Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ganes TH, Si Jampang dan Dunia Betawi

Begitu remang senja merangsek redup matahari dan suara bedug yang sember menggema menandai waktu magrib, tibalah seorang pemuda berpakaian serba hitam di mulut kampung Cemara. Seketika tubuhnya yang tegap segesit harimau kumbang menyelinap ke balik pohon, karena di ujung jembatan dilihatnya dua orang yang sangat mencurigakan.

Firasat si pemuda tidak meleset. Beberapa saat kemudian, kedua lelaki yangdilihatnya sudah beraksi membegal seorang lelaki tua bersorban haji yan melintas jembatan. "Hei! Haji Manong! Kalau mau selamat serain tuh duit hasil penjualan kerbau...!" ancam salah seorang seraya mencabut goloknya yang disoren di pinggang dan menyerang. Si haji tua berusaha melawan, tetapi kedua begal berhasil mendesaknya. Pada saat yang kritis itulah si pemuda bergerak menolong dan dengan tangkas melalap si begal bagaikan kucing mempermainkan tikus.

"Biar tau rase deh tu dua bocah! Eh... ngomong-ngomong lu siape sih...?" tanya si haji. Si pemuda sembari kacak pinggang dan kasih senyum menjawab, "Ah masa Bang Manong udeh lupe, enggak kenal ame aye. Name aye kan...."

Begitulah komikus Ganes TH memulai petualangan jago Betawi legendaris yang bernama Si Jampang dalam komiknya Jampang Jago Betawi. Dalam sejarah komik Indonesia karya Ganes yang terbit pertama kali pada 1967 tersebut dianggap sebagai karya yang menandai era diangkatnya cerita jago-jago Betawi ke dalam komik Indonesia.

Semangat Tempo Doeloe
Setelah peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965 adalah masa-masa yang menegangkan bagi Ganes. Angkatan bersenjata yang memegang kuasa menganggap bahwa kelompok komunis telah membuat kekacauan negeri dan harus bertanggungjawab. Sebab itu, pengawasan ketat dilakukan di segala kalangan, baik militan maupun simpatisan. Dampak dari peristiwa tersebut terhadap komikus terasa juga. Ada tiga orang komikus yang diringkus dan Ganes yang terdaftar sebagai pemasok ilustrasi, khususnya karikatur, untuk sebuah harian komunis Warta Bhakti menjadi begitu cemas.

Apalagi unjuk kekuatan kekuasaan baru negara pasca-Soekarno itu kemudian juga memasuki dunia komik, yaitu dalam bentuk penyitaan komik yang dianggap melanggar moral dan bertentangan dengan Pancasila. Daftar hitam segera dibuat polisi dan Ganes termasuk di dalamnya. Ganes saat itu merasa bahwa kehidupannya dan lebih luas lagi kehidupan komik di Indonesia terancam hancur.

Mengenang ketegangan itu di dalam majalah komik Eres No. 1, Januari 1971, Ganes mengungkapkan, "Suasana mulai gawat dan saat itulah, ia bersama sebelas orang rekannya, antaranya Jan Mintaraga, Zaldy, Sim, Jefry, Absony mengadakan pertemuan darurat dalam usaha membentuk Ikatan Seniman Tjergam Indonesia (Ikasti),"

Ikasti berhasil mengadakan dialog dengan pihak yang berwenang, salah satunya adalah rehabilitasi nama Ganes. Sejak itu, sekali lagi menurut pengakuan Ganes dalam Eres No. 1, ia ingin "menciptakan cerita bergambar yang hampir keseluruhan kisahnya menggambarkan segi-segi kepahlawanan bangsa... membawa pembaca dan penggemarnya dalam arus lebih mengenal sifat kepahlawanan dan kependekaran pahlawan-pahlawan Indonesia.''

Marcel Bonneff, seorang peneliti komik Indonesia yang terkemuka asal Prancis, dalam Citra Masyarakat Indonesia (1983) mengemukakan bahwa sikap Ganes memilih cerita kependekaran dapat dikatakan karena pada jenis cerita itulah dapat ditemukan suatu jalan keluar, sekaligus mewakili pandangan dunia Orde Baru di mana kestabilan lebih penting daripada gerakan, keamanan daripada kemajuan, seperti yang menjadi pola umum komik silat.

Salah satu cerita silat kependekaran itu ditemukan Ganes pada cerita rakyat Jakarta tempo doeloe. Denys Lombard dalam Le carrefour Javanais (1990) mengungkapkan bahwa sejak pemerintahan Soekarno digulingkan, daya tarik Jakarta tempo doeloe memang tampak terus meningkat. Hal itu terungkap dalam berbagai minat yang meliputi bukan saja terhadap bangunan tua dan rumah-rumah zaman kolonial yang mulai dipugar dengan hati-hati, selera terhadap perabotan gaya Batavia yang mendorong para tukang kayu untuk mengerjakan tiruannya, tetapi juga pada maraknya penggalian cerita-cerita asli atau penerjemahan roman-roman Belanda yang berlatar suasana kota dan kehidupan
kolonial.

Yang terpenting, menurut Marcel Bonneff, seorang peneliti komik Indonesia yang terkemuka asal Prancis, dalam Citra Masyarakat Indonesia (1983) pada cerita kependekaran itulah Ganes dan para komikus cerita silat Jakarta tempoe doeloe menemukan suatu jalan keluar sekaligus mewakili pandangan dunia Orde Baru di mana kestabilan lebih penting daripada gerakan, keamanan daripada kemajuan, seperti yang menjadi pola umum komik silat.

Demikianlah kehadiran Ganes dengan komik Jampang Jago Betawi dan komik-komik yang memaparkan sepak terjang para jago Betawi yang mengikuti setelahnya dapat dilihat sebagai bagian dari semangat tempo doeloe itu. Apalagi ilham komik tersebut diakui oleh Ganes tidak murni dari dirinya sendiri. Seperti tertulis dalam komik Jampang Jago Betawi naskah ditulis oleh Zaidin Wahab, seorang penulis cerita Betawi yang meraih sukses besar dengan cerita bersambungnya yang diolah dan dikembangkan dari cerita lenong, yaitu Jampang Jago Betawi di harian Pos Kota pada paro pertama 1960. Ketika cerita bersambung Zaidin itu mulai mendapat perhatian masyarakat, Ganes memang telah mengincarnya untuk dikomikkan. Pada September 1967, Ganes berhasil menerbitkan dua jilid komik Si Jampang Jago Betawi yang disebutnya bersumber pada naskah Zaidin Wahab dan satu jilid lagi baru terbit pada Oktober 1968.

Anehnya, nama Zaidin yang disebutkan dalam komik dengan kapasitas yang terus berubah-ubah, yaitu pertama disebut sebagai penulis naskah, lalu berkembang bahwa komik dicukil dan akhirnya digubah dari naskah Zaidin. Begitu juga cerita Si Jampang yang oleh Ganes dikembangkan sedemikian rupa, sehingga naskah asli Zaidin terasa timbul tenggelam, bahkan menjauh dan keluar serta menjadi sangat berlainan dari naskah aslinya.

Gienardy Santosa, anak Ganes, mengungkapkan bahwa ayahnya sangat serius mengerjakan komik Si Jampang. Selain mengandalkan naskah Zaidin, ia juga bertanya ke kiri dan ke kanan ihwal Si Jampang serta meresapi kehidupan kampung dengan penduduknya yang berbahasa Betawi di lingkungan ternpat tinggalnya di Gunung Sahari, Pademangan (Jakarta Utara). Lingkungan tempat tinggal Ganes yang masuk daerah yang lebih terkenal di kalangan penduduk asli sebagai kota itu menyediakan baginya kemudahan akses untuk menelusuri tradisi lisan dan melihat la till an "maen pukulan" atau silat Betawi.

Hasil kerja Ganes tersebut memang terlihat hasilnya. Marcel Bonneff dalam Les bandes dessines Indonesiennes (1976) memujikan Si Jampang Jago Betawi karya Ganes karena gambar yang dibangunnya untuk mendukung lingkungan hidup Si Jampang merupakan hasil penelitian yang cukup cermat. Tampak Ganes berusaha untuk setia pada kenyataan, setidaknya mirip dengan sejarah.

Bonneff memang tidak menunjukkan contohnya, tetapi jika membuka lembar demi lembar Si Jampang Jago Betawi dapat ditemui penghampiran terhadap zaman dan lingkungan sejarah dari cerita Si Jampang, seperti ketika ia menggambarkan kota Betawi, terutama Glodok sebagai daerah pecinan dengan rumah-rumah khasnya yang beratap gaya pelana. Tempo peristiwa kejadian yang dipakai oleh Ganes juga bersesuaian dengan periode kehidupan si Jampang yang disebut oleh peneliti sejarah dan cerita rakyat Budiaman dalam Folklor Betawi (1979) berkisar pada akhir abad ke-19. Padahal dalam naskah sumbernya sendiri Zaidin tidak menyebutkan dengan jelas kapan periode hidup Si Jampang. Bahkan secara berani sekali Ganes menyebutkan pada jilid pertama Si Jampang Jago Betawi bahwa sewaktu ditahan di penjara Glodok, Si Jampang berguru kepada Banteng yang adalah murid Si Pitung. Tidak kalah menariknya lagi adalah upaya pemakaian dialek Betawi oleh Ganes supaya cerita-ceritanya lebih hidup dan wajar, meskipun ada terasa gaya dan jiwanya masih bahasa Indonesia, tetapi kosakata khas Betawi cukup kental dihadirkan, bahkan kadang-kadang ditemukan kosakata Betawi yang sudah langka dipakai.

Menimbang Si Jampang
Ditinjau dari segi cerita, sosok Si Jampang yang dikomikkan oleh Ganes nyaris tanpa cela. Si Jampang digambarkan sebagai seorang pahlawan Betawi bertubuh besar kekar dengan kumis melintang dan dada berbulu yang punya budi sangat baik, suka menolong rakyat yang menderita serta penegak keadilan yang habis-habisan melawan kuasa kolonial berikut begundal-begundalnya. Kepahlawanan Si Jampang pada komik Ganes memang begitu luar biasa. Hal ini terasa wajar karena pada cerita yang dibuat oleh Zaidin dan menjadi acuan utama Ganes, Si Jampang pun digambarkan sebagai "pembeia keadilan menentang segala kelaliman dan kezaliman".

Si Jampang yang penuh jiwa kepahlawanan sebagaimana ada di naskah Zaidin itu memang telah menyimpang jauh dari cerita yang menjadi sumber bahannya, yaitu cerite riwayat dalam teater lenong Betawi. Ninuk Kleden-Probonegoro dalam Teater Lenong Betawi (1996) mengungkapkan bahwa cerite riwayat biasanya berkisar sekitar kehidupan pahlawan Betawi atau penjahat yang pernah timbul di daerah Betawi dan tetap tinggal dalam ingatan. Cerita Jampang Jago Dulu yang biasa dimainkan dalam teater lenong termasuk kategori yang berkisar sekitar kehidupan penjahat. Jampang adalah seorang penculik calon istri orang, pemain ilmu hitam yang telah menyantet janda sahabatnya sendiri sehingga menjadi strip alias gila.

Demikianlah pandangan terhadap Si Jampang terpecah dua, yaitu pertama yang menganggapnya sebagai seorang "jago puti" yang penuh kebajikan dan kedua yang mengenangnya tak lebih cuma seorang "jago item" yang suka mengumbar nafsu dengan memainkan ilmu hitam serta bikin onar. Pandangan yang pertama boleh dikatakan terdapat pada semua buku yang pernah ditulis untuk meriwayatkan Jampang Setelah periode Zaidin, pandangan ini terlihat pada Budiaman, lalu Rahmat Ali dalam Cerita Rakyat Betawi (1993). Pandangan yang kedua dianut oleh masyarakat pecinta teater lenong Betawi.

Tetapi apapun pandangan mereka soal sosok Si Jampang, semua pihak sama mempercayai bahwa si jago ini adalah folklor lisan rakyat yang tokohnya pernah benar-benar ada dalam sejarah. Budiaman menyebut bahwa sejarahnya Si Jampang terjadi di Kampung Marunda, di daerah Jakarta Utara, pada sekitar 1881, sezaman dengan Si Pitung. Di Marunda pula, menurut Budiaman, si jago "maen pukulan" ini terbunuh dan berkubur. Sementara dalam cerite riwayat teater lenong Si Jampang disebut pernah hidup di Kelurahan Grogol, Kecamatan Depok yang berada di dalam wilayah Kabupaten Bogor. Pandangan lain lagi dikemukakan seorang sejarawan muda Betawi yang menulis buku Beksi Maen Pukulan Khas Betawi (2002), Yahya A. Saputra, mengemukakan pandangan yang lain lagi. Menurutnya, Si Jampang bukanlah dari Marunda, tapi dari daerah kecamatan Bogor, bukan dari daerah Grogol, melainkan dari daerah Parung. Jampang pun bukan nama si jago, melainkan nama sebuah kampung di sana yang memang terkenal sebagai "kampung jago" beraliran silat Cikalong.

Sejarawan muda ini berpendapat berbagai versi cerita Si Jampang yang beredar, termasuk sosoknya yang di satu pihak dikatakan baik dan di lain pihak disebut tercela, mungkin berasal dari Si Jampang sendiri yang tidak satu orang. Bukankah hal yang sama juga terjadi pada sosok Si Pitung yang sering disebut bukan nama satu orang dan nama jago yang sesungguhnya, tetapi sebutan untuk "kelompok tujuh orang", yaitu pituan pitulung yang kemudian berkembang menjadi Pitung. Mereka dibayangkan sebagai kelompok jago Betawi yang beraksi dengan memakai pakaian yang sama. Tujuannya supaya musuh terkecoh mengenali pimpinan kelompok tersebut. Taktik pakaian yang sama ini juga diterapkan pada kelompok-kelopok penjahat legendaris masa lalu di negeri-negeri lain. Perkembangan pers yang mulai meluas di Batavia pada pertengahan abad ke-19 itu tentu saja memungkinkan sampainya informasi gaya kejahatan berseragam itu di kalangan penduduk Batavia, termasuk kepada Si Pitung dan diadopsinya.

Kontroversi, Keresahan dan Karya Puncak
Bagi Ganes komik Jampang Jago Betawi adalah komik keduanya yang mengambil tema dunia Betawi. Ia memulai penjelajahannya ke tema-tema dunia Betawi pada 1966 melalui komik Kalijodo. Setelah itu, ia menulis tiga jilid Jampang Jago Betawi pada paro terakhir 1967. Lantas pada 1969, muncul tujuh jilid komik Tuan Tanah Kedawung karya Ganes yang kembali mengolah tema kehidupan dunia Betawi, terutama menyoroti tuan tanah Cina di daerah pinggiran Betawi dan perkaitannya dengan para jago sebagai centeng dan tukang pukul sekaligus mesin pemeras rakyat. Termasuk di dalamnya dua jilid komik Cisadane yang dibuat Ganes sebagai edisi sampingan Tuan Tanah Kedawung. Komik Tuan Tanah Kedawung memperoieh sukses besar, bahkan pada 1970 oleh Ganes dibuat versi cerita romannya. Sukses itu juga diiringi dengan kritik dan gugatan dari keturunan Tuan Tanah Kedawung yang merasa dicemarkan nama baik keluarganya dengan cerita miring si tokoh yang dibuat Ganes.

Tuan Tanah Kedawung adalah nama gelar dari Letnan Tituler Souw Siauw Tjongsi raja beras Batavia yang menjadi pemilik ratusan hektar tanah di daerah Tenggerang, seperti Kedawung Timur, Ketapang, dan Parung Kuda. Tanggerang pada masa particuliere landerijen (tanah-tanah partikulir) di awal abad ke-19 itu memang banyak sekali tuan tanah yang sohor disebut babah besar diberi hak sewa tanah untuk pertanian dan perkebunan. Beberapa babah besar di sana memang terkenal kejam dan bengis serta memeras, tetapi harus diingat bahwa ada pula tuan tanah yang sangat bersahabat dan dermawan serta suka menolong. Salah satu contoh, menurut pakar sejarah Mona Lohanda dalam The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942 (2001), adalah Letnan Tituler Souw Siauw Tjong yang populer dan melegenda dengan sebutan Tuan Tanah Kedawung. Ia begitu peduli dengan penduduk pribumi miskin yang bekerja di tanahnya dengan sering menyumbang bahan makanan pokok, turun tangan ketika terjadi musibah, dan bagi anak-anak mereka didirikannya pula sekolah dasar. Sampai kini bongpay atau makamnya di desa Sukasari masih dihormati oleh penduduk sekitar dan menjadi kramat yang diziarahi penduduk asli maupun orang-orang Cina lokal di Tenggerang yang disebut Cina Benteng.

Meskipun gambaran sejarah yang dikemukakan Ganes melenceng, Ganes berhasil menyangkal dan memenangkan kasus komik Tuan Tanah Kedawung. Ganes sendiri sejak itu mulai menyadari risiko mengkomikkan tokoh sejarah, yaitu menyinggung orang-orang yang merasa keturunannya. Namun, antusiasme sambutan masyarakat diterima sebagai satu peneguh keyakinannya untuk meneruskan menggarap tema-tema dunia kekerasan Betawi yang tampil melalui sosok jago-jagonya. Tampak di sini bahwa Ganes tidak ingin hanya behenti mencapai puncaknya dalam proses kreatif sebagai komikus pada Si Buta dari Gua Hantu yang telah ditulisnya pada 1966. Ia juga ingin mencapai puncak-puncak lainnya dan itu dipilihnya dengan menggarap tema-tema jago Betawi.

Terbukti memang kisah Si Jampang yang dipilihnya untuk dikomikkan meraih sukses yang tidak kalah dengan Si Buta. Meskipun menurut penuturan Ganes sendiri dalam membuat komik Si Jampang terhambat oleh beberapa hal, seperti ia tiba-tiba merasa sakit ketika memulai jilid pertama, penerbitnya Usaha Penerbitan Bina Karya bangkrut ketika masuk ke jilid kedua, lantas pada jilid ketiga ia kembali jatuh sakit dan percaya semua malapetaka itu lantaran hasratnya ingin menampilkan Si Jampang. Semua itu membuat penerbitan seri komik Si Jampang setelah jilid ketiga pada Oktober 1968, baru pada pertengahan 1970 terbit jilid-jilid selanjutnya dengan penerbit baru Usaha Penerbitan Rosita.

Masa-masa sebelum terbitnya seri-seri tertunda Jampang Jago Betawi adalah masa-masa yang meresahkan bagi Ganes. Sukses yang dituai Jampang Jago Betawi telah membuat banyak komikus lainnya yang dalam masa vakum Ganes telah memanfaatkan momen untuk menggarap cerita Si Jampang. A. Tatang S. yang kekagumannya kepada Ganes sangat besar, bahkan cenderung menjadi epigon atau "mesin fotokopi" Ganes pada paro kedua 1969 membuat pula komik Si Jampang, seperti empat jilid Si Jampang Kembali ke Betawi, lantas pada tahun berikutnya terbit lagi karyanya Si Jampang dalam Kisah Tiga Iblis di Rawa Naga. Tercatat juga yang mengikuti langkah Ganes adalah salah satu dari dua komikus perempuan Indonesia, yaitu Tati. Pada Maret 1970, ia membuat komik Jampang Pembasmi Seruling Maut. Semua naskah komik Si Jampang karya Tatang ataupun Tati berdasarkan naskah yang dibuat oleh Zaidin. Pada masa-masa itu pula Penerbit Bina Karya membukukan cerita bersambung Jampang Jago Betawi karya Zaidin Wahab yang menjadi sumber segala cerita komik Si Jampang.

Dari segi pasar keadaan ini tentu merisaukan Ganes, tetapi ia tidak mundur untuk membuat kelanjutan komik Jampang Jago Betawi. Pada jilid keempat yang tertunda lama itu, Ganes memang terlihat diliputi kerisauan sehingga merasa perlu untuk mengisi halaman pembukanya dengan pernyataan "minta maaf udah lama banget aye kaga muncul-muncul" dan "semoga sobat-sobat masih tetap senang mengikuti cerita aye ini".

Pada sisi lain, meskipun semua komik Si Jampang yang telah beredar mengacu pada karya Zaidin, Ganes tetap ingin bekerja sama dengan penulis cerita Betawi ini dan menjadikan karyanya sebagai sumber utama. Ia menganggap ini penting, sehingga di dalam komik Tuan Tanah Kedawung jilid pertama di tengah cerita diselipkannya pesan kepada Zaidin: "Bung Zaidin mana fragmen Jampang Jago Betawi-nya".

Jilid-jilid terbaru Si Jampang ternyata disambut antusias masyarakat. Mungkin itu lantaran kharisma Ganes dengan kelornpok pembacanya yang besar dan fanatik, tetapi ditinjau dari segi penceritaan dan gaya pembahasaan dialek Betawi yang dipakai memang menunjukkan kualitas yang tidak bisa dicapai oleh komikus lainnya yang menggarap Si Jampang.

Arti Ganes untuk Betawi
Seri terakhir komik Jampang Jago Betawi jilid kesepuluh terbit pada 1971. Dunia Betawi tempo doeloe semakin mendapat perhatian untuk digali dan diangkat ke dalam komik. Ganes sendiri tidak berhenti hanya sampai pada Si Jampang. Ia merancang untuk mengkomikkan kisah legendaris Nyai Dasima, sebuah kisah "bini piare" alias gundik dengan petulangan jago bernama Puasa serta tuan putih bangsa Inggris yang ditulis oleh G. Francis pada akhir abad ke-19. Sayang cita-cita Ganes ini hanya terwujud sampai iklan.

Bagaimanapun Ganes telah menegakkan tonggak untuk menjadikan komik silat Betawi sebagai pengantar yang baik ke dunia tradisi dan cerita rakyat Betawi bagi seluruh anggota masyarakat, anak-anak maupun dewasa yang kesulitan atau enggan mengakses ke sumber cerita rakyat itu, seperti teater lenong dan kepustakaan. Lebih jauh lagi, Ganes telah menjadi pelopor yang membuka jalan sehingga dunia Betawi tempo doeloe dieksploitir secara sistematis dan mendapatkan luapan dinamisme serta modernisme juga apresiasi sangat luas yang membuat tokoh-tokoh folklor Betawi lestari dan mendapatkan kedudukan penting yang sebelumnya tidak dimiliki atau terlupakan. Sementara dari segi bahasa, komik-komik jago Betawi yang dirintis oleh Ganes telah berjasa besar dalam meluaskan persebaran bahasa Betawi —meminjam istilah Ben Anderson dalam Languange of Indonesia Politics (1966)— menjadi bahasa "ngoko" alias bahasa rakyat di tengah perkembangan buruk bahasa Indonesia yang oleh Orde Baru diarahkan menuju "kromonisasi" alias pengkratonan yang penuh etiket dan tata cara penghalusan.

Akhirnya, langkah Ganes memulai genre komik dunia jago Betawi ini harus diakui membawa akibat yang tidak kecil atas warna pemahaman masyarakat luas hingga sekarang akan arti Betawi, terutama tentang jago maupun tradisi masyarakatnya.

Oleh: JJ. Rizal, Peneliti sejarah di Komunttas Bambu dan Litbang Lembaga Kebudayaan Betawi
Sumber: Majalah Mata Baca Vol. 3 No. 11 Juli 2005