Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu

gambar
Rp.68.000,- Rp.54.000,- Diskon
Judul: Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Marjin Kiri, 2017
Tebal: 188 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Segel)

Cerita mengenai penduduk desa serta perubahan sosiologis masyarakat desa sepertinya sudah menjadi kekhasan dari karya-karya Mahfud Ikhwan. Bahkan, beberapa kalangan telah terang-terangan menobatkan alumnus Universitas Gajah Mada ini sebagai “the next Kuntowijoyo”.

Sejak kemunculannya sebagai pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Sastra tahun 2014 dengan Kambing dan Hujan, Mahfud Ikhwan berhasil membetot perhatian publik pencinta sastra. Karya-karya lainnya yang terbit antara lain Belajar Mencintai Kambing, Ulid Tak Ingin ke Malaysia yang merupakan novel pertama Mahfud, serta Aku dan Film India Melawan Dunia I dan II.

Tentu saja menarik bahwa Dawuk dilabeli sebagai “kisah kelabu dari Rumbuk Randu”. Dengan demikian, seolah pembaca diharapkan untuk bersiap menerima sebuah tragedi alih-alih sebuah roman menyenangkan. Dawuk pun baru-baru ini dinobatkan sebagai karya prosa terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2017.

Dawuk dibuka dengan suasana warung kopi di pagi hari setelah kedatangan Warto Kemplung. Narator ini meniupkan isu perihal sebuah tragedi besar yang menurutnya belum lama terjadi. Sebuah kisah kelabu penuh darah, hanya seumuran dua kali coblosan lurah, tidak berselang lama dari saat, untuk pertama kalinya di daerah sini, Golkar menang mudah dari Petiga (hlm. 9)

Kita pun dibawa kepada Desa Rumbuk Randu dan penduduknya yang miskin, di mana religiusitas berbanding lurus dengan tindakan asusila. Di desa ini, anak-anaknya pandai mengaji, tapi di hutannya yang mekar dengan pepohonan, di ladang-ladangnya yang penuh tanaman, di balik semak-semak yang rimbun, kau bisa menemukan pasangan tak sah sedang melampiaskan hasrat mereka. Bahkan, perbuatan itu sampai di gedek-gedek bambu yang berlubang di rumah mereka.

Di desa inilah, kita diperkenalkan oleh narator dengan sosok Inayatun dan Mat Dawuk, dua tokoh utama Dawuk. Inayatun, sang kembang desa, putri kiai yang terpandang, yang entah bagaimana ternyata bengal dan badung luar biasa. Di kemudian hari Inayatun yang bikin malu bapaknya pergi ke Malaysia dan justru kawin dengan Mat Dawuk, sosok yang seperti the Beast dalam Beauty the Beast versi Rumbuk Randu.

Pada tokoh Mat Dawuk inilah perhatian kita terpaku sepenuhnya. Digambarkan buruk rupa, tak menempuh pendidikan formal, tak diakui bapaknya, ibu wafat saat melahirkan, dan ditinggalkan kakeknya sendiri, Mat Dawuk hidup menggelandang dari satu kuburan ke kuburan lain. Mat Dawuk begitu menyeramkan, sehingga setiap orang yang tak sengaja berjumpa dengannya lebih memilih menghindar.

Meski demikian, penggambaran Mat Dawuk ternyata jauh dari kesan “tidak berpendidikan”. Dalam ragam cakapan, tuturan yang dipakai Mat Dawuk terkesan rapi dan terpelajar. Bahkan, meski tak bisa baca tulis, Mat Dawuk ternyata sangat lancar membaca Alquran. Ia juga seorang “pemburu” yang handal, walau tak diceritakan siapa yang mengajarinya ilmu bela diri. Namun kemudian kita tahu bahwa Mbah Dulawi, kakek Mat Dawuk, adalah seorang sakti yang pernah menjatuhkan sinder Hartoyo, penjaga hutan Perhutani.

Konflik antara sinder, blandong, mandor dan para pesanggem menjadi bagian menarik yang mewarnai novel ini, meski hanya sekilas dan tak diulas lebih dalam. Ya, paling tidak itu tecermin dari celetukan Warto di warung, “Kayu saja yang dipikir, kayak Perhutani” (hlm. 1)

Hal ini mengingatkan akan kasus pencari cacing di sebuah hutan konservasi yang baru-baru ini diliput media secara besar-besaran. Mahfud memberikan gambaran bahwa posisi mandor dan sinder di desa seringkali menjadi sebuah posisi turun-temurun yang dilanggengkan demi mencapai kekuasaan dan menindas para pesanggem. Bahkan dalam kasus Mat Dawuk, menciptakan dendam antar generasi.

Selain itu, Mahfud juga mendobrak teori desa-kota yang mengesankan citra desa sebagai tempat yang indah, aman, damai, serta pusat dari segala ketenteraman. Di desa-lah, justru kriminalitas dan hal-hal musyik berbau klenik justru banyak terjadi. Perencanaan pembunuhan terjadi secara diam-diam karena polisi dianggap tak bisa berbuat apa-apa. Perselingkuhan jadi hal biasa, di mana anak lebih mirip paman atau tetangganya dibanding suaminya sendiri. Bahkan, anak-anak di desa diajari untuk menyimpan prasangka pada Mat Dawuk, yang tak pernah mereka lihat dan ketahui sepak terjangnya. Saat Mat Dawuk kembali, orangtua berbisik bahwa “’dia adalah lelaki yang membunuh istrinya sendiri. Istrinya sendiri dan beberapa orang lainnya, lebih tepatnya (hlm. 14)”

Mahfud bukan bicara hal musykil karena memang aksi pembunuhan sadis terhadap istri dengan berbagai motif banyak terjadi di berbagai desa akhir-akhir ini. Dari yang melindas dengan truk, memotong kaki, hingga menusuk dengan parang. Selain itu, seperti layaknya desa-desa di pinggir utara Jawa, hal-hal klenik dan mistis masih dipercaya dengan kuat dan menjadi pegangan hidup sehari-hari. Seseorang yang sehari-hari memakai peci haji bisa saja merangkap tukang teluh, Bu Kaji boleh juga punya pesugihan, atau senjata dan jimat yang dipercaya bisa memberikan pemiliknya kekebalan dan kekuatan. Juga hal-hal di luar nalar yang menegaskan adanya kepercayaan orang Jawa perihal kekuatan besar di luar kemampuan manusia.

“Bapak santri, tokoh agama. Masih percaya hal semacam itu?”

“Tapi aku orang Jawa, Mat. Kau juga. Sudahlah, jangan membodohiku” (hlm. 160)

Jika ditinjau dari alurnya, Mat Dawuk agak membingungkan karena pengarang sama sekali tak memberi petunjuk kapan kejadian dalam cerita itu terjadi. Namun, adanya celetukan nama-nama artis maupun film India, atau bahkan tokoh Inayatun dan Mat Dawuk yang menyanyikan salah satu lagu dari film Betaab, memberi petunjuk kisah cinta kelabu itu terjadi pertengahan 1980-an. Lagu-lagu India ini menjadi penting karena bukan saja pengarangnya kebetulan penggemar film India, tetapi karena kebudayaan masyarakat pesisir pantai utara Jawa memang tidak bisa lepas dari pengaruh musik dan film India, yang akhirnya melahirkan kegandrungan pada musik dangdut dengan berbagai variasinya.

Dalam novelnya ini, Mahfud Ikhwan terjebak pada nostalgia lama perihal desa yang ideal. Dengan nada agak satire, tentu ia mengkritik penduduk-penduduk desa yang ternyata lebih suka menjadi TKI di Malaysia. Topik yang sama sudah dia angkat dalam Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009) yang mengisahkan soal seorang anak bernama Ulid di Desa Lerok, Jawa Timur.

Di awal, proses penceritaannya agak terputus-putus dan membingungkan. Namun kemudian lebih lancar dengan semakin bertambahnya pendengar bualan Warto Kemplung, sampai ada seorang wartawan muda yang juga ikut mendengarkan. Penggunaan tokoh aku yang berulang-ulang ternyata merujuk pada dua orang yang berbeda, yakni Warto Kemplung dan Mustofa Abdul Wahab. Tiba-tiba saja Warto Kemplung, yang selama ini mengaku mendengar cerita Mat Dawuk, masuk ke dalam cerita dan menyaksikan sendiri kekacauan yang terjadi saat orang beramai-ramai mengepung rumah kandang Mat Dawuk. Siapa sebenarnya Warto Kemplung?

Sepertinya di sini Mahfud sedang mencoba-coba teknik penceritaannya sendiri, yang berbeda dengan Kambing dan Hujan (2014) yang amat mulus. Tokoh-tokoh yang tidak masuk akal, desa yang antah-berantah, mitos asal-usul yang dipercaya, hingga munculnya hewan ajak sedikit banyak mengingatkan pada Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan. Di sini, Mahfud tampak sedang tidak ingin mengesankan siapa pun. Ia sepertinya membuat cerita untuk menyenangkan dirinya sendiri, sebuah cerita yang—karena begitu anehnya—bisa dianiaya sesukanya. Maka, cerita Warto Kemplung si pembual sesungguhnya tak bisa dipercaya.

Mahfud tak hendak berceramah atau menuturkan pesan-pesan kemanusiaan yang menggugah seperti Kuntowijoyo atau Ahmad Tohari. Ia hanya hendak membuat bangunan narasi yang memukau dan pada akhirnya membuat pembaca berpikir: “Siapa yang mati? Siapa yang hilang? Siapa membunuh siapa? (hlm 181).
Pesan Sekarang