hukumlah yang bisa jadi akan menyeleksi buku-buku dengan kerja penerbitan yang benar atau tidak, Karena baik pembaca, penerbit, distributor, dan pihak lain merupakan pihak yang menjadi subjek hukum alias sepakat untuk menaati hukum.

FX. Widyatmoko, perarcang kulit muka buku dan tinggal di Bandung
Majalah Mata Baca, Vol. 2/No. 12/Agustus 2004